“Manusia adalah satu-satunya binatang yang saling membantai jenisnya sendiri hingga berjuta-juta korban. Mungkin umat manusia pada akhirnya akan membinasakan peradaban mereka sendiri dari muka bumi dan meninggalkannya pada burung-burung dan pepohonan.” (Walter von Ulrich) ~hlm. 431.
Kutipan itu sangat tepat menggambarkan Perang Dunia yang terjadi karena kesombongan dan kebodohan manusia yang merasa paling hebat di dunia. Meski kematian Archduke Franz Ferdinand—pewaris tahta kerajaan Austria yang dibunuh oleh nasionalis Serbia—menjadi pemicu terjadinya perang Dunia I, namun sebenarnya penyebab perang itu adalah karena para petinggi dan diplomat negara-negara yang berkepentingan tidak menginginkan perdamaian. Inilah yang menjadi setting utama dari buku pertama trilogi teranyar dari Ken Follett: Fall of Giants (Runtuhnya Dinasti Raksasa).
Lewat buku ini, Ken Follett seolah-olah hendak menunjukkan, bahwa sebenarnya perang dapat dihindari. Perang bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah politik internasional, apalagi mengingat banyaknya manusia yang harus dikorbankan dalam perang—Perang Dunia I sendiri memakan sekitar 10 juta korban, konflik paling mematikan dengan jumlah korban ke 6 terbesar sepanjang masa. Di sisi lain, Fall of Giants juga menyoroti Revolusi Rusia akibat tumbangnya pemerintahan Tsar, bangkitnya Partai Buruh di Inggris, dan perjuangan wanita untuk mendapatkan kesetaraan dalam ekonomi dan politik. Semua gelombang revolusi dunia yang ada dalam sejarah itu dengan briliannya dijalin oleh Ken Follett lewat konflik pribadi tokoh-tokoh fiktif yang turut mengalami akibat—langsung maupun tak langsung—dari Perang Dunia I. Lewat mereka, kita yang tak pernah merasakan perang, diajak melihat dan turut merasakan akibat dari perang itu.
Kisah ini berfokus pada tokoh-tokoh di 4 negara besar: Inggris, Rusia, Jerman, dan Amerika. Dibuka dengan inisiasi Billy, putra penambang batu bara di Aberowen, Wales. Dari keseluruhan buku ini, prolog inilah yang menjadi favoritku, sekaligus menjadikan Billy yang pemberani, tokoh favoritku. Aberowen melambangkan kesewenang-wenangan dan kesombongan kaum borjuis terhadap kaum buruh. Earl (Fitz) Fitzherbert adalah pemilik tanah pertambangan yang berpandangan konservatif dan meyakini bahwa kaum bangsawanlah yang harus memimpin Inggris, dan Inggris adalah negara yang paling hebat. Meski beristrikan bangsawan Rusia, Putri Bea, Fitz masih menjalin cinta dengan pengurus rumah tangganya: Ethel Williams, yang tak lain adalah kakak Billy Williams. Ketika Ethel akhirnya hamil, Fitz mencampakkannya begitu saja.
Suatu hari Fitz mengadakan jamuan untuk Raja Inggris: George ke V, dan mengundang diplomat-diplomat muda dunia. Hadir di jamuan itu: Maud Fitzherbert (adik Fitz)—perempuan liberal yang berjuang agar wanita memiliki hak pilih dalam pemilu, Walter von Ulrich—diplomat muda Jerman yang cinta damai, putra Otto von Ulrich yang dekat dengan Kaiser Jerman. Di pesta itu Walter dan Maud mulai berpacaran. Hadir juga Gus Dewar—diplomat cerdas yang akan menjadi penasihat yunior Presiden Amerika: Woodrow Wilson. Terakhir, Robert von Ulrich, kakak Walter yang homoseksual dan bekerja untuk Austria. Di pesta ini mereka terlibat dalam debat cerdas mengenai akankah negara masing-masing berperang beserta alasannya.
