Showing posts with label Arts-Artists. Show all posts
Showing posts with label Arts-Artists. Show all posts

Thursday, August 16, 2012

Lust For Life


Begitu menutup lembar terakhir buku ini, tidak…sebenarnya sepanjang paruh kedua buku ini, ada tiga pertanyaan menggelayut di pikiranku: Adakah perbedaan antara kejeniusan dan kegilaan? Apakah seorang pelukis mampu melukis dengan hebat karena ia memiliki bibit-bibit kegilaan? Ataukah ia menjadi gila akibat mencurahkan emosi sebegitu besarnya pada lukisan? Dan yang terakhir, apa sebenarnya ‘gila’ itu? Membaca buku ini saja takkan mampu menjawab pertanyaan itu, malah aku merasa buku ini memang benar-benar gila. GILA bagusnya!!

Lust for Life menuturkan kisah hidup Vincent Van Gogh (30 Maret 1853 – 29 Juli 1890), seorang maestro seni lukis asal Belanda yang merupakan salah satu pelukis termahal di dunia. Van Gogh adalah salah satu pelukis beraliran post-impressionist yang saat itu tengah melanda Prancis. Para pelukis lain yang sealiran dengannya antara lain Paul Gauguin, Paul Cezanne, Henri de Toulouse-Lautrec, dan Georges Seurat, yang adalah kawan-kawannya. Lukisan Van Gogh memiliki ciri khas sapuan yang kasar namun cantik, dengan warna-warna yang tegas dan cat yang tebal, menyiratkan emosi yang sepenuhnya dicurahkan sang pelukis. Sementara pelukis-pelukis sebelumnya menangkap keindahan untuk ditorehkan ke atas kanvas, Van Gogh justru memotret kesuraman hidup, kemiskinan dan penderitaan yang karakter kuatnya kemudian ia pancarkan lewat kanvasnya. Van Gogh melukis bukan untuk memanjakan mata, namun untuk merasakan getar kehidupan dari manusia maupun alam.

Salah satu lukisan awalnya: The Potato Eaters, memotret sebuah keluarga petani miskin di Nuenen. Lukisan ini disebut oleh Van Gogh sebagai karya terbaiknya.

"You see, I really have wanted to make it so that people get the idea that these folk, who are eating their potatoes by the light of their little lamp, have tilled the earth themselves with these hands they are putting in the dish, and so it speaks of manual labor and — that they have thus honestly earned their food. I wanted it to give the idea of a wholly different way of life from ours — civilized people. So I certainly don’t want everyone just to admire it or approve of it without knowing why." ~dari wikipedia

Mereka menanam kentang, mencangkul kentang, dan memakan kentang; itulah kehidupan mereka.

Vincent van Gogh
Painting, Oil on Canvas
Nuenen, The Netherlands: April, 1885
Van Gogh Museum, Amsterdam


Van Gogh lahir dari keluarga pendeta, dan digadang-gadang oleh keluarganya menjadi penerus sang ayah, berkarya melayani Tuhan. Selama bertahun-tahun Van Gogh berjalan tak tentu arah mencari panggilan hidupnya. Berawal dari penjual lukisan di galeri, Van Gogh tak puas karena mereka hanya fokus pada faktor komersial saja, tanpa mengindahkan seni sama sekali.

Kemudian setelah belajar di sekolah alkitab, Van Gogh menyadari bahwa ia harus berkarya di daerah yang miskin, maka ia bertolak ke Borinage, sebuah desa pertambangan di Belgia. Namun di sana ia menemukan bahwa bukan sabda Tuhan yang dibutuhkan masyarakat, melainkan makanan, pakaian dan obat-obatan. Maka layaknya seorang martir, Van Gogh pun mengorbankan semua miliknya bagi mereka yang paling menderita. Tak mampu menolong mereka, ia mulai kehilangan imannya kepada Tuhan. Lalu berkat bantuan adiknya yang sangat mencintainya, Theo, ia pun menemukan jalan hidupnya yaitu melukis.

Ketika anda memandang sebuah lukisan terutama karya seorang maestro, jangan membayangkan bahwa si pelukis, karena bakatnya, tinggal duduk di depan kanvas, mengulaskan kuas ke atasnya, lalu sim-salabim…..terciptalah lukisan indah yang kemudian terpajang di galeri-galeri. Tidak. Sama sekali tidak! Untuk menciptakan karya yang optimal, seorang pelukis membutuhkan paling tidak sepuluh tahun untuk berlatih, belajar dan terus melukis. Awalnya lukisannya akan terlihat mentah, lalu lama kelamaan lukisannya akan bertambah ‘matang’, hingga suatu hari ia akan mencapai puncak, dan ketika namanya kelak sudah mendunia, lukisan-lukisan awalnya pun akan terus diburu orang. Sepanjang hidupnya Van Gogh hanya pernah mengalami rasa bangga karena lukisannya terjual sebanyak satu kali saja!

