Showing posts with label BC. Show all posts
Showing posts with label BC. Show all posts

Wednesday, May 16, 2018

Cleopatra: A Life by Stacy Schiff


Cleopatra is probably one name of which no one would ever claim he never hears. It has never occurred to me before that a woman has ever made that distinction in the world where men's domination is strong. After 2000 years—Cleopatra died only one generation before Christ—her name is still many times repeated by poets, historians; in literature, in movies, and I think in many other aspects. She is the Queen of Egypt. But after her, many queens have also reigned. What made her so enigmatic? When she died, Cleopatra ruled over so many lands and nations—the widest a queen has ever ruled. That made her so powerful. But I believe, the fact that we never know much about her, has also raised her values. Cleopatra is a myth, legend. At this point, Stacy Schiff tries to break the myths, and bring us the real person in this book.
                                             
I have put high expectation on this book when I bought it. I wanted to know the real character and qualities of Cleopatra, other than what was depicting by Elisabeth Taylor in the movie or in Shakespeare's plays. But somehow, I was quite disappointed. It's not entirely Ms. Schiff's fault, maybe. Apparently, there were not much facts about Cleopatra's deeds on which one could base upon. Many historians have written about her, of course. She was the mother of Julius Caesar's and Marc Antony's children! No foreigners have ever set so important role in Ancient Rome when it was a dominant ruling nation like Cleopatra. We are talking about the Western world! However, most of what Plutarch or Livy or Dellius wrote were either bias or only suggestions. I believe the misogynistic culture of Rome was the culprit here. Hence, there was almost not accurate account of Cleopatra's real .... in her world.

From what I read, I could gather that Cleopatra:
  • was the last Ptolemaic clan, which was full of incest and mayhem.
    Cleopatra in coin (the most accurate
    picture of her)
  • was really a Greek-Macedonian, not originally an Egyptian.
  • loved pearls, used to wear it abundantly, even also on her hair.
  • was not very pretty woman (far from Elizabeth Taylor!), but she possessed a charisma; she was attractive in her high intelligence, her ambition, her enthusiastic speech, and self-possessing manner.
  • was great in politics and governing a nation. She brought Egypt to be a great nation before it was finally annexed to Rome after her defeat and death.
  • took care of people's, and that's why was loved by them.
  • ruled by herself (a woman at that era!) and played great role in Western world. She was more than capable in military stuffs, leading a great army, controlling currency, and was great in diplomacy. She was really Caesar's equal.


While people portray Julius Caesar as warrior or mighty King, we tend to see Cleopatra as an exotic woman who used her sexual appeal as weapon. While we take Caesar's conquest over Western world as great, people believe that Cleopatra became Queen of Egypt through cunning and seduction. This was how men--Octavian most of all, and the Roman historians—has misled us. Worst of all, those papyruses in the magnificent Alexandria—which might have kept facts about Cleopatra's deeds—had been destroyed. So, now all we have about her is just myths—most of all the wrong ones.

This book would have been interesting. However, Schiff seems to be drifting too much to Rome's histories and chief actors in it. I understand that it might be because there were poor materials to build the life of Cleopatra, but still… She also put suggestions in rather disproportionate amount (compared to facts) to my taste. Add that with rather bad Indonesian translation, which made my reading quite tedious. I was really glad when it's over!

My rating: 3/5


Monday, August 13, 2012

Cleopatra’s Daughter – Selene


Nama Cleopatra sang Ratu Mesir pasti sudah pernah mampir ke telinga kita, namun jarang yang mengenal anak-anaknya. Dalam historical fiction yang kuulas ini, Michelle Moran mengisahkan sejarah Romawi dalam kurun waktu abad 31 SM hingga sekitar 26 SM. Abad 31 SM tercatat dalam sejarah sebagai kekalahan armada laut milik Markus Antonius dan Cleopatra yang saat itu memerintah Mesir terhadap pasukan Oktavianus. Oktavianus ini kelak kita kenal dengan nama Kaisar Augustus, yang sebelumnya bersama Markus Antonius dan Lepidus merupakan para pendukung Julius Caesar. Markus Antonius dan Ratu Cleopatra akhirnya harus menemui ajal dengan bunuh diri setelah kekalahan mereka, sementara tiga orang keturunan mereka: si kembar Cleopatra Selene dan Alexander Helios serta Ptolemeus dibawa Oktavianus ke Roma bersama harta benda Ratu Cleopatra.

