Showing posts with label Constantinopel. Show all posts
Showing posts with label Constantinopel. Show all posts

Friday, February 17, 2012

The Female (Wanita)

"..Sepanjang sejarah tak ada seorang wanita... pasti juga tak seorang lelaki pun... pernah melaksanakan seperti apa yang telah dilaksanakan Theodora: satu langkah naik yang begitu perkasa." ~hlm 521.

Pepatah mengatakan, kehidupan manusia itu seperti roda, sekarang kita berada di atas, lalu suatu hari kita pun akan berada di bawah. Namun kehidupan Theodora adalah contoh sebuah paradoks yang sempurna. Ia pernah mengalami kehidupan yang terbawah dari yang paling bawah, namun pernah juga ia berada di puncak dari segala kekuasaan. Ya, Theodora adalah wanita paling berpengaruh di kerajaan Romawi. Ia lah Maharani yang memerintah Kekaisaran Romawi (Byzantium) di abad 600, sekaligus istri Kaisar Justinianus I.

Kisah ini bersetting di Konstantinopel, pusat pemerintahan Kerajaan Romawi pada saat pemerintahan Raja Justinus. Theodora adalah putri seorang pelacur jalanan kelas terendah. Saat itu ada dua kelompok rakyat di Konstantinopel yang selalu berseberangan: kelompok Hijau dan Biru, yang masing-masing biasanya membela pihak yang berlawanan saat pertandingan gladiator di Hippodrome. Theodora kecil sudah akrab dengan kehidupan strata masyarakat terendah. Ia berkawan akrab dengan seorang pengemis lumpuh buruk rupa yang selalu duduk di atas keledai, bernama Hagg (keburukan penampilan Hagg mengingatkanku pada sosok Quasimodo di The Hunchback of Notredame). Hagg adalah Raja dari Persaudaraan Pengemis, kelompok yang memiliki sistem organisasi dan jalur komunikasi yang kuat.

Theodora kecil sering mengemis bersama Hagg di pintu gerbang Hippodrome, dan ia sering membantu Hagg melarikan diri ketika ada rombongan prajurit datang hendak mengusir para pengemis. Dari sinilah terjalin hubungan persahabatan abadi antara Theodora dan Hagg hingga maut memisahkan mereka. Saat usia dua belas tahun Theodora telah menjadi "budak" kakak perempuannya yang mulai menjalani profesi tertua di dunia: pelacur. Dan ketika keperawanannya direnggut oleh seorang budak pria, Theodora pun secara resmi memasuki karier sebagai seorang pelacur jalanan, mengikuti ibu dan kakaknya.

Di Konstantinopel ada sebuah jalan yang bernama Jalan Hawa, yang--dapat diduga dari namanya--selalu penuh dengan pelacur jalanan (pedanae) hingga para famosae (wanita penghibur yang pelanggannya adalah bangsawan dan orang-orang penting). Suatu hari saat Theodora terpaksa mencuri demi membiayai abortus untuk kehamilannya, seorang famosae paling terkenal saat itu—Macedonia menolongnya dari hajaran massa. Macedonia akhirnya mengangkat kehidupan Theodora dengan menjadikannya pembantu hingga mengajari Theodora segala keahlian untuk menjadi pelacur profesional. Maka di usia enam belas Theodora pun meretas jalan untuk menjadi delicatae (pelacur kelas menengah) di Jalan Hawa.

Ternyata, Theodora bukan saja cantik, namun ia memiliki kecerdasan, keanggunan dan bakat untuk mempengaruhi pria. Sedikit demi sedikit ia berusaha menapak jalan makin ke atas. Theodora memulainya dengan menjadi semacam pengelola resepsi bagi famosae paling berkuasa saat itu, yaitu Chione, yang menjadi gundik gubernur kota John Capadocia. Resepsi besar itu disiapkan Chione setelah ia berhasil menyingkirkan rival terberatnya: Macedonia—sahabat yang telah mengangkat Theodora dari kubang lumpur hina. Kali ini Theodora, yang memiliki kalung mewah hadiah seorang saudagar, berhasil menolong Macedonia yang ditelantarkan dan dibuang dari Konstantinopel. Di sisi lain, Theodora mulai menyusun strategi untuk balas dendam pada Chione di resepsi besarnya itu...