Inilah lukisan The Red Vineyard yang pertama dijual Theo adiknya seharga empat ratus franc:

Vincent van Gogh
Painting, Oil on Canvas
Arles: November, 1888
Pushkin Museum, Moscow


Membaca buku ini aku semakin menyadari betapa beratnya perjalanan seorang pelukis. Ternyata melukis bukan sekedar memulas kuas ke kanvas untuk membubuhkan bentuk dan warna, melukis adalah pertama-tama menangkap energi dan esensi sebuah obyek menurut sudut pandang si pelukis, lalu menuangkannya ke atas kanvas agar orang yang melihatnya menangkap pemikiran atau perasaan si pelukis tentang obyek itu. Jadi lukisan yang indah bukan dinilai dari indah/tidaknya obyek yang dilukis, melainkan lebih pada mampu/tidaknya si pelukis mencerminkan esensi obyek itu. Kupikir-pikir, melukis sama saja dengan mereview sebuah buku (seperti tulisan ini), tujuannya adalah menangkap esensi atau emosi sebuah buku dan menuangkannya dalam review. Lukisan dan review hanya berbeda medianya saja…

Vincent Van Gogh sendiri berjuang selama lebih dari sepuluh tahun, selama itu ia berpindah-pindah tempat, dar Belanda, ke Belgia, ke Paris, dan banyak kota-kota kecil di antaranya. Ia juga sering mengalami kegagalan cinta—dan seringkali karena si wanita atau keluarganya memandang rendah dirinya yang kerjanya ‘hanya’ melukis, miskin, tak punya masa depan. Van Gogh hidup sangat miskin, hanya bergantung pada uang saku yang dikirimkan oleh sang adik Theo. Seumur hidupnya Van Gogh tak pernah mampu membiayai hidupnya sendiri, kerapkali ia harus menahan lapar demi hasrat yang meledak-ledak untuk melukis. Namun ia selalu sadar dan yakin bahwa melukis adalah panggilan hidupnya.

Lukisan bunga matahari Van Gogh dalam bentuk Still Life yang penuh warna kuning cerah, warna yang menjadi ciri khas sampul buku ini:

Vincent van Gogh
Painting, Oil on Canvas
Arles, France: August, 1888
National Gallery, London


Sepanjang hidupnya yang singkat (ia meninggal di usia 37 tahun), Van Gogh tak banyak disukai orang, banyak yang menganggapnya gila dan menilai lukisannya sebagai karya yang buruk. Pendeknya, bagi dunia Van Gogh adalah manusia yang gagal. Padahal semua itu karena dunia tak mau benar-benar menghargai jiwa seni.

Aku tahu bahwa pada dasarnya memang benar bahwa pelukis adalah orang yang terlalu diserap oleh apa yang dilihatnya dan tidak cukup menguasai bagian kehidupannya yang lain. Tapi apakah itu membuatnya tidak pantas hidup di dunia ini?” ~hlm. 527

potret diri, dilukis Van Gogh dari cermin
Apakah karenanya semangat Van Gogh kemudian surut? Tidak. Dan ini mungkin sebuah filosofi yang harus dianut semua orang yang berjiwa seni, dan seni itu menjadi panggilan hidupnya.

Apa yang dipikirkan dunia tidak banyak bedanya. Rembrandt harus melukis. Apakah dia melukis dengan baik atau jelek, tidak jadi soal baginya; melukis adalah sarana yang membuatnya menjadi seorang manusia yang utuh. Nilai utama seni, Vincent, terletak pada ekspresi yang diberikannya kepada pelukis. Bahkan kalau karyanya (Rembrandt) tidak dihargai, dia ribuan kali lebih sukses daripada kalau dia meninggalkan keinginannya dan menjadi pedagang kaya di Amsterdam.” ~hlm. 51

Untunglah bagi kita semua, bahwa orang-orang seperti Vincent Van Gogh, meski harus menderita, dikucilkan, namun tak pernah berpaling dari apa yang menjadi jiwanya. Kupikir mereka adalah orang-orang yang sukses karena mereka, dengan kegigihannya, berhasil mewujudkan hasratnya terlepas dari segala kendala dan meski tak ada orang yang menghargainya. Asalkan mereka memiliki cinta, mampu mencintai dan dicintai. Di hidupnya yang hanya 37 tahun, terlepas dari semua derita dan kegilaannya, kupikir Vincent Van Gogh telah menjalani hidup yang sempurna.