Kisah ini dituturkan lewat sudut pandang Selene, seorang anak perempuan yang pada usia sebelas tahun telah memperlihatkan kecerdasannya berkat didikan ibunya di Mesir. Ketika tiba di Roma, Selene dan Alexander hanya tinggal berdua, karena Ptolemeus meninggal karena penyakit selama perjalanan di kapal. Meski keduanya tinggal bersama Oktavia—kakak perempuan Oktavianus yang saat itu menjadi Caesar Roma, yang juga istri pertama Markus Antonius sebelum memperistri Cleopatra—diperlakukan dengan sangat baik sebagai tamu keluarga. Selain Oktavia sendiri, ada putranya Marcellus yang menjadi kandidat kuat pewaris jabatan Caesar bersama dengan Tiberius, putra tiri Oktavianus (anak istrinya Livia dengan suami pertama). Marcellus yang gagah dan tampan segera menarik hati Selene, sayangnya Marcellus telah dijodohkan dengan Julia—putri Livia dengan Julius Caesar. Hingga saat ini anda tentu bingung membaca pertalian keluarga yang rumit ini, namun begitulah yang terjadi dalam sejarah, anda hanya harus terus membaca buku ini, dan lama kelamaan akan terbiasa juga.

Sebagai anak yang dibesarkan di Alexandria, ibu kota Mesir yang sangat tinggi peradabannya, penuh keanggunan dan kemewahan, Selene dan Alexander terkejut ketika melihat kerajaan Romawi yang kotanya carut marut dan moral penduduknya rendah. Di sepanjang kisah ini, Moran mengajak kita menyaksikan sejarah Romawi bergulir lewat sudut pandang Selene, terutama sejarah di seputar pemerintahan Oktavianus atau Kaisar Augustus.

Beberapa hal mencolok yang dapat kita catat dari Oktavianus adalah kepercayaannya pada peramal dan hal-hal gaib yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Memang saat itu sebelum diadakan sesuatu yang penting, peramal harus menyembelih hewan dan melihat isi perutnya untuk menentukan apakah dewa-dewa merestui rencana itu untuk dilaksanakan atau tidak. Namun yang sering aku baca di buku-buku tentang Romawi saat itu, ritual itu hanyalah sekedar formalitas belaka. Tapi hal itu tidak berlaku untuk Oktavianus, beliau benar-benar mempercayainya.

Hal lain yang menarik adalah timbulnya pergerakan menentang perbudakan. Ada seorang pemberontak yang menamakan dirinya Elang Merah (tambahan fiktif di novel ini) yang menjadi duri dalam daging kekuasaan Oktavianus. Meski Elang Merah hanya rekaan, namun dari tulisan-tulisan sejarah, terlihat bahwa gerakan menentang budaya perbudakan memang telah ada pada jaman itu. Selene, Alexander, Oktavia, Marcellus dan seorang budak bernama Gallia adalah beberapa yang memiliki keprihatinan terhadap kesemena-menaan terhadap kaum budak.

Oktavianus juga dikenal sebagai kolektor barang-barang antik dan suka membangun gedung-gedung indah seperti halnya kebiasaan di Romawi saat itu. Selene kebetulan memiliki minat pada arsitektur—berkat pendidikannya di Mesir—dan sangat suka menggambar sketsa. Oktavianus menyetujui Selene untuk belajar arsitektur pada seorang guru saat itu, meskipun wanita yang berkecimpung dalam pembangunan gedung saat itu sangat langka.

Salah satu yang membuatku kagum adalah langkah yang diambil Oktavianus untuk mengukuhkan kekuasaannya secara mutlak. Tanpa tanda-tanda apapun, tiba-tiba suatu hari Oktavianus mengumumkan bahwa dirinya akan meletakkan jabatan sebagai Caesar. Kontan Senat dibuat panik, mereka membujuk Oktavianus untuk mengurungkan niatnya, karena Roma pasti akan hancur tanpa pemimpin yang memiliki wibawa. Sebenarnya Oktavianus sudah memperhitungkan langkahnya ini, ia tahu bahwa tak ada yang mampu memimpin Roma saat itu selain dirinya. Dan benar saja, dalam rangka membujuk Oktavianus, Senat menganugerahkan gelar Augustus kepadanya dan memberikan kuasa sepenuhnya selama sepuluh tahun ke depan yang tak dapat diambil darinya. Betapa penuh perhitungan sang Augustus ini, seorang pria kurus yang sakit-sakitan namun memiliki tekad dan hati sekuat baja.