Sayangnya, tak lama kemudian terjadi pembunuhan atas Archduke Austria oleh orang Serbia. Austria marah besar. Di sini pendapat para diplomat terbelah. Di satu sisi mereka berpendapat bahwa Austria harus membalas perlakuan Serbia, meski hal itu akan memicu konflik dengan Rusia yang akan harus melindungi jalur perdagangannya di Balkan, dan yang notabene memiliki kekuatan militer menakutkan. Ayah Walter—Otto, Fitz dan Robert berada di kubu ini. Meski di luar mereka tak ingin terjadi perang, namun di dalam mereka yakin perang lah solusinya. Terutama bagi Fitz yang punya ambisi pribadi untuk sukses di militer untuk menjadi lebih terhormat. Di sisi satunya ada orang-orang muda yang cinta perdamaian: Maud dan Walter—yang jika perang berlangsung pasti tak dapat melanjutkan hubungan mereka, mengingat Inggris dan Jerman akan berada di 2 pihak yang berseberangan. Sementara itu, di luar lingkaran elite politik Eropa, ada juga Gus Dewar, Ethel dan Billy Williams, Grigori dan Lev Peshkov.
Masing-masing tokoh ini memiliki masalahnya sendiri-sendiri, dan secara langsung maupun tak langsung, perang akan mempengaruhi masa depan mereka. Contohnya kisah Grigori dan Lev Peshkov, dua bersaudara asal Rusia yang menjadi yatim piatu karena ayah dan ibu mereka dibunuh oleh rezim monarki. Sejak saat itu Grigori bertekad untuk bekerja dan mengumpulkan uang untuk pindah ke Amerika. Ada nuansa tersendiri di bagian Grigori dan Lev ini. Meski saudara kandung, mereka berbeda jauh dalam karakter. Grigori bermoral baik dan pekerja keras; sedang Lev bermoral buruk, selalu terbelit masalah dan sama sekali tak bertanggung jawab. Yang menarik adalah ketika mereka berdua jatuh cinta pada seorang wanita yang sama. Menarik melihat bagaimana kebanyakan wanita muda yang sering ‘terperosok’ pada ketampanan fisik dan rayuan gombal. Salah satu ending yang kutunggu-tunggu adalah apakah Katerina akhirnya sadar siapa yang mencintainya dengan tulus hingga mengorbankan banyak hal, dan mampukah Katerina berbalik mencintainya?
Seperti yang kita tahu, Perang Dunia I akhirnya meletus. Tokoh-tokoh muda kita pun berangkat ke medan perang. Kadang satu sama lain berjumpa, meski berada di pihak yang bermusuhan. Ken Follett tak hanya pandai menuturkan sejarah, namun ketegangan dan tragisnya perang dengan baik terekam lewat halaman demi halaman buku ini. Sementara itu, para wanita tak tinggal diam. Ethel mulai berjuang bersama Maud untuk mengangkat derajat kaum wanita. Meski awalnya hanyalah pengurus rumah tangga, Ethel dapat meniti karir sebagai editor koran, hingga memasuki ranah politik sebagai wakil Partai Buruh di parlemen. Satu lagi ending yang aku harapkan: akankah Fitz bertemu kembali dengan Ethel yang selalu mempesonanya? Dan bagaimana reaksi Fitz yang cenderung tak suka dengan kemandirian wanita, melihat Ethel yang kini nyaris sederajat dengannya? Dan akankah Ethel mampu melepaskan cintanya terhadap Fitz?
Kutipan itu sangat tepat menggambarkan Perang Dunia yang terjadi karena kesombongan dan kebodohan manusia yang merasa paling hebat di dunia. Meski kematian Archduke Franz Ferdinand—pewaris tahta kerajaan Austria yang dibunuh oleh nasionalis Serbia—menjadi pemicu terjadinya perang Dunia I, namun sebenarnya penyebab perang itu adalah karena para petinggi dan diplomat negara-negara yang berkepentingan tidak menginginkan perdamaian. Inilah yang menjadi setting utama dari buku pertama trilogi teranyar dari Ken Follett: Fall of Giants (Runtuhnya Dinasti Raksasa).
