Showing posts with label Gramedia. Show all posts
Showing posts with label Gramedia. Show all posts

Friday, February 17, 2012

The Female (Wanita)

"..Sepanjang sejarah tak ada seorang wanita... pasti juga tak seorang lelaki pun... pernah melaksanakan seperti apa yang telah dilaksanakan Theodora: satu langkah naik yang begitu perkasa." ~hlm 521.

Pepatah mengatakan, kehidupan manusia itu seperti roda, sekarang kita berada di atas, lalu suatu hari kita pun akan berada di bawah. Namun kehidupan Theodora adalah contoh sebuah paradoks yang sempurna. Ia pernah mengalami kehidupan yang terbawah dari yang paling bawah, namun pernah juga ia berada di puncak dari segala kekuasaan. Ya, Theodora adalah wanita paling berpengaruh di kerajaan Romawi. Ia lah Maharani yang memerintah Kekaisaran Romawi (Byzantium) di abad 600, sekaligus istri Kaisar Justinianus I.

Kisah ini bersetting di Konstantinopel, pusat pemerintahan Kerajaan Romawi pada saat pemerintahan Raja Justinus. Theodora adalah putri seorang pelacur jalanan kelas terendah. Saat itu ada dua kelompok rakyat di Konstantinopel yang selalu berseberangan: kelompok Hijau dan Biru, yang masing-masing biasanya membela pihak yang berlawanan saat pertandingan gladiator di Hippodrome. Theodora kecil sudah akrab dengan kehidupan strata masyarakat terendah. Ia berkawan akrab dengan seorang pengemis lumpuh buruk rupa yang selalu duduk di atas keledai, bernama Hagg (keburukan penampilan Hagg mengingatkanku pada sosok Quasimodo di The Hunchback of Notredame). Hagg adalah Raja dari Persaudaraan Pengemis, kelompok yang memiliki sistem organisasi dan jalur komunikasi yang kuat.

Theodora kecil sering mengemis bersama Hagg di pintu gerbang Hippodrome, dan ia sering membantu Hagg melarikan diri ketika ada rombongan prajurit datang hendak mengusir para pengemis. Dari sinilah terjalin hubungan persahabatan abadi antara Theodora dan Hagg hingga maut memisahkan mereka. Saat usia dua belas tahun Theodora telah menjadi "budak" kakak perempuannya yang mulai menjalani profesi tertua di dunia: pelacur. Dan ketika keperawanannya direnggut oleh seorang budak pria, Theodora pun secara resmi memasuki karier sebagai seorang pelacur jalanan, mengikuti ibu dan kakaknya.

Di Konstantinopel ada sebuah jalan yang bernama Jalan Hawa, yang--dapat diduga dari namanya--selalu penuh dengan pelacur jalanan (pedanae) hingga para famosae (wanita penghibur yang pelanggannya adalah bangsawan dan orang-orang penting). Suatu hari saat Theodora terpaksa mencuri demi membiayai abortus untuk kehamilannya, seorang famosae paling terkenal saat itu—Macedonia menolongnya dari hajaran massa. Macedonia akhirnya mengangkat kehidupan Theodora dengan menjadikannya pembantu hingga mengajari Theodora segala keahlian untuk menjadi pelacur profesional. Maka di usia enam belas Theodora pun meretas jalan untuk menjadi delicatae (pelacur kelas menengah) di Jalan Hawa.

Ternyata, Theodora bukan saja cantik, namun ia memiliki kecerdasan, keanggunan dan bakat untuk mempengaruhi pria. Sedikit demi sedikit ia berusaha menapak jalan makin ke atas. Theodora memulainya dengan menjadi semacam pengelola resepsi bagi famosae paling berkuasa saat itu, yaitu Chione, yang menjadi gundik gubernur kota John Capadocia. Resepsi besar itu disiapkan Chione setelah ia berhasil menyingkirkan rival terberatnya: Macedonia—sahabat yang telah mengangkat Theodora dari kubang lumpur hina. Kali ini Theodora, yang memiliki kalung mewah hadiah seorang saudagar, berhasil menolong Macedonia yang ditelantarkan dan dibuang dari Konstantinopel. Di sisi lain, Theodora mulai menyusun strategi untuk balas dendam pada Chione di resepsi besarnya itu...