Lukisan Van Gogh yang paling terkenal: The Starry Night, yang dilukisnya ketika sudah tinggal di Rumah Sakit Jiwa Saint Remi:

Vincent van Gogh
Painting, Oil on Canvas
Saint-Rémy, France: June, 1889
The Museum of Modern Art, New York


Sekarang kembali pada pertanyaanku di paragraf awal tentang kegilaan, karena ya..pada akhir karirnya Vincent boleh kita anggap menjadi gila (bila bipolar disorder dan schizophrenia bisa dikatakan gila) dan harus tinggal di Rumah Sakit Jiwa. Sekali lagi pertanyaannya adalah, apakah memang ada bakat kegilaan dalam diri Van Gogh atau pelukis lainnya yang membuat mereka berhasil menjalani hidup sebagai pelukis? Atau justru gaya hidup mereka sebagai pelukis dengan emosi yang meledak-ledaklah yang membuat mereka menjadi gila? Yang manapun yang benar, kupikir sekarang tak menjadi soal, toh seseorang disebut gila karena ia memiliki pemikiran yang berbeda dari pakem yang ada, atau out of the box istilahnya. Buktinya, meski Vincent Van Gogh pada jamannya dianggap gila dan lukisanya jelek, kini ia menjadi salah satu maestro dunia yang lukisannya terjual dengan nilai yang menakjubkan. Jadi, sebenarnya yang gila pelukisnya atau para pecinta seni yang rela merogoh kocek untuk memajang pulasan kuas yang kasar dan penuh energi itu? Satu hal yang pasti buatku, buku ini sendiri memang gila, GILA bagusnyaaa!

Judul: Lust For Life
Penulis: Irving Stone
Penerjemah: Rahmani Astuti
Editor: Anton Kurnia
Penerbit: Serambi Cerita Utama
Terbit: Juli 2012
Tebal: 574 hlm

Friday, October 21, 2011

The Virgin Blue

Saat kecil dulu, aku sering bertanya-tanya, mengapa jubah yang dipakai Bunda Maria pada patung atau lukisan selalu berwarna biru? Apakah Ia hanya punya satu jubah saja? Tentu saja itu pemikiran lugu seorang anak. Namun setelah membaca historical fiction karya Tracy Chevalier ini, aku kembali bertanya dengan sudut pandang baru: Apa yang sesungguhnya mau dilambangkan dengan warna biru pada jubah Maria? Mengapa harus biru, dan biru yang bagaimana? Dan inilah sedikit penjelasan yang kudapat dari beberapa artikel di internet,


Mengapa Biru?

Warna biru secara biblical melambangkan kemuliaan dan keagungan surgawi. Karena Bunda Maria adalah satu-satunya manusia yang diangkat ke surga dan menikmati kemuliaan surga, maka ia layak mengenakan warna biru.

Menurut International Marian Research Institute di University of Dayton, warna yang dipakai untuk jubah Bunda Maria bukan biru langit, melainkan biru yang lebih tua. Pada jaman tahun 500 SM, warna biru tua itu berasal dari jaman Byzantium, yang melambangkan "ratu". Maria dianggap sebagai Ratu Surgawi, maka ia layak mengenakan warna biru tua itu.

Ada juga yang mengatakan bahwa warna biru tua di Palestina melambangkan status “ibu”.

Sedang dalam teknik pewarnaan jaman abad pertengahan, warna biru tua itu berasal dari batu lapis lazuli, yang saat itu diimpor dari Afganistan dan nilainya melebihi emas. Maka, sebagai ungkapan devosi umat untuk memuliakan Bunda Maria, mereka "memberikan" jubah yang tergerai panjang berwarna biru, sebiru lapis lazuli.

Warna biru batu lapis lazuli

The Virgin Blue

Warna biru lapis lazuli itulah yang menghubungkan takdir dua wanita yang terpisah selama 400 tahun.

Di abad 16, hiduplah Isabelle du Moulin, seorang gadis kecil yang tinggal di Prancis. Suatu hari sebuah patung Bunda Maria diletakkan di gereja setempat, dan saat dinding sekitarnya dicat warna biru tua sesuai warna jubah Bunda Maria, matahari senja menyinari kepala Isabelle dan membuat rambutnya berwarna merah tembaga, persis warna rambut (yang diyakini) milik Bunda Maria. Sejak saat itu Isabelle dijuluki La Rousse, yang merujuk pada julukan Sang Perawan Maria.