Selene mengalami semuanya itu sementara dirinya sendiri tumbuh makin dewasa bersama Alexander, Julia dan Marcellus. Dari seorang anak kecil yang cerdas dan berkemauan kuat, kita akan diajak melihat Selene yang memiliki khasrisma yang memancar kuat dari dirinya. Suatu hal yang dikagumi oleh Marcellus—meski ia tetap mencintai Julia, dan menumbuhkan perasaan cinta di hati seorang pria yang selama ini seolah ada di balik layar, meski dari semula aku sudah menduga bahwa ada sesuatu dalam diri si pria yang membuatnya selalu melindungi Selene.

Kisah ini cukup menarik, hanya saja aku kurang merasakan kedekatan emosional saat aku membacanya. Aku hanya merasa seperti mengikuti kisah hidup Selene dan semua yang terlibat di sekitarnya dari jauh. Aku tak merasakan greget seperti saat aku membaca Imperium dan Conspirata, di mana aku merasa seolah aku sendiri terseret masuk ke jaman Cicero masih hidup di Roma. Sebenarnya aku mengharapkan lebih dari seorang Michelle Moran yang telah banyak menuliskan fiksi sejarah, namun itulah yang kudapati di kisah ini. Lumayan menarik namun hambar.

Tiga bintang untuk Selene!

Judul: Selene Putri Sang Cleopatra (judul asli: Cleopatra’s Daughter)
Penulis: Michelle Moran
Penerjemah: Sujatrini Liza
Penerbit: Esensi
Terbit: November 2009
Tebal: 499 hlm.

Thursday, November 17, 2011

Conspirata

Orang tolol sembrono mana pun bisa menjadi pahlawan jika tidak menghargai nyawanya sendiri, atau tidak cukup pintar untuk menyadari adanya bahaya. Tetapi, dengan memahami resiko, bahkan berjengit pada mulanya, tetapi kemudian menghimpun keberanian untuk menghadapinya—menurutku, itulah bentuk keberanian yang paling terpuji.

Kurasa ungkapan di atas memang tepat untuk menggambarkan sosok seorang Marcus Tullius Cicero, senator, orator, konsul dan Bapak Negara Republik Romawi pada abad pertama sebelum Masehi. Perjuangan Cicero merangkak dari bawah hingga menduduki tempat tertinggi di pemerintahan negara, telah dengan apik dituturkan oleh Robert Harris di buku pertama dari sebuah trilogi, yaitu: Imperium. Dan kini, lewat bagian keduanya—Conspirata, anda akan dibawa melihat sendiri, mengapa aku merasa Cicero layak disebut pemberani, kalau bukan pahlawan, pada jamannya. Conspirata ini masih dituturkan dari sudut pandang Tiro, budak dan sekretaris Cicero.

Bagi anda yang telah membaca Imperium pasti telah mengerti, bahwa cita-cita Cicero adalah menjadi konsul, meraih kedudukan tertinggi di pemerintahan Republik Romawi (bagi yang belum membaca Imperium, wajib membaca dulu, sebelum membaca buku ini!). Namun ternyata, belum lagi upacara penobatannya sebagai konsul dilangsungkan, Cicero telah dihadapkan pada sebuah kejutan. Teka-teki mayat seorang anak lelaki, korban sebuah upacara ritual, muncul hanya dua hari sebelum ia resmi menjadi konsul. Dan jangan lupa, sebagaimana dikisahkan di Imperium, bahwa Julius Caesar, Crassus dan kroni-kroni mereka sedang memperjuangkan undang-undang untuk membagi-bagi tanah negara kepada rakyat miskin. Satu lagi PR besar bagi Cicero untuk menyelamatkan Republik.