Lewat buku ini, Ken Follett seolah-olah hendak menunjukkan, bahwa sebenarnya perang dapat dihindari. Perang bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah politik internasional, apalagi mengingat banyaknya manusia yang harus dikorbankan dalam perang—Perang Dunia I sendiri memakan sekitar 10 juta korban, konflik paling mematikan dengan jumlah korban ke 6 terbesar sepanjang masa. Di sisi lain, Fall of Giants juga menyoroti Revolusi Rusia akibat tumbangnya pemerintahan Tsar, bangkitnya Partai Buruh di Inggris, dan perjuangan wanita untuk mendapatkan kesetaraan dalam ekonomi dan politik. Semua gelombang revolusi dunia yang ada dalam sejarah itu dengan briliannya dijalin oleh Ken Follett lewat konflik pribadi tokoh-tokoh fiktif yang turut mengalami akibat—langsung maupun tak langsung—dari Perang Dunia I. Lewat mereka, kita yang tak pernah merasakan perang, diajak melihat dan turut merasakan akibat dari perang itu.
Kisah ini berfokus pada tokoh-tokoh di 4 negara besar: Inggris, Rusia, Jerman, dan Amerika. Dibuka dengan inisiasi Billy, putra penambang batu bara di Aberowen, Wales. Dari keseluruhan buku ini, prolog inilah yang menjadi favoritku, sekaligus menjadikan Billy yang pemberani, tokoh favoritku. Aberowen melambangkan kesewenang-wenangan dan kesombongan kaum borjuis terhadap kaum buruh. Earl (Fitz) Fitzherbert adalah pemilik tanah pertambangan yang berpandangan konservatif dan meyakini bahwa kaum bangsawanlah yang harus memimpin Inggris, dan Inggris adalah negara yang paling hebat. Meski beristrikan bangsawan Rusia, Putri Bea, Fitz masih menjalin cinta dengan pengurus rumah tangganya: Ethel Williams, yang tak lain adalah kakak Billy Williams. Ketika Ethel akhirnya hamil, Fitz mencampakkannya begitu saja.
Suatu hari Fitz mengadakan jamuan untuk Raja Inggris: George ke V, dan mengundang diplomat-diplomat muda dunia. Hadir di jamuan itu: Maud Fitzherbert (adik Fitz)—perempuan liberal yang berjuang agar wanita memiliki hak pilih dalam pemilu, Walter von Ulrich—diplomat muda Jerman yang cinta damai, putra Otto von Ulrich yang dekat dengan Kaiser Jerman. Di pesta itu Walter dan Maud mulai berpacaran. Hadir juga Gus Dewar—diplomat cerdas yang akan menjadi penasihat yunior Presiden Amerika: Woodrow Wilson. Terakhir, Robert von Ulrich, kakak Walter yang homoseksual dan bekerja untuk Austria. Di pesta ini mereka terlibat dalam debat cerdas mengenai akankah negara masing-masing berperang beserta alasannya.
Sayangnya, tak lama kemudian terjadi pembunuhan atas Archduke Austria oleh orang Serbia. Austria marah besar. Di sini pendapat para diplomat terbelah. Di satu sisi mereka berpendapat bahwa Austria harus membalas perlakuan Serbia, meski hal itu akan memicu konflik dengan Rusia yang akan harus melindungi jalur perdagangannya di Balkan, dan yang notabene memiliki kekuatan militer menakutkan. Ayah Walter—Otto, Fitz dan Robert berada di kubu ini. Meski di luar mereka tak ingin terjadi perang, namun di dalam mereka yakin perang lah solusinya. Terutama bagi Fitz yang punya ambisi pribadi untuk sukses di militer untuk menjadi lebih terhormat. Di sisi satunya ada orang-orang muda yang cinta perdamaian: Maud dan Walter—yang jika perang berlangsung pasti tak dapat melanjutkan hubungan mereka, mengingat Inggris dan Jerman akan berada di 2 pihak yang berseberangan. Sementara itu, di luar lingkaran elite politik Eropa, ada juga Gus Dewar, Ethel dan Billy Williams, Grigori dan Lev Peshkov.