Di abad 20, seorang wanita bernama Ella Turner memulai hidup baru di Prancis bersama suaminya, Rick. Meski tumbuh di Amerika, Ella ternyata memiliki darah Prancis dari ayahnya. Tournier adalah nama keluarga dan nenek moyangnya. Pada suatu hari Ella bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat warna biru yang bergelombang dan suara berdebum seolah ada batu besar jatuh, juga suara lirih sebuah nyanyian, yang ternyata diambil dari Kitab Mazmur 31: 12-13. Sejak saat itu ia sering mendapatkan mimpi warna biru yang sama itu berulang-ulang. Apa arti mimpi ini?

Oleh Tracy Chevalier, kisah kedua wanita ini diceritakan secara bersamaan dari awal, secara bergantian. Awalnya hampir tak ada kaitan antara keduanya, kecuali kesamaan warna biru itu. Abad 16 merupakan awal tumbuhnya Kristen Protestan (Reformasi Protestan) yang dipelopori oleh Martin Luther. Kaum Protestan meyakini bahwa umat Kristen seharusnya berdoa langsung kepada Tuhan, tanpa perantara, karena keselamatan hanya datang Yesus Kristus. Hal ini menentang ajaran/ritual Katolik yang menganggap Bunda Maria adalah perantara antara manusia dan Tuhan. Reformasi Protestan ini dibawa ke Prancis dan Swiss oleh John Calvin. Banyak petani di daerah itu yang menganut ajaran Calvin yang lalu disebut Calvinist atau "Kebenaran". Penganut Kebenaran di Prancis ini dijuluki kaum Huguenot.

Karena menentang peran Bunda Maria, kaum Huguenot pun memusuhi Isabelle dan ibunya. Saat gereja Katolik diambil alih dan pastornya diusir, kaum Huguenot memaksa Isabelle untuk menghancurkan patung Perawan Maria. Isabelle dianggap sebagai penyihir, apalagi karena rambutnya semakin berwarna merah tembaga. Di tengah semua itu, Isabelle tetap memendam devosinya terhadap Bunda Maria, meski secara diam-diam. Bahkan setelah ia (terpaksa) menikah dengan Etienne Tournier karena terlanjur hamil. Karena kedekatannya dengan Bunda Maria itulah Isabelle senantiasa dijauhi oleh penduduk. Ia akhirnya berhasil menamai anak perempuannya Marie (dari nama Maria) meski untuk itu harus mengancam Etienne.

Dimusuhi penduduk ternyata merupakan kesamaan lain Isabelle dengan Ella Tournier. Berdiam di kota kecil bernama Lisle-sur-Tarn, Ella merasa ia dimusuhi karena ia orang asing $28Amerika) yang tak fasih berbahasa Prancis. Seperti Isabelle, Ella merasa sendirian. Untuk menghibur diri, Ella pun mulai mencari tahu tentang nenek moyangnya, keluarga Tournier. Ia dibantu oleh pustakawan tampan bernama Jean Paul yang suka sinis dan berdebat dengannya. Kedekatan mereka berdua dalam proyek itu menyadarkan Ella bahwa ada sesuatu yang berubah dalam pernikahannya dengan Rick. Ella dan Jean Paul pun mulai jatuh cinta...

Empat ratus tahun sebelumnya, pernikahan Isabelle dan Etienne jauh lebih tak bahagia lagi. Bukan saja penduduk, namun suami, mertua dan salah satu putranya juga memusuhi dirinya yang dianggap penyihir. Saat menemukan helai rambut merah mulai tumbuh di kepala putrid bungsunya, Marie, ia pun ketakutan. Di sisi lain, meski tak sampai selingkuh seperti Ella, ada seorang penggembala bernama Paul yang mencintai Isabelle dengan caranya yang unik. Rambut merah Marie dan Paul adalah sebagian rahasia pribadi Isabelle.

Pada tahun 1572 terjadi pembantaian terhadap kaum Huguenot oleh kaum Katolik atas perintah ibunda Raja, yang disebut Pembantaian St. Bartholomew's Day (karena terjadi pada hari peringatan St. Bartolomeus). Saat itu keluarga Tournier terpaksa pindah untuk menyelamatkan diri ke Swiss, tepatnya ke desa Moutier yang letaknya dekat perbatasan dengan Prancis. Sementara itu Ella terus menelusuri jejak leluhurnya berkat bantuan sepupu ayahnya yang tinggal di Swiss, Jacob Tournier. Saat itu Ella berhasil mendapatkan sebuah peninggalan berharga berupa Alkitab milik keluarga Tournier, terbukti dari nama-nama seluruh keluarga Tournier yang tercantum di situ.