Begitu memasuki periode sebagai konsul, Cicero langsung dihadapkan pada masalah-masalah serius. Tampaknya Caesar, musuh utamanya yang licik dan ambisius, langsung tancap gas. Di satu sisi ada fraksi patricius: Catulus, Hortensius dkk yang dihadapkan pada penuntutan seorang senator tua, di sisi lain ada kaum populis yang (dalihnya) membela kepentingan rakyat: Caesar, Crassus dan Pompeius, dengan undang-undang tanahnya. Ke mana Cicero harus memberikan dukungannya? Belum lagi kenyataan pahit yang harus dihadapinya, bahwa dirinya menjadi target pembunuhan oleh lawan-lawannya, yang disutradarai oleh…siapa lagi kalau bukan lawannya yang paling haus balas dendam: Catilina?

Satu persatu masalah dihadapi Cicero dengan berani. Seperti biasanya, menggunakan kepiawaian retorika, strategi yang jitu, serta kemampuan diplomasinya. Namun sebenarnya yang paling menarik dari karakter Cicero adalah keteguhannya untuk selalu taat pada idealisme yang diyakininya. Banyak negarawan atau politikus yang hanya di awal saja berkoar-koar tentang berjuang bersama rakyat dan demi bangsa. Namun setelah menjabat, mereka malah sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka tetap berjuang, namun berjuang untuk tetap menjabat, berjuang untuk tetap mendapat kehormatan, berjuang untuk menumpuk harta. Pendeknya, berjuang demi keuntungan diri sendiri.

Tidak begitu halnya dengan Cicero. Boleh dibilang, perjuangan yang ia lakukan adalah demi Republiknya yang ia cintai dengan sepenuh hati. Dua provinsi, yang semestinya menjadi ladang untuk menimbun kekayaan setelah selesai menjabat konsul, ia hibahkan pada konsul lain demi kompromi politik. Itu artinya, Cicero tak akan mendapat apa-apa setelah turun jabatan. Dan bukan itu saja, karena ia tidak “ikut arus”, ia menjadi lawan empuk musuh-musuhnya karena berjuang sendirian.

Paling tidak dua kali Caesar menawarkan koalisi pada Cicero, salah satunya adalah saat berusaha mengesahkan undang-undang tanah yang digagasnya. Untungnya, Cicero mampu melihat skema besar yang ada di benak Caesar dengan undang-undang itu, yaitu kejatuhan republik. Seperti yang kita ketahui dalam sejarah, Julius Caesar memang memiliki ambisi sangat besar untuk menguasai Romawi, dan memimpinnya dengan kediktatoran. Untunglah bagi Romawi saat itu, karena mereka memiliki negarawan yang berhati nurani ‘bersih’ seperti Cicero. Tak mau terlena dengan tawaran perlindungan penuh dari Caesar, Cicero maju menghadapi bahaya nyawanya sendiri, demi keselamatan republik, yang hendak dicabik-cabik lawan.

Sangat menegangkan ketika cerita bergulir pada usaha pembunuhan terhadap Cicero di rumahnya. Bagaimana seisi rumah menyewa para pengawal, bagaimana mereka memalang pintu rumah, dan mengganjalnya dengan perabot, bagaimana mereka menyiapkan karung juga air untuk mengantisipasi serangan pembakaran. Dan setelah akhirnya lolos dari lubang jarum, bukannya ketakutan dan memilih berkompromi dengan lawan, Cicero justru bangkit dan membuka borok konspirasi jahat untuk meruntuhkan Republik, ke hadapan senat dan rakyat. Dengan cara apalagi kalau bukan dengan orasi. Konspirasi digagalkan, dan tak ada jalan lain untuk menghancurkannya, selain dengan menghukum mati para pencetusnya. Cicero pun dielu-elukan rakyat, dan diangkat sebagai Bapak Bangsa karena dengan berani telah menyelamatkan Romawi. Setidaknya pada saat itu.

Karena ternyata, musuh-musuhnya [baca: Cicero dan republik] belumlah jera. Rasanya baru saja Cicero menghembuskan napas lega untuk menikmati kejayaannya, pada tarikan napas berikutnya, ia harus kembali berhadapan lagi dengan maneuver berbahaya Caesar. Khusus kepada Caesar, Cicero memiliki kesan antara jijik dan kagum. Komentarnya tentang Caesar: “Orang itu penjudi paling luar biasa yang pernah kutemui. Setiap kali kalah, dia hanya menggandakan taruhannya dan melempar dadu lagi.