Nyatanya, resepsi-balas-dendam Theodora berakhir dengan sukses. Chione ia singkirkan dengan amat keji, dan sekaligus Theodora mulai mendapatkan reputasi di kalangan pria tingkat atas. Namun di sisi lain, ia jadi memiliki musuh baru, yakni John Capadocia—yang ditertawakan rekan-rekannya gara-gara kejatuhan Chione-nya. Demi menghindari bahaya yang mengancam, Theodora serta-merta menerima tawaran Hecebolus—guberbur baru untuk Cyrenaica (Syria)—untuk menjadi wanita simpanannya di daratan Afrika. Malang bagi Theodora, selama dua tahun Hecebolus memperlakukannya dengan buruk, bahkan kemudian membuangnya di gurun Sahara, lagi-lagi berkat hasutan John Capadocia.

Pantang menyerah, meski nyaris mati di padang pasir, Theodora berhasil dengan selamat keluar dari maut--lagi-lagi berkat persahabatannya dengan para pengemis yang memiliki kata sandi Mendici. Setelah terpuruk dan tak memiliki apa-apa, kini giliran Macedonia menolong (lagi) Theodora. Dengan beberapa baju, uang dan sebuah surat 'sakti' yang ditulis Macedonia, Theodora menantikan mukjijat sambil bekerja sebagai pengantih (pemintal). Jaman itu, menjadi pengantih adalah jalan yang diambil pelacur untuk keluar dari pelacuran dan menjalani hidup normal.

Lagi-lagi dengan bantuan sahabatnya Hagg, surat sakti Macedonia yang ternyata dialamatkan kepada Pangeran Justinianus—saat itu Pangeran pewaris tahta, kemenakan Kaisar Justinus--mulai menunjukkan "kesaktiannya". Sang Pangeran menjadi tertarik pada seorang pelacur bernama Theodora.... Sebuah langkah pertama Theodora menuju ke kekuasaan.

Mudah ditebak, Theodora berhasil memikat Justinianus sehingga—alih-alih hanya menjadi penghibur sehari semalam--Justinianus malah mengambil Theodora sebagai selir. Dan makin lama makin nampaklah kemampuan strategi Theodora yang beberapa kali berhasil menyelamatkan Romawi, ketika diaplikasikan oleh Justinianus. Sementara itu musuh bebuyutan Theodora—John Capadocia—yang juga mengincar tahta Kaisar, tak tinggal diam. Sebuah pemberontakan diam-diam dibangunnya demi menjungkalkan kesempatan Justinianus naik takhta, sekaligus membalas dendam pada Theodora.

mozaik yang menggambarkan Maharani Theodora

Apakah yang kemudian terjadi? Bagaimana bisa Theodora akhirnya menjadi Maharani, mengingat ia hanyalah seorang wanita, apalagi berasal dari pelacur rendahan? Akankah rakyat menerimanya? Mampukah ia, seorang wanita biasa yang fisiknya rapuh dan mungil memikirkan masalah-masalah besar negara? Dan apakah John Capadocia berhasil melancarkan balas dendam abadinya kepada Theodora?

Sangat mengasyikkan membaca buku ini. Pertama, karena lengkap dan telitinya riset yang dilakukan Paul I. Wellman atas fakta sejarah, digabungkan dengan penuturan cerita yang menawan, membuatku hampir lupa bahwa kisah Theodora ini adalah kisah sejarah. Kedua, terjemahan yang tak kalah menawannya, berhasil menghadirkan nuansa sejarah dengan baik. The Female menyadarkan kita akan hakikat wanita sebagai seorang perempuan—kekuatan dan kelemahannya, dan bagaimana mereka seharusnya menggunakannya sebagai seorang penghuni dunia. Kini memang kita tahu bahwa wanita pun mampu memimpin negara, namun pada jaman Theodora hidup, wanita hanya berkutat pada soal kewanitaan saja. Maka kecerdasan, ketajaman pengamatan dan keberaniannya mengambil keputusan besar, merupakan prestasi gemilang yang patut dikenang.

Lima bintang untuk Wanita (judul terjemahan untuk The Female) ini!

Judul: Wanita
Judul asli: The Female
Penulis: Paul I. Wellman
Penerjemah: Alfons Taryadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Mei 2005
Tebal: 522 hlm

Monday, October 3, 2011

Baudolino

“Dalam suatu sejarah, kebenaran kecil-kecil bisa diubah sedemikian rupa sehingga muncul kebenaran yang lebih besar.”

