Showing posts with label Family Saga. Show all posts
Showing posts with label Family Saga. Show all posts

Monday, April 9, 2012

Gadis Kretek


Entah mengapa dan entah sejak kapan, aku memiliki perhatian khusus terhadap rokok. Jangan salah paham, aku bukan perokok, dan sebenarnya ‘alergi’ pada perokok karena mamaku penderita asma, dan aku sudah menyaksikan sendiri derita penderita penyakit itu. Bukan, bukan rokoknya yang menarikku, tapi lebih pada seluk beluk bisnisnya dan terutama… pada harum aroma tembakau dan cengkeh. Berhubung aku bekerja di perusahaan yang beberapa konsumennya adalah pabrik rokok, maka aku telah beberapa kali berkunjung ke pabrik rokok S**poern*, dan aku selalu suka dengan aroma tembakau yang sudah tercium sejak memasuki gerbang pabriknya. Karena kecintaanku pada aroma tembakau pula, aku sangat penasaran ketika mendengar kabar bahwa salah seorang penulis anak negeri ini telah menulis sebuah historical fiction yang bertema rokok kretek. Jadi, historical fiction + rokok = dua kombinasi yang kucintai. Dan akhirnya…berkat keberuntungan, aku pun berhasil mendapatkan buku Gadis Kretek karya Ratih Kumala yang telah lama kunanti-nanti ini!

Kisah ini dituturkan melalui sudut pandang Lebas, seorang pria muda putra pengusaha kaya pemilik pabrik rokok besar: Rokok cap Djagad Raja. Lebas adalah putra bungsu keluarga Soeraja [baca: suraya], pemilik pabrik rokok tersebut. Ia memiliki dua kakak laki-laki: Tegar yang sulung, dan Karim yang nomor dua. Berbeda dengan dua kakaknya, Lebas adalah yang paling bandel dan semau-gue, pernah dicoret namanya dari daftar ahli waris, meski akhirnya ia kembali menjadi bagian dari pabrik rokok keluarga Soeraja. Kisah dibuka dalam situasi kritis—romo [ayah] mereka stroke, dan dalam keadaan kritis itu beliau sering memanggil-manggil sebuah nama yang asing bagi ketiga putranya: Jeng Yah. Siapa Jeng Yah itu, yang namanya membuat Ibu mereka seketika meradang? Seberapa pentingnya Jeng Yah bagi romo mereka sehingga namanya terus dipanggil ketika beliau sekarat? Inilah misteri yang hendak mereka ungkap. Meski Tegar dan Lebas hampir selalu bertengkar, namun ketidak-akuran mereka terpaksa ditepis guna mencari sosok misterius Jeng Yah ini demi memenuhi keinginan romo mereka, sebelum terlambat.

Maka berangkatlah Lebas—dan kemudian disusul Tegar—ke kota Kudus, tempat terakhir romonya bertemu dengan Jeng Yah. Pertemuan itu konon menurut cerita, diakhiri dengan lemparan semprong ke jidat Pak Soeraja yang dilakukan Jeng Yah pada saat pernikahan Soeraja dengan istrinya. Satu lagi yang menambah kemisteriusan sosok Jeng Yah ini. Dan sementara Lebas dan Tegar melakukan perjalanan naik mobil, kita pun diajak Ratih Kumala melakukan perjalanan melintasi waktu ke jaman sebelum kemerdekaan Indonesia, pada waktu negara kita masih dijajah Belanda.

Adalah seorang pemuda bernama Idroes Moeria, buruh linting klobot di sebuah kota kecil M di Jawa Tengah. Meski hanya seorang buruh, namun Idroes muda sudah memiliki impian untuk memproduksi klobotnya sendiri, dan sudah memikirkan cara-cara agar klobotnya lebih sukses dari milik Pak Trisno—bosnya saat itu. Terutama karena Idroes sedang naksir anak gadis Juru Tulis yang manis: Roemaisa, yang juga ditaksir oleh teman masa kecil Idroes yang bernama Soedjagad. Idroes akhirnya berhasil menyunting Roemaisa, namun sebagai ‘bonus’nya, ia pun mendapatkan seorang musuh yang dendam kepadanya, yaitu Soedjagad yang—bukan hanya tak jadi mendapatkan Roemaisa, namun juga—kalah mendapatkan stok tembakau Pak Trisno yang dijual murah gara-gara kedatangan Jepang ke Indonesia. Tak perlu kujelaskan lagi, pastilah Idroes yang mendapatkan tembakau itu, dan dengan demikian berhasil memproduksi klobot lintingannya sendiri dengan kemasan yang ia idam-idamkan dari dulu. Usaha Idroes mulai sukses setelah ia ganti memproduksi rokok kretek, yang setelah kemerdekaan Indonesia mulai menjadi tren. Dan ia pun makin sukses setelah anak perempuan sulungnya yang bernama Dasiyah ikut terlibat dalam usaha kretek mereka. Bahkan karena tak sengaja menikmati lintingan Dasiyah sendiri yang nikmat, mereka pun mengeluarkan formula kretek baru dengan merk dagang ‘Kretek Gadis’.