Pembantaian St. Bartholomew's Day yang diilustrasikan dalam sebuah lukisan

Di rumah baru di Moutier, Isabelle pada suatu hari menemukan sehelai kain biru sewarna biru yang dipakai Sang Perawan Maria yang ia miliki secara diam-diam. Dan pada suatu hari lainnya Etienne menemukan bahwa anak gadisnya, Marie mengenakan kain biru itu di balik roknya, yang membuat Etienne marah besar.

Sementara itu, pencarian Ella akan leluhurnya membawanya ke rumah pertanian yang diyakini dulu pernah ditempati keluarga Tournier 400 tahun lalu. Hal ini dipastikan karena Etienne membangun cerobong asap di rumah itu, yang langka pada jaman itu. Dan di rumah itulah, semua misteri di balik warna biru itu akan sedikit terungkap. Sedikit, karena memang tak sepenuhnya menjawab semua misteri. Menurutku, Tracy Chevalier menulis dengan sedikit gaya realisme magis, dengan meminjam pemujaan atau devosi kepada Bunda Maria. Bagaimana pun Ella lah tampaknya yang memang harus menemukan rahasia yang mengejutkan yang telah terkubur selama empat abad itu.

Kalau begitu, bagaimana dengan kegalauan hati Ella sendiri terhadap dua pria yang mencintainya? Akankah ia dapat mempertahankan perkawinannya dengan Rick? Ataukah ia akan memilih bersama Jean Paul yang selalu dapat memahaminya?

Terus terang aku kagum pada Tracy Chevalier. The Virgin Blue adalah novel historical fiction pertamanya, namun ia telah dengan piawai membawa kita pada suasana magis, sekaligus romantis di tengah sejarah abad ke 16. Di awal kisah, cerita tentang Ella dan Isabelle dituturkan dalam alur lambat, yang satu menyusul yang lain. Namun makin ke belakang, kisah keduanya makin membaur hingga akhirnya menyatu dalam sebuah pemahaman. Indah sekali cara penulisannya ini, dan makin mdmpesona karena Tracy memasukkan unsur lain ke dalam kisah ini, yaitu sebuah lukisan.


Biru dalam Lukisan

Selain Alkitab kuno yang menjadi bukti keberadaan leluhurnya, , Ella juga menemukan kemungkinan salah satu leluhurnya adalah seorang pelukis Prancis yang melukis Bunda Maria dalam jubah warna biru tua, seperti yang selalu muncul dalam mimpinya. Lukisan itu adalah "The Entombment", dilukis oleh Nicolas Tournier di sekitar abad 16.

Lukisan "The Entombment" yang dilihat Ella Tournier di kisah ini

Dalam kehidupan nyata, Nicolas Tournier sungguh-sungguh ada, dan Tracy tak sengaja menemukan lukisannya yang berjudul "Crucifixion" di sebuah museum. Dalam lukisan itu, Bunda Maria mengenakan jubah warna biru seperti yang dibayangkan oleh Tracy waktu menulis kisah ini. Saat itu ia telah mulai menulis tentang keluarga Tournier, dan sangat kaget waktu menemukan bahwa pelukis Crucifixion itu bernama Tournier juga. Pelukis itu juga tinggal di Montbeliard yang hanya 30 mil dari Moutier, lokasi yang dipakai Tracy dalam kisah ini.

Lukisan "Crucifixion" karya Nicolas Tournier yang dilihat Tracy Chevalier di museum

Terlalu banyak kebetulan? Ah....bagaimana pun hidup ini selalu penuh dengan misteri kan? Empat bintang untuk The Virgin Blue!

Judul: The Virgin Blue
Judul terjemahan: Biru Sang Perawan
Penulis: Tracy Chevalier
Penerjemah: Lanny Murtiharjana
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Juli 2006
Tebal: 353 hlm

Friday, May 27, 2011

The Lady And The Unicorn

Bagaimana proses pembuatan permadani bisa dibingkai menjadi sebuah kisah yang menarik? Tracy Chevalier telah berhasil melakukannya melalui buku Lady dan Unicorn ini. Pembuatan permadani hiasan dinding (tapestry) pada abad pertengahan sangat rumit karena semuanya dilakukan secara manual dibantu alat tenun. Sama sekali tak dapat dibandingkan dengan pembuatan karpet jaman modern yang menggunakan mesin. Selain itu, motif permadani jaman itu dirancang dengan memasukkan simbol-simbol tertentu, yang menceritakan banyak hal sekaligus pada penikmatnya, tentang visi maupun impian keluarga itu. Itulah sebabnya, pembuatan permadani bisa memakan waktu bertahun-tahun, terutama apabila desainnya rumit dan eksklusif, seperti Lady dan Unicorn yang menjadi judul buku ini.