Masih ingat Forrest Gump? Baudolino akan mengingatkan anda pada Forrest Gump. Bukan pada keluguan Gump, melainkan pada model cerita yang dipakai Winston Groom untuk menyisipkan tokoh Forrest Gump, yang notabene adalah tokoh fiksi, ke dalam berbagai peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi. Umberto Eco dengan brilian juga merangkai kisah Baudolino dengan cara yang sama. Bedanya, Eco menyisipkan tokoh fiktif Baudolino ke dalam sejarah abad pertengahan, khususnya di sekitar abad ke 12.

Baudolino adalah putra Gagliaudo yang tinggal di Frascheta, Italia. Dari kecil ia mampu berbicara bahasa asing hanya dengan mendengar beberapa kata dalam suatu bahasa. Namun bakat Baudolino yang paling “hebat” adalah berbohong. Kedua kemampuannya itu berguna saat ia bertemu dengan seorang Jerman bernama Frederick dalam sebuah penyerbuan Jerman ke Terdona. Belakangan terungkap bahwa Frederick ini adalah Frederick “Barbarossa”, sang Raja Jerman pada tahun 1152 yang kelak diangkat menjadi Kaisar Roma oleh Paus pada 1155. Karena kecerdasannya (separuhnya adalah hasil bualan tentu saja!), maka Frederick lalu mengangkat Baudolino menjadi anaknya.

Selanjutnya Baudolino meninggalkan ayahnya dan mengikuti Kaisar Frederick I ini kemana pun ia pergi, sementara Frederick mengajarinya baca-tulis. Saat itu Frederick baru saja mengalahkan Terdona, dan sedang kembali ke Jerman. Itulah awal kisah Baudolino yang lalu ia ceritakan kepada seseorang bernama Niketas.

Dalam sejarah, Niketas Choniates adalah seorang sejarawan Yunani yang pernah menjadi kanselir dari Basileus (Raja) Byzantium. Pertemuan Baudolino dan Niketas terjadi ketika pecah Perang Salib yang ke-4 di Konstantinopel pada tahun 1204 yang meruntuhkan kerajaan Byzantium. Dalam keadaan kritis, Baudolino menyelamatkan Niketas dari pembunuhan oleh para Saracen (istilah yang mengacu pada bangsa Arab). Maka dalam proses menyelamatkan diri dari perang, Baudolino pun menceritakan seluruh kisahnya pada Niketas dari semenjak ia tinggal di istana Frederick I, agar Niketas kelak dapat menulisnya sebagai sejarah.

ilustrasi saat hancurnya Konstantinopel

Lalu kisah petualangan Baudolino pun mengalir mengikuti alur sejarah, di mana Baudolino tampaknya selalu “tak sengaja” hadir dan terseret dalam peristiwa-peristiwa besar yang tercatat dalam sejarah. Menjadi saksi perebutan Terdona oleh Frederick dan terlibat dalam Perang Salib 2, hanyalah dua di antara banyak petualangan serunya. Lebih unik lagi, Baudolino seolah turut mengubah jalannya sejarah, bukan dengan tindakan heroisme melainkan justru dengan kebohongannya.

Ketika ia dititipkan pada Kardinal Otto von Preising untuk belajar, Baudolino terlibat dalam penyusunan sebuah dokumen kuno. Saat itu Otto sedang melanjutkan menulis chronica sive historia de duabus civitatibus, dokumen yang mengisahkan sejarah dua kota: Yerusalem dan Babel. Malangnya chronica itu tiba-tiba menghilang sehingga Otto harus menulis ulang. Frederich lalu menyuruh Otto memasukkan pujian terhadap Frederich ke chronic yang baru itu, agar Frederich dikenang sepanjang masa, yang akhirnya dikenal sebagai Gesta Friderici Imperatoris (Kebaikan-Kebaikan Kaisar Frederick).

Tanpa diduga, ternyata Baudolino lah biang keladi chronica yang hilang itu. Ia ingin sekali belajar menulis namun tak memiliki perkamen kosong. Maka ia mengambil sembarang perkamen (yang ternyata adalah chronica itu!), mengerik tulisannya sehingga ia punya perkamen kosong untuk ia tulisi. Bayangkan! Perkamen itu kelak dihilangkan Baudolino, karena itulah kini ia harus menceritakan kisahnya pada Niketas berdasarkan ingatannya belaka. Ingatan seorang pembohong yang penuh kebohongan dan tak dapat dipercaya.