Masing-masing tokoh ini memiliki masalahnya sendiri-sendiri, dan secara langsung maupun tak langsung, perang akan mempengaruhi masa depan mereka. Contohnya kisah Grigori dan Lev Peshkov, dua bersaudara asal Rusia yang menjadi yatim piatu karena ayah dan ibu mereka dibunuh oleh rezim monarki. Sejak saat itu Grigori bertekad untuk bekerja dan mengumpulkan uang untuk pindah ke Amerika. Ada nuansa tersendiri di bagian Grigori dan Lev ini. Meski saudara kandung, mereka berbeda jauh dalam karakter. Grigori bermoral baik dan pekerja keras; sedang Lev bermoral buruk, selalu terbelit masalah dan sama sekali tak bertanggung jawab. Yang menarik adalah ketika mereka berdua jatuh cinta pada seorang wanita yang sama. Menarik melihat bagaimana kebanyakan wanita muda yang sering ‘terperosok’ pada ketampanan fisik dan rayuan gombal. Salah satu ending yang kutunggu-tunggu adalah apakah Katerina akhirnya sadar siapa yang mencintainya dengan tulus hingga mengorbankan banyak hal, dan mampukah Katerina berbalik mencintainya?
Seperti yang kita tahu, Perang Dunia I akhirnya meletus. Tokoh-tokoh muda kita pun berangkat ke medan perang. Kadang satu sama lain berjumpa, meski berada di pihak yang bermusuhan. Ken Follett tak hanya pandai menuturkan sejarah, namun ketegangan dan tragisnya perang dengan baik terekam lewat halaman demi halaman buku ini. Sementara itu, para wanita tak tinggal diam. Ethel mulai berjuang bersama Maud untuk mengangkat derajat kaum wanita. Meski awalnya hanyalah pengurus rumah tangga, Ethel dapat meniti karir sebagai editor koran, hingga memasuki ranah politik sebagai wakil Partai Buruh di parlemen. Satu lagi ending yang aku harapkan: akankah Fitz bertemu kembali dengan Ethel yang selalu mempesonanya? Dan bagaimana reaksi Fitz yang cenderung tak suka dengan kemandirian wanita, melihat Ethel yang kini nyaris sederajat dengannya? Dan akankah Ethel mampu melepaskan cintanya terhadap Fitz?
kiri: pasukan Rusia di parit untuk berlindung, menunggu serangan dari Jerman; Kanan: pertempuran di Somme
Lalu bagaimana nasib Walter dan Maud? Akankah 5 tahun perang mampu memisahkan cinta mereka? Dan bagaimana dengan Gus Dewar yang berkali-kali mengalami kegagalan cinta? Dan yang terakhir, bagaimana dengan Billy kita, si anak penambang? Akankah ia menjadi pahlawan dalam perang ini, atau hanya pecundang? Yang jelas, salah satu yang kusuka di bagian perang adalah peperangan di Somme yang sangat penting bagi Inggris. Mengapa? Hanya yang membaca bukunya yang akan tahu…
Meski mengasyikkan di bagian awal pemicu perang hingga perang berlangsung, kisah ini menjadi lumayan “berat” dan serius justru ketika perang usai dan monarki hancur, lalu negara-negara yang terlibat harus membangun struktur negara yang baru. Begitu masuk ranah politik domestik, alurnya agak menurun. Namun tetap, endingnya menjanjikan—seperti biasa dengan Ken Follett. Keberadaan tokoh-tokoh nyata seperti Winston Churchil, Lenin, dan Woodrow Wilson semakin menambah daya tarik kisah ini. Belum lagi keahlian Ken Follett membuat para tokohnya—yang semula tampak memiliki kehidupannya sendiri-sendiri—tiba-tiba saja bersilangan jalan dan membuat konflik makin melebar dan ruwet. Ruwet yang indah, untungnya!