Kisah ini mengambil tokoh keluarga le Viste, sebuah keluarga yang, meski tidak berdarah bangsawan murni namun karena memiliki pengaruh besar pada kerajaan selama beberapa generasi, memiliki reputasi yang baik di kalangan bangsawan dan raja Prancis pada akhir abad 15: Charles VII. Dan setelah Jean le Viste memperistri Genevieve de Nanterre yang putri bangsawan, maka darah kebangsawananpun mengalir ke keluarga itu. Untuk merayakan kenaikan status yang dianugerahkan oleh Raja itu, le Viste memesan permadani untuk dipamerkan di rumahnya saat pesta.

Nicolas des Innocents adalah pelukis yang tampan, angkuh dan perayu wanita kelas kakap, yang sangat ironis mengingat ia menyandang nama Innocents (innocent). Selama ini reputasinya sebagai pelukis gambar diri miniatur wanita-wanita bangsawan, pelukis kaca patri kapel dan pelukis pintu kereta sudah tersebar di antara para bangsawan. Suatu hari Nicolas dipanggil ke kediaman Jean le Viste dengan tugas baru yang belum pernah ia kerjakan sebelumnya: melukis permadani.

Jean le Viste awalnya meminta Nicolas mendesain gambar pertempuran untuk permadaninya. Tentu saja dengan tak lupa memasukkan lambang keluarganya (tiap keluarga bangsawan memiliki lambang masing-masing). Namun Genevieve, istri Jean yang merasa gagal karena "hanya" dapat memberikan 3 orang anak perempuan, meminta Nicolas membujuk suaminya untuk mengubah gambar pertempuran menjadi gambar unicorn. Tepatnya, Lady dan Unicorn. Mengapa lady dan unicorn?

Lady dan Unicorn

Dalam sejarah, permadani Lady dan Unicorn ini memang benar-benar ada (sekarang tersimpan di Museé de Cluny di Paris, Prancis), dan dahulu dibuat atas pesanan salah seorang anggota keluarga Le Viste, yang diduga adalah Jean le Viste.

Unicorn sendiri merupakan sebuah dongeng atau mitos yang unik. Dalam mitos itu unicorn (yang bertubuh seperti kuda dan memiliki tanduk panjang di hidungnya) hanya dapat ditaklukkan oleh seorang perawan. Maka jadilah 6 buah desain permadani yang menggambarkan proses penaklukan seorang lady terhadap unicorn. Begitu menakjubkan bagaimana sebuah gambar dapat menginterpretasikan banyak hal. Nicolas sendiri menggambar 2 lady di antara desain itu yang merupakan perwujudan Genevieve dan Claude (anak gadis Jean le Viste yang cantik, pemberontak dan agak liar). Agak ironis, mengingat Nicolas yang jago menaklukkan wanita harus melukis wanita yang menaklukkan unicorn. Kitapun harus mereka-reka alasan Genevieve meminta Nicolas melukis Lady & Unicorn. Apakah itu karena dongeng ngawur tanduk unicorn yang dapat memurnikan wanita yang dikisahkan Nicolas untuk merayu Claude di luar pintu kamar ibunya? Entahlah…

Ada 6 permadani yang akhirnya dilukis Nicolas. 5 di antaranya melambangkan panca indra manusia, dan dalam makna lain menggambarkan perjalanan sang lady dalam usahanya menggoda dan menaklukkan unicorn.

Permadani yang bergambar lady sedang menoleh sedikit ke samping sambil memegang tanduk unicorn mewakili (indra) Peraba.


Di lukisan lainnya, lady sedang memainkan kecapi yang dibawa oleh dayangnya. Tentu saja lukisan ini melambangkan Pendengaran.


Indra Perasa berwujud dalam lady yang sedang memberi makan burung betetnya. Tangan kanannya mengambil buah di wadah yang dibawa dayangnya, sedang si betet bertengger di tangan kirinya. Sementara singa dan unicorn mengapit di kanan-kiri sang lady dengan jubah berkibar ditiup angin. Konon permadani yang nampak paling “hidup” ini menggambarkan sosok Claude, gadis yang selalu berada di hati Nicolas, meski tak kunjung dapat dimilikinya.