Nyatanya, resepsi-balas-dendam Theodora berakhir dengan sukses. Chione ia singkirkan dengan amat keji, dan sekaligus Theodora mulai mendapatkan reputasi di kalangan pria tingkat atas. Namun di sisi lain, ia jadi memiliki musuh baru, yakni John Capadocia—yang ditertawakan rekan-rekannya gara-gara kejatuhan Chione-nya. Demi menghindari bahaya yang mengancam, Theodora serta-merta menerima tawaran Hecebolus—guberbur baru untuk Cyrenaica (Syria)—untuk menjadi wanita simpanannya di daratan Afrika. Malang bagi Theodora, selama dua tahun Hecebolus memperlakukannya dengan buruk, bahkan kemudian membuangnya di gurun Sahara, lagi-lagi berkat hasutan John Capadocia.

Pantang menyerah, meski nyaris mati di padang pasir, Theodora berhasil dengan selamat keluar dari maut--lagi-lagi berkat persahabatannya dengan para pengemis yang memiliki kata sandi Mendici. Setelah terpuruk dan tak memiliki apa-apa, kini giliran Macedonia menolong (lagi) Theodora. Dengan beberapa baju, uang dan sebuah surat 'sakti' yang ditulis Macedonia, Theodora menantikan mukjijat sambil bekerja sebagai pengantih (pemintal). Jaman itu, menjadi pengantih adalah jalan yang diambil pelacur untuk keluar dari pelacuran dan menjalani hidup normal.

Lagi-lagi dengan bantuan sahabatnya Hagg, surat sakti Macedonia yang ternyata dialamatkan kepada Pangeran Justinianus—saat itu Pangeran pewaris tahta, kemenakan Kaisar Justinus--mulai menunjukkan "kesaktiannya". Sang Pangeran menjadi tertarik pada seorang pelacur bernama Theodora.... Sebuah langkah pertama Theodora menuju ke kekuasaan.

Mudah ditebak, Theodora berhasil memikat Justinianus sehingga—alih-alih hanya menjadi penghibur sehari semalam--Justinianus malah mengambil Theodora sebagai selir. Dan makin lama makin nampaklah kemampuan strategi Theodora yang beberapa kali berhasil menyelamatkan Romawi, ketika diaplikasikan oleh Justinianus. Sementara itu musuh bebuyutan Theodora—John Capadocia—yang juga mengincar tahta Kaisar, tak tinggal diam. Sebuah pemberontakan diam-diam dibangunnya demi menjungkalkan kesempatan Justinianus naik takhta, sekaligus membalas dendam pada Theodora.

mozaik yang menggambarkan Maharani Theodora

Apakah yang kemudian terjadi? Bagaimana bisa Theodora akhirnya menjadi Maharani, mengingat ia hanyalah seorang wanita, apalagi berasal dari pelacur rendahan? Akankah rakyat menerimanya? Mampukah ia, seorang wanita biasa yang fisiknya rapuh dan mungil memikirkan masalah-masalah besar negara? Dan apakah John Capadocia berhasil melancarkan balas dendam abadinya kepada Theodora?

Sangat mengasyikkan membaca buku ini. Pertama, karena lengkap dan telitinya riset yang dilakukan Paul I. Wellman atas fakta sejarah, digabungkan dengan penuturan cerita yang menawan, membuatku hampir lupa bahwa kisah Theodora ini adalah kisah sejarah. Kedua, terjemahan yang tak kalah menawannya, berhasil menghadirkan nuansa sejarah dengan baik. The Female menyadarkan kita akan hakikat wanita sebagai seorang perempuan—kekuatan dan kelemahannya, dan bagaimana mereka seharusnya menggunakannya sebagai seorang penghuni dunia. Kini memang kita tahu bahwa wanita pun mampu memimpin negara, namun pada jaman Theodora hidup, wanita hanya berkutat pada soal kewanitaan saja. Maka kecerdasan, ketajaman pengamatan dan keberaniannya mengambil keputusan besar, merupakan prestasi gemilang yang patut dikenang.

Lima bintang untuk Wanita (judul terjemahan untuk The Female) ini!