Namun, seperti yang sering terjadi pada kemurnian dan kebenaran, pesona kekuasaan begitu menggoda dan menarik banyak orang, sehingga akhirnya harus menghancurkan kemurnian. Hal yang sama terjadi pada Cicero. Teman-temannya, satu persatu menjauhinya, termasuk Pompeius Agung. Mereka yang dulu menjanjikan dukungan, kini bersatu dengan musuh dan seolah memalingkan muka dari si keras kepala yang bersikukuh mempertahankan republiknya.

Saat-saat itu adalah momen yang paling mengharukan di buku ini (tak pernah kusangka, aku akan menangis saat membaca kisah politik!). Sekaligus momen yang mencerminkan seperti apa Cicero yang sesungguhnya. Konon, kemurnian karakter manusia baru teruji saat dihadapkan pada tekanan berat. Tak ada ancaman yang dapat melemahkan Cicero, tak ada godaan yang dapat meluluhkannya. Tak ada kekecewaan yang sanggup menghancurkannya. Cicero hanya ingin memberikan yang terbaik bagi negaranya. Seperti yang dikatakannya dalam salah satu orasinya:

“Jangankan memimpin republik, menyelamatkannya pun sungguh pekerjaan tanpa penghargaan.”

Mungkin aku terkesan terlalu tinggi memuji Cicero. Toh sebagai negarawan, ia banyak melakukan kesalahan. Banyak pro dan kontra pada keputusan-keputusannya. Aku sendiri buta politik ataupun kenegaraan, namun dari penuturan Robert Harris yang cantik ini, aku bisa merasakan kegigihan seorang pahlawan dalam diri Cicero. Mungkin cara yang ia pakai salah, mungkin cita-citanya tak semurni yang seharusnya (hei..siapa sih yang mau bekerja keras kalau tak ada keuntungan sedikit pun baginya? Siapa sih yang tak ingin mendapat sesuatu dari jerih payahnya?), namun kalau saja ada sepuluh orang dengan hati bersih dan keberanian seperti Cicero di antara seratus yang ada di senat, pasti suatu negara akan lebih kuat. Mungkinkah itu? Ahh…sepertinya sosok seperti Cicero hanya ada satu setiap generasi (atau bahkan tak ada lagi?).

Dan jangan lupa, bahwa di luar pribadi Cicero atau prestasinya, kata-katanya terus menggema ke seluruh dunia, hingga dua ribu tahun setelahnya. Tak kurang dari dua orang mantan Presiden Amerika Serikat yang pernah terinspirasi atau tergugah oleh sumbangan pemikiran Cicero, yakni John Adams dan Thomas Jefferson. Inilah kata-kata John Adams tentang Cicero: “All ages of the world have not produced a greater statesman and philosopher combined.” Tak heran, bila ada pepatah yang mengatakan bahwa sebatang pena lebih dahsyat daripada sebilah pedang (the pen is mightier than sword). Sementara lawan-lawannya punya pasukan militer dan uang berlimpah, senjata Cicero satu-satunya adalah kata-katanya!

Di review ini aku sengaja tak membeberkan banyak tentang ceritanya, karena begitu serunya alur cerita, sampai aku bingung harus menuliskan bagian yang mana. Yang jelas, hanya satu kata yang tepat untuk menggambarkan Conspirata ini: Mengagumkan! Jadi, tak berlebihan kan kalau aku memberikan 5 bintang untuk buku ini? Sekali lagi… Bravo Cicero!

Judul: Conspirata
Penulis: Robert Harris
Penerjemah: Femmy Syahrani
Editor: Siska Yuanita
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Oktober 2011
Tebal: 504 hlm

Friday, October 28, 2011

Imperium

Ini adalah kisah anak manusia dengan segala kekurangannya, menapaki jenjang karier dari bawah, tanpa kelimpahan harta, tanpa kecurangan, tanpa dukungan kelas sosial. Hanya dengan suara dan tekadnya. Inilah kisah Marcus Tullius Cicero, sang orator terbesar pada jaman Romawi kuno, 2000 tahun yang lalu….