Empat bintang kuanugerahkan bagi Fall of Giants. Satu bagi Ken Follett—yang telah bekerja keras meramu fakta sejarah yang akurat dengan fiksi yang menawan, satu bagi Billy, satu bagi Grigori, dan satu lagi untuk penerbit Esensi yang telah menerjemahkan buku ini, dan mengajak kita memperluas wawasan tentang Perang Dunia I, sekaligus diingatkan akan ngerinya perang dan indahnya perdamaian. Perang adalah permainan berbahaya segelintir pemimpin politik yang membuat jutaan rakyatnya menderita—bak bidak-bidak catur yang tak berdaya dikendalikan oleh para pemain catur. Herannya, bukannya belajar dari Perang Dunia I, negara-negara di dunia kembali berperang dengan cakupan yang lebih luas dan korban lebih banyak di Perang Dunia II. Tak sabar rasanya menunggu sekuel kedua trilogi Century ini yang bertutur tentang perang itu. Seperti kutipan di awal resensi ini, manusia yang (katanya) beradab, ternyata bisa jauh lebih biadab daripada binatang….
Judul: Fall of Giants
Penulis: Ken Follett
Penerjemah: Alphonsus C. Putro
Penerbit: Esensi (Erlangga grup)
Terbit: 2011
Tebal: 928 hlm
Meski mengasyikkan di bagian awal pemicu perang hingga perang berlangsung, kisah ini menjadi lumayan “berat” dan serius justru ketika perang usai dan monarki hancur, lalu negara-negara yang terlibat harus membangun struktur negara yang baru. Begitu masuk ranah politik domestik, alurnya agak menurun. Namun tetap, endingnya menjanjikan—seperti biasa dengan Ken Follett. Keberadaan tokoh-tokoh nyata seperti Winston Churchil, Lenin, dan Woodrow Wilson semakin menambah daya tarik kisah ini. Belum lagi keahlian Ken Follett membuat para tokohnya—yang semula tampak memiliki kehidupannya sendiri-sendiri—tiba-tiba saja bersilangan jalan dan membuat konflik makin melebar dan ruwet. Ruwet yang indah, untungnya!
Empat bintang kuanugerahkan bagi Fall of Giants. Satu bagi Ken Follett—yang telah bekerja keras meramu fakta sejarah yang akurat dengan fiksi yang menawan, satu bagi Billy, satu bagi Grigori, dan satu lagi untuk penerbit Esensi yang telah menerjemahkan buku ini, dan mengajak kita memperluas wawasan tentang Perang Dunia I, sekaligus diingatkan akan ngerinya perang dan indahnya perdamaian. Perang adalah permainan berbahaya segelintir pemimpin politik yang membuat jutaan rakyatnya menderita—bak bidak-bidak catur yang tak berdaya dikendalikan oleh para pemain catur. Herannya, bukannya belajar dari Perang Dunia I, negara-negara di dunia kembali berperang dengan cakupan yang lebih luas dan korban lebih banyak di Perang Dunia II. Tak sabar rasanya menunggu sekuel kedua trilogi Century ini yang bertutur tentang perang itu. Seperti kutipan di awal resensi ini, manusia yang (katanya) beradab, ternyata bisa jauh lebih biadab daripada binatang….
Judul: Fall of Giants
Penulis: Ken Follett
Penerjemah: Alphonsus C. Putro
Penerbit: Esensi (Erlangga grup)
Terbit: 2011
Tebal: 928 hlm