Sementara lady yang sedang menganyam bunga anyelir menjadi sebuah mahkota, meski tak terlalu jelas, dianggap mewakili Penciuman. Makna di baliknya adalah sang lady yakin telah dapat menaklukkan unicorn sehingga ia menganyam mahkota bunga anyelir untuk pernikahannya.


Indra terakhir, Penglihatan, mewujud dalam gambar unicorn yang meletakkan kaki depannya di pangkuan lady, sementara sang lady yang berwajah sedih membawa sebuah cermin yang merefleksikan si unicorn. Gambar ini boleh jadi adalah simbol unicorn yang akhirnya takluk pada rayuan lady.


Permadani terakhir, yang merupakan kesimpulan dari ke 5 kisah lady dan unicorn tadi berjudul A Mon Seul Desir (bisa diartikan “satu-satunya keinginanku”). Bergambar lady sedang memegang perhiasan (entah mengambil dari atau hendak meletakkan ke) kotak perhiasan yang dipegang dayangnya. Di belakangnya tampak tenda anggun berwarna biru tua, perlambang kenaikan status keluarga le Viste di kerajaan. Kata-kata "a mon seul desir" adalah ungkapan yang didengar Claude saat ibunya mengaku dosa pada pastur dan mengatakan bahwa "mon seul desir" adalah menjadi biarawati. Mungkin saja Claude mengusulkan judul itu pada Nicolas karena pria itulah "mon seul desir" bagi Claude? Entahlah...



Pembuatan Permadani

Sebelum melangkah ke jantung cerita, aku akan mengajak anda sejenak mengintip proses pembuatan permadani di abad pertengahan yang harus dilalui untuk mendapatkan kualitas yang sempurna. Pada saat itu, kota Brussels di Belgia dianggap sebagai salah satu penghasil permadani terbaik di dunia. Inilah beberapa tahap dalam pembuatan permadani:

1. Pelukis mendesain dan melukis gambar sesuai tema yang diminta pemesan.

2. Lukisan itu dibawa kepada kartunis, yang akan memperbesar dan membagi lukisan itu menjadi bagian-bagian sesuai ukuran permadani. Singkatnya, tugas kartunis adalah mengubah media lukisan menjadi media gambar yang siap ditenun menjadi permadani.

3. Karena ukuran permadani jauh lebih besar daripada lukisan, pada saat lukisan itu diperbesar, akan tampak banyak bagian yang kosong. Disinilah peran pelukis millefleurs berperan. Perannya adalah mengisi kekosongan itu dengan gambar elemen-elemen kecil tokoh penunjang, misalnya dayang-dayang atau hewan kecil seperti anjing dan monyet, dan yang terpenting bunga-bunga kecil yang bertebaran di seluruh bidang yang kosong. Tampaknya sederhana, namun millefleurs haruslah mampu menghidupkan keseluruhan desain permadani itu sehingga antara desain asli dan millefleursnya tampak menyatu.

4. Dan yang terpenting tentunya, adalah peran penenun (lissier) itu sendiri. Hasil akhir coretan kartunis lah yang akan ditenun menjadi permadani. Selain menenun, seorang lissier juga harus menangani aspek bisnis dengan pemesan atau perantara (broker)nya. Ia harus memperkirakan beratnya pekerjaan, lamanya waktu yang dibutuhkan, jumlah tenaga kerja dan bahan-bahan yang akan digunakan, dan akhirnya harga yang ia minta. Ia juga harus mengawasi dan mensupervisi pekerjaan semua orang.

Brussels memiliki serikat pekerja penenun yang mengawasi bahwa penenun tidak memperkerjakan orang melebihi jam kerja atau mempekerjakan orang yang tidak dilaporkan sebelumnya hanya agar pesanan permadani lebih cepat jadi dari pesaing. Setelah permadani jadi pun, lissier harus membawanya ke serikat pekerja untuk dinilai hasilnya. Semua ini bertujuan untuk menjaga kualitas permadani yang dihasilkan Brussels sebagai penghasil permadani terbaik dunia.

Hal unik dalam pembuatan permadani ini adalah bahwa sepanjang proses penenunan, yang makan waktu sekitar 2-3 tahun, seluruh pekerja tak dapat melihat hasil kerja mereka. Barulah setelah bagian terakhir selesai ditenun, dilakukan pengguntingan benang-benang yang membentuk tenunan itu dari alat tenun dan dilepaskan dari gulungan. Setelah itu barulah permadani itu dibalik, dan...voila...saat itulah hasil jerih payah selama bertahun-tahun itu terbayar lunas ketika tokoh-tokoh yang hidup dalam dekorasi warna-warna yang indah seolah menyapa mereka untuk pertama kalinya.