Imperium merupakan fiksi sejarah karya Robert Harris yang ditulis seolah sebagai sebuah memoar dari seorang negarawan jaman Romawi, dengan Tiro sebagai naratornya. Tiro sendiri awalnya adalah seorang budak rumahan milik ayah Cicero, yang lalu menjadi pengurus perpustakaan. Cicero meminjamnya untuk dijadikan sekretaris pribadinya. Pekerjaannya menjadi juru tulis seorang orator memaksa Tiro menulis secepat curahan kata-kata Cicero. Akhirnya Tiro menciptakan sistem penulisan cepat dengan simbol-simbol untuk mewakili kata atau frase tertentu. Sistem ini kelak disempurnakan dan dikenal sebagai sistem stenografi. Ada yang bilang, Tiro lah penemu sistem ini.

Aku dulu kuliah di fakultas kesekretariatan, dan pernah belajar steno, meski sekarang sama sekali kulupakan. Takjub juga ketika aku "berkenalan" dengan sang pencipta steno sendiri lewat buku ini. Inilah sistem steno yang dulu kupelajari di bangku kuliah.

Steno system Groote yang aku pelajari di bangku kuliah

Kembali ke kisah Cicero. Lahir di Arpinum dari keluarga menengah yang cukup berada (equestrian), Cicero menjadi pengacara muda bersuara serak dan kadang gagap pada usia 27 tahun. Bahkan pada saat itupun Cicero memiliki ambisi besar, dengan meminjam motto Achilles di epic Yunani karya Homer: "Far to excel, out-topping all the rest" ( Jauh mengungguli semua yang lain). Karena itu, Cicero berangkat ke Yunani untuk belajar filsafat (di Akademi Plato di Athena) dan seni retorika bersama Tiro. Meski Tiro adalah budak, Cicero mengajaknya belajar bersama, dan selama karirnya Cicero sangat menghargai Tiro sebagai asisten pribadi yang banyak berjasa bagi kesuksesan Cicero.

Guru yang paling berjasa dalam mengolah kemampuan Cicero berorasi adalah Apollonius Molon. Menarik untuk menyimak metode pengajaran Molon bagi para orator, yakni lewat olah tubuh dalam rangka memperkuat suara dan pernapasan. Karena menurut Molon yang terpenting dalam orasi bukanlah semata-mata isi atau tema orasinya, melainkan: penyampaian, penyampaian, dan penyampaian. Dan memang, kelak Cicero membuktikannya dalam banyak kesempatan.

ilustrasi gaya Cicero ketika berorasi

Untuk menjadi senator di Roma (sama seperti di republik kita tercinta ini), seseorang membutuhkan uang, paling tidak sejuta sestertius. Karena Cicero tak memiliki uang, ia lalu menikahi "uang" bernama Terentia, putri keluarga aristokrat. Maka Cicero pun segera menjadi senator, dan langsung menjadi senator terbaik kedua di Roma setelah Hortensius. Saat itu karir seorang negarawan menanjak lewat banyak jalan. Ada yang lewat jalan aristokrasi seperti Mettelus dan Hortensius, ada yang lewat kekayaan berlimpah seperti Crassus, ada juga yang lewat kekuatan militer seperti Pompeius dan Julius Caesar. Tak memiliki ketiganya, Cicero pun meretas jalan kesuksesan lewat jalur karir hukum.

Gara-gara dinas wajib di Sisilia sebelum resmi menjadi senat di Roma, Cicero memiliki hubungan baik dengan warga Sisilia. Hal ini kelak membantunya dalam sebuah kasus yang menjadi titik penting yang membuat Cicero mulai diperhitungkan dalam percaturan politik di Roma. Kasus itu adalah penjarahan dan suap besar-besaran yang dilakukan oleh Gubernur Sisilia bernama Gaius Verres, diawali oleh pengaduan Sthenius. Dalam kasus ini Cicero membuktikan bahwa ia mampu melawan kekuasaan dan kekayaan hanya dengan kata-kata yang dipadu dengan kecerdikan, tekad dan keberanian.