Sebelum Otto meninggal, ia mengamanatkan Baudolino untuk mencari seorang raja atau imam yang hingga saat itu tak diketahui keberadaannya, dan hanya dikenal sebagai Prester John atau Presbyter John. Dalam kenyataannya, Presbyter John dipercaya sebagai Yohanes dari Patmos, penulis Kitab Wahyu dalam Alkitab Perjanjian Baru. Sementara ada juga yang mengatakan bahwa Yohanes dari Patmos dan Yohanes sang rasul Yesus adalah satu orang yang sama. Belum diketahui pasti hingga sekarang teori mana yang benar.

Prester John sendiri merupakan legenda yang merujuk pada sebuah kerajaan di daratan Asia (mungkin di India atau Ethiopia), di mana umat Kristiani hidup tanpa cacat sesuai perintah Allah. Ada yang mengatakan Prester John adalah keturunan dari orang Majus (tiga orang asing yang mengikuti bintang Daud sehingga menemukan tempat Yesus lahir di Betlehem). Legenda yang simpang siur ini menjadi sasaran empuk Umberto Eco untuk menempatkan Baudolino.

Sesuai amanat Otto, Baudolino harus menemukan Presbyter John untuk dipertemukan dengan Frederick agar Perang Salib tidak berkelanjutan. Namun karena Baudolino pun tak mampu menemukan Presbyter John, maka sesuai karakternya ia pun mulai "menciptakan" si Presbyter John ini. Ia mulai dengan "merancang" istana yang sesuai untuk Presbyter John, lalu mengarang surat dari Presbyter John untuk Frederick. Bahkan ia “menciptakan” Grasal (Holy Grail) yaitu cawan yang konon dipakai Yesus saat Perjamuan terakhir, yang menjadi legenda namun “dihidupkan” oleh Baudolino. Konyol juga mengikuti petualangan Baudolino ini, dan dengan membaca buku ini anda akan dibuat benar-benar kehilangan arah antara kenyataan dan bualan.

Lewat kisah konyol Baudolino, sebenarnya kita juga diajak untuk belajar sejarah. Lihat saja ketika Baudolino mengisahkan tentang Frederick I pada Niketas, secara tak langsung kita akan mengetahui bagaimana Frederick I yang orang Jerman bisa dinobatkan menjadi Kaisar Roma oleh Paus. Bagaimana proses kelahiran kota Alessandria dan kanonisasi (proses menjadikan seseorang santo) Charlemagne. Selain itu kita juga diajak melihat bagaimana keserakahan dan kesombongan para penguasa abad itu, baik negara maupun gereja. Bagaimana Frederick berusaha menjadi yang paling berkuasa, hingga menghalalkan segala cara. Dari peperangan, pembunuhan, hingga kebohongan.

Pada akhirnya kurasa Umberto Eco ingin mengingatkan kita bahwa di dunia ini segalanya berlaku terbalik. Kebohongan dan hal-hal fana menjadi sesuatu yang dipercayai manusia. Sementara kebenaran yang sesungguhnya justru dianggap absurd. Hal yang sama terjadi pada Baudolino, dalam petualangannya, tiap kali ia menciptakan kebohongan, kebohongan itu akan membawa kesuksesan. Sebaliknya tiap kali mengatakan kebenaran (yang jumlahnya dapat dihitung jari), ia mengalami kesialan, seperti yang ia katakan di hlm 745 buku ini: “Kau lihat sendiri. Pertama kali dalam hidupku aku mengatakan yang benar dan hanya kebenaran, mereka melempariku dengan batu.”

Dan inilah jawaban Niketas kepadanya: “Itu juga terjadi dengan para rasul.” Dan memang itulah tantangan bagi kita yang ingin melakukan kebenaran, kita takkan pernah diterima oleh dunia karena dunia memang lebih suka pada kebohongan.

Baudolino adalah sebuah kisah yang lengkap. Anda akan menemukan sejarah, kekonyolan, mitos dan legenda, sekaligus misteri dalam sebuah buku setebal 750 hlm ini. Sayang penerjemahannya kurang bagus, tapi mungkin itu disebabkan kalimat dan paragraf-paragraf yang terlalu panjang. Di bagian akhir cerita jadi agak membosankan dan tak masuk akal, namun Umberto Eco berhasil menutup kisah ini dengan sesuatu yang bermakna. Tetap saja, dengan semua kekurangan itu, tiga bintang kuberikan untuk Baudolino!

Judul: Baudolino
Penulis: Umberto Eco
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbit: Juni 2006
Tebal: 750 hlm