Dasiyah—yang kini dipanggil Jeng Yah—jatuh cinta pada pemuda bernama Soeraja. Dasiyah mengentaskan Soeraja dari kehidupan tanpa masa depan, menjadi kepala mandor dan orang kepercayaan Idroes Moeria di pabrik kreteknya. Sayangnya, Soeraja kemudian terlibat dengan organisasi terlarang PKI, dan harus melarikan diri ke kota Kudus demi menyelamatkan diri. Maka pernikahannya dan Jeng Yah yang telah disusun rapipun terpaksa bubar….

Nah, kini pertanyaan yang tersisa, mengapa kelak Jeng Yah sampai membuat keributan di pesta perkawinan Soeraja? Apakah karena cemburu? Lalu bagaimana pula Soeraja akhirnya bisa menjadi jutawan dengan Rokok cap Djagad Raja-nya? Misteri inilah yang hendak dikuak oleh trio Tegar-Karim-Legas dengan penelusuran jejak Jeng Yah hingga ke kota M. Dan di dalam pencarian itu, sedikit demi sedikit selubung yang menaungi rahasia masa lalu perselisihan keluarga dan bisnis rokok kretek di kota M itupun akan terkuak.

Ratih Kumala membawa kita menikmati seluruh kisah ini bak menikmati sebatang rokok kretek lewat tiap isapan dan hembusan asapnya. Kenikmatan itu sudah terasa sejak awal, dan seperti perokok yang ingin rokoknya tak kunjung habis, seperti itu jugalah perasaanku saat menjelang akhir kisah ini. Rasanya tak ingin aku melepaskan aroma tembakau yang kucintai itu, yang bak menguar di tiap halaman kisah ini. Gadis Kretek adalah kisah tentang perjuangan, baik perjuangan melawan penjajah—yang disinggung sedikit melatar belakangi kisah utamanya—maupun perjuangan tokoh-tokohnya dalam membangun industri rokok kretek yang di kemudian hari menjadi denyut nadi kehidupan penduduk kota itu. Gadis Kretek juga kisah tentang cinta dan kepercayaan, yang melingkupi dan membumbui industri kretek yang biasanya merupakan bisnis keluarga. Dan yang jelas, Gadis Kretek adalah kisah tentang benda kecil bernama rokok kretek—sejarah kelahirannya dan bagaimana ia menjadi bagian penting dari budaya kehidupan di jaman itu.

Empat linting kretek kusulut untuk Gadis Kretek ini, yang semakin unik berkat cover cantik yang sangat pas menggambarkan Kretek Gadis sekaligus Gadis Kretek. Belum lagi bonus gambar-gambar bungkus rokok yang terdapat di halaman dalam cover depan dan belakang—yang aku sendiri tak tahu pasti apakah itu rekaan atau memang pernah ada. Terus terang, ini historical fiction pertama karya penulis lokal yang pernah kucicipi, dan aku suka, karena Gadis Kretek menyajikan cerita yang manis, tanpa mau menggurui pembaca dengan detil sejarah. Itulah yang menjadikannya historical fiction, bukan novel sejarah. Dialog dan gaya bahasa Jawa yang disisipkan oleh Ratih juga menambah ‘gurih’ Gadis Kretek ini.

Kalau ada kekurangannya, itu terletak pada typo yang (terlalu) banyak bertebaran di 275 halaman buku ini. Sangat disayangkan kisah yang unik ini harus dinodai dengan kesalahan ejaan dan penulisan. Semoga di edisi berikutnya Gadis Kretek sudah bisa tampil lebih bersih dan lebih gurih!

Judul: Gadis Kretek
Penulis: Ratih Kumala
Penyunting: Mirna Yulistianti
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Maret 2012
Tebal: 275 hlm

Wednesday, April 4, 2012

The Thorn Birds


The Thorn Birds adalah sebuah family saga yang ber-setting utama di Drogheda, desa peternakan domba di Australia pada tahun 1915 hingga 1969. Paddy Cleary adalah seorang pencukur bulu domba sederhana yang menikah dengan Fiona "Fee" Cleary yang aristokratik. Frank adalah putra sulung mereka yang tidak pernah akur dengan ayahnya, namu sangat dekat dengan ibunya. Meggie adalah satu-satunya putri yang mereka miliki. Dari kecil sudah nampak kedekatan Meggie pada Frank, kakak yang selalu dengan lembut mencintai dan melindungi Meggie. Dari sejak kecil anak-anak keluarga Cleary telah dididik untuk tidak manja. Paddy adalah ayah yang disiplin dan keras, sedang Fiona adalah ibu yang sangat tertutup, tanpa emosi, dan tak pernah tersenyum, meski selalu membaktikan diri untuk suami, anak, dan rumah tangganya.