"Tidak ada satu hal pun yang tak dapat diciptakan atau dihancurkan atau diperbaiki dengan kata-kata." (Cicero) ~hlm 286.

Maka, dari jabatan quaestor (magistratus paling yunior), pelan-pelan ia menanjak menjadi aedilis, lalu praetor dan akhirnya maju dalam pemilihan umum untuk menjadi konsul. Tentu saja jalan yang harus dilaluinya begitu terjal dan penuh tantangan. Boleh dibilang Cicero adalah senator yang paling dibenci anggota senat lainnya. Banyak negarawan yang pernah menjadi "korban"nya, dan tentu saja menghalalkan segala cara untuk menghalangi jalannya untuk meniti karir tertinggi yang menjadi ambisinya.

ilustrasi Cicero dalam orasi maki-makiannya yang terkenal: In toga candida, saat ia mencaci-maki Catilina dan Antonius, lawannya (saat pemilihan konsul)

Menggabungkan filosofi dengan politik, kurasa Cicero adalah senator paling cerdas di Roma saat itu. Ditambah lagi, Cicero adalah negarawan yang "cinta rakyat". Dalam banyak kesempatan, ia menekankan bahwa suara rakyat adalah penentu jalannya pemerintahan. Ia pun piawai dalam berkampanye dan dalam pencitraan diri. Kedua hal itu menjadikan Cicero makin dicintai rakyat, karena dianggap berani melawan para aristokrat sombong yang tak memperhatikan kepentingan rakyat.

Seperti banyak pria "besar" yang berpengaruh, hampir selalu ada peran wanita di baliknya. Dalam hal Cicero, Terentia adalah sosok yang menyemangati dan seringkali memberikan solusi saat Cicero kehabisan akal. Paling tidak, dalam kasus korupsi Verres dan ketika Cicero menemukan konspirasi Crassus-Caesar untuk menjadi penguasa Romawi lewat suap besar-besaran, Cicero pun memakai ide dari Terentia yang terbukti mumpuni.

Di buku ini, anda juga akan menikmati kemunculan awal Julius Caesar muda. Di sini Caesar digambarkan sebagai politikus licik dan playboy. Ia berselingkuh dengan istri kawannya, dan bahkan Tiro pernah memergoki Caesar sedang bercinta dengan istri seorang imperator saat itu.

Membaca Imperium, aku jadi merasakan campuran antara ketegangan, kekecewaan, kegeraman, juga sukacita kemenangan, berganti-ganti sepanjang buku ini. Lewat Imperium, kita bisa lebih memahami tentang republik Romawi dengan keunikannya. Misalnya sistem dua konsul yang berbagi kekuasaan, menghindari kediktatoran. Lalu pengaruh status aristokrat yang sangat kuat dalam pemerintahan. Juga adanya tribunus (semacam DPR) yang mewakili rakyat dan bertugas mengesahkan undang-undang. Kita juga diajak melihat betapa licik dan busuknya konspirasi politik. Lawan bisa menjadi kawan, dan kawan bisa menjadi lawan. Robert Harris membuat novel bernuansa politik yang harusnya membosankan menjadi hidup. Saat orasi Cicero misalnya, aku bahkan bisa membayangkan suasananya, sekaligus orasinya yang kadang menghentak namun kadang menyentuh. Luar biasa!

Dan akhirnya, tentu saja kita jadi dapat mengenal sosok Cicero secara lebih pribadi dan manusiawi berkat penuturan Robert Harris lewat narasi Tiro. Ada perasaan haru menyeruak di dada ketika aku boleh mengenal sang orator terbesar, salah seorang berpengaruh di kerajaan terbesar yang pernah ada di bumi: Romawi. Tentu saja, mengenalnya lewat buku ini. Bravo Robert Harris! Dan aku pun tak sabar menunggu bagian kedua buku ini yang berjudul Conspirata. Siapa lagi yang akan menerbitkannya, kalau bukan Gramedia, yang telah menyajikan buku ini bagi kita lewat penerjemahan yang apik dan boleh dibilang "bersih". Empat bintang untuk Imperium!

Judul: Imperium
Penulis: Robert Harris
Penerjemah: Femmy Syahrani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Mei 2008
Tebal: 413 hlm