Menenun Permadani, Merajut Cinta

Setelah seluruh desain Lady dan Unicorn disetujui Jean le Viste, akhirnya berangkatlah Nicolas ke kota Brussels, Belgia untuk membawa desain itu ke seorang penenun bernama Georges de la Chapelle. Maka dimulailah tahap terpenting dalam pembuatan permadani, yaitu membuat kartun yang lalu dilanjutkan dengan penenunan. Makin banyak tokoh yang terlibat dalam fase ini. Ada Philippe sang kartunis dan ahli millefleurs, seorang pria muda pendiam yang diam-diam mencintai Aliénor, putri Georges yang buta. Meski buta, Aliénor tetap membuat dirinya berguna bagi keluarganya. Ia suka berkebun, dan tanaman bebungaannya dapat mengilhami ayahnya ketika akan menenun gambar bunga. Selain itu, ia juga dapat menjahit dengan halus, bahkan saat gelap karena ia tak menggunakan matanya. Rupanya Tuhan menganugerahinya indra penciuman dan peraba yang sangat sensitif sebagai ganti indra penglihatannya. Sedangkan ibunya, Christine, sebenarnya ingin sekali ikut menenun, hanya saja suaminya tak pernah mempercayakan tugas itu kepadanya. Maka selama ini ia hanya melakukan tugas menjahit, menggulung benang atau mengelim seperti halnya Aliénor. Putra Georges dan Christine, Georges le Jeune juga memiliki bakat menenun seperti ayahnya, dan ia kebagian gambar-gambar yang tak terlalu penting, sementara ayahnya menangani bagian-bagian yang paling krusial.

Awalnya Nicolas yang angkuh dan merendahkan semua yang “berbau” Brussels tidak diterima dengan baik di rumah keluarga de la Chapelle, namun lama-kelamaan kedua pihak dapat menerima satu sama lain. Di tengah tuntutan kerja keras menyelesaikan permadani-permadani itu dalam waktu yang sangat singkat dengan upah yang minim, Nicolas pun menemukan cinta yang lain di tengah keluarga de la Chapelle. Mungkin ia menyerah pada harapannya untuk mendapatkan Claude, mengingat putri bangsawan tak mungkin bergaul apalagi bersanding dengan pelukis. Tapi lebih mungkin Nicolas mengagumi Alienor yang tenang dengan keunikan dan kecantikannya yang seolah terpisah dari dunia. Sementara itu, persoalan lain menghinggapi keluarga de la Chapelle. Seorang pencelup wol bernama Jacques le Boeuf ingin mengambil Alienor menjadi istrinya. Masalahnya, bahan pewarna yang dipakainya mencelup begitu busuk baunya sehingga orang tak tahan berdekatan dengannya, apalagi harus menjadi istrinya. Namun Georges terpaksa menjanjikan putrinya pada Jacques karena kebutuhan bisnis mereka. Dalam kemelut ini, Nicolas menawarkan solusi bagi Alienor secara diam-diam...

Di saat-saat terakhir sebelum semua permadani ditenun, Nicolas mengubah 2 desainnya. Lady dalam Peraba dilukis mirip dengan ekspresi Christine saat ia bersemangat setelah diijinkan menenun. Sedangkan lady dalam Penglihatan berubah menjadi serupa Alienor. Rupanya begitulah cara Nicolas mengekspresikan perasaannya pada wanita-wanita itu. Dan aku berpikir, jangan-jangan sebenarnya unicorn itu merefleksikan Nicolas sendiri? Yang telah berhasil ditaklukkan oleh wanita-wanita itu dengan caranya masing-masing?...

Lady dan Unicorn ini merupakan kombinasi fiksi, sejarah dan seni yang telah berhasil dirangkai dengan apik oleh Tracy Chevalier, dan membuat anda takkan pernah lagi memandang sebuah permadani buatan tangan dengan cara yang sama. Meski merupakan drama beralur datar, namun tak sedetikpun aku tergoda untuk meletakkan buku ini sebelum tamat. Lady dan Unicorn memotret empat orang wanita yang sama-sama merasa terkungkung karena hal yang berbeda. Namun di sisi lain, empat orang wanita itu pula yang telah menghidupkan desain permadani dinding yang paling terkenal di dunia ini: The Lady and The Unicorn.

Judul: Lady dan Unicorn
Judul asli: The Lady and The Unicorn
Penulis: Tracy Chevalier
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Februari 2007
Tebal: 296 hlm