Suatu hari datanglah seorang Pastor bernama Ralph de Bricasart. Ia imam dari Gereja Katolik yang memiliki ambisi menduduki jabatan tinggi di Roma, namun terbuang ke Drogheda yang kering dan penuh lalat karena telah menghina seorang uskup. Pemilik peternakan domba terbesar di Drogheda adalah Mary Carson, seorang janda tua yang kaya raya, yang meski tua namun mengagumi Pastor de Bricasart yang muda, tampan dan gagah. Keduanya pun berteman akrab. Mary Carson mengundang keluarga Cleary untuk tinggal di Drogheda, yang kelak akan diwariskan kepada Paddy sebagai adik satu-satunya yang masih hidup. Keluarga Cleary pun pindah, dan di sinilah awal perkenalan Ralph de Bricasart dengan Meggie kecil. Keduanya akrab dari awal, dan lama kelamaan tumbuh perasaan cinta di hati keduanya. Ya! Di hati sang Pastor juga, yang seharusnya hidup selibat!

Berhubung kisah ini adalah sebuah family saga, maka ceritapun mengalir semakin melebar, ke beberapa anggota keluarga Cleary. Mulai dari Frank yang sangat ingin keluar dari rumah untuk menghindari ayahnya, hingga ke putra Meggie—Dane—yang ingin menjadi imam, serta putri Meggie—Justine—yang cuek, sinis, dan tomboi. Namun di antara itu, yang menjadi benang merah kisah ini selalu perasaan cinta Meggie dan Ralph yang tak mungkin bersatu. Ralph tak mau "melepas jubah", bukan karena ia lebih mencintai Tuhan ketimbang Meggie, tapi menurutku lebih karena ambisi Ralph menduduki kursi Kardinal—ambisi yang sedari awal sudah dilihat Mary Carson, dan yang menurutnya suatu saat akan membuat Ralph jatuh.

Di sisi lain, Meggie tak mau dan tak mampu memahami bahwa dirinya takkan pernah dapat bersatu dengan Ralph. Memang Meggie akhirnya menyerah, namun di samping cintanya pada Ralph, ia tetap menumbuhkan dendam kepada pria itu karena meninggalkan Meggie demi ambisinya. Ambisi itu akhirnya membawa Ralph ke Roma, memangku jabatan sebagai Kardinal. Sementara Meggie ‘terpaksa’ menerima pinangan seorang pria yang amat mirip dengan Ralph, bernama Luke. Bahagiakah akhirnya Meggie? Dan akankah ia kelak bertemu kembali dengan Ralph? Bagaimana dengan Ralph, apakah ia bahagia setelah ambisinya tercapai? Akankah ia menghapus kenangannya akan Meggie dan ‘kembali ke jalan yang benar’ dengan hanya mencintai Tuhan?

Ini novel yang lumayan melelahkan. Colleen McCullough benar-benar intens bercerita tentang kehidupan keluarga Cleary ini sehingga anda akan merasa bahwa keluarga itu sungguh pernah ada, dan kisah ini bukanlah fiksi melainkan biografi. Karena begitu cermatnya McCullough menggarap detil kisahnya, alurnya pun menjadi sangat lambat. Di beberapa bagian aku sempat ‘melompat-lompat’ karena penjelasan yang terlalu panjang lebar—dan yang ternyata walau dilewati, tetap tak berpengaruh pada cerita. Kesimpulannya, The Thorn Birds memang bukan historical fiction biasa (bukan meniru jargon iklan!), ia lebih tepat disebut family saga. Dan meski aku sadar bahwa Colleen McCullough telah menggarapnya dengan apik, namun aku tetap kurang dapat menikmatinya.

Hal itu masih ditambah pula dengan para karakter utama yang—menurutku—dangkal. Aku muak pada Ralph de Bricasart yang tak punya pendirian dan serakah. Kalau memang tak bisa melupakan Meggie, lepaslah jubahmu dan jadilah suami yang berdedikasi pada keluarga! Kalau memang mau melayani Tuhan, jadilah pelayan yang baik dan berikan hatimu hanya untukNya! Karena kau mau menggenggam keduanya, maka tak satupun yang akan kaudapat, dan dosamu malah berlipat dua! Meggie sendiri adalah perempuan yang egois dan keras kepala, yang hanya memikirkan perasaannya sendiri. Pada akhirnya ia juga yang membuat Ralph “jatuh”. Kesimpulannya, tak ada satupun tokoh utama yang dapat dibanggakan dalam kisah ini, dan mungkin faktor itulah yang mungkin membuatku hanya mampu memberikan tiga bintang bagi kisah yang banyak dibilang bagus ini.

Judul: The Thorn Birds
Penulis: Colleen McCullough
Penerjemah: Lanny Murtihardjana
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Desember 2007
Tebal: 688 hlm