Judul: Wanita
Judul asli: The Female
Penulis: Paul I. Wellman
Penerjemah: Alfons Taryadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Mei 2005
Tebal: 522 hlm

Tuesday, November 22, 2011

The Pilate's Wife

"Ketika Pilatus sedang duduk di kursi pengadilan, isterinya mengirim pesan kepadanya: "Jangan engkau mencampuri perkara orang benar itu, sebab karena Dia aku sangat menderita dalam mimpi tadi malam." (Mat 27:19)

Istri Pontius Pilatus mungkin saja takkan pernah dikenal dunia, kalau bukan karena campur tangannya dalam peristiwa penyaliban Yesus, meski perannya sangat kecil. Sejarah Claudia, nama sang istri Pilatus, juga tak banyak memberi kejelasan. Namanya pun hingga kini masih belum dipastikan, ada yang menyebutnya Claudia Procula, ada pula yang mencantumkan Claudia Procles. Dengan begitu minimnya data sejarah yang ada, memaksa Antoinette May--seorang jurnalis, untuk membuat tulisan mengenai Claudia sebagai karya fiksi bergenre historical fiction. Meski aku juga ragu apakah kadar sejarah dalam buku ini memang ada. Baiklah, kita mulai mengupasnya saja...

Kisah Istri Pilatus dimulai dari masa kecil Claudia di propinsi Galia. Ibu Claudia adalah sepupu Agrippina yang adalah cucu Kaisar Agustus. Agrippina menikah dengan Germanicus, seorang Panglima Tertinggi tentara Rhine, anak hasil adopsi kaisar yang saat itu memerintah, yaitu Tiberius (pada th. 16 Masehi). Ayah Claudia merupakan orang kedua di bawah Germanicus, sehingga keluarga Claudia pun harus hidup berpindah-pindah sesuai penugasan Germanicus. Sejak usia 10 tahun, Claudia telah menyadari bakatnya sebagai seorang peramal lewat media mimpi. Salah satu yang pernah hadir dalam mimpinya, adalah bahaya yang dihadapi Germanicus, paman yang amat disayanginya.

Sosok Germanicus dengan cepat menjadi pahlawan yang dicintai rakyat, dan semua orang pun yakin cepat atau lambat ia akan naik takhta menjadi kaisar berikutnya. Semua kecuali Tiberius, tentu saja. Sementara itu, Germanicus dan keluarga Claudia akhirnya masuk ke Roma. Suatu saat mereka semua pergi menonton pertunjukan gladiator di Circus Maximus bersama Tiberius. Saat itu Claudia berhasil menebak (atau dalam hal Claudia, meramal) pemenang pertandingan, yaitu seorang gladiator muda bekas budak bernama Holtan.

Lalu kisah pun bergulir mengenai sanak keluarga Claudia. Marcella--kakaknya tertangkap basah bercinta dengan Caligula, putra Germanicus, dan akhirnya dihukum oleh Ibu Suri Livia dengan menjadikannya Perawan Vesta. Caligula ini adalah salah seorang kaisar Romawi yang bengis dan setengah gila yang kita ketahui lewat sejarah. Kaisar Nero--yang melakukan pembakaran dan penyiksaan banyak umat Kristen di jaman Rasul Paulus, juga berasal dari keturunan Germanicus.

Bagaimana dengan Claudia? Di usianya yang beranjak dewasa, ia menemukan ketenangan dalam penyembahan dan pemujaan kepada Dewi Isis. Ia bahkan menjalani semacam 'tahbisan' sebagai pengikut Dewi Isis tanpa seijin orang tuanya. Pemujaannya ini agak menyimpang dari kebiasaan, karena dewi yang ia sembah adalah dewi Mesir. Selanjutnya, hingga ia dewasa, Claudia selalu menggantungkan dirinya pada pertolongan Isis, lewat benda bernama sistrum yang ia kenakan di lehernya sebagai semacam kalung jimat. Ada yang menarik saat Claudia pertama kali menginjakkan kaki ke kuil Isis. Di sana ia bertemu seorang pemuda misterius berusia 20 tahun yang matanya seolah mampu menembus jiwa. Pemuda itu memperkenalkan dirinya sebagai Yeshua, atau di Romawi disebut Yesus....

Saat tiba waktunya mencari jodoh, ia terpikat pada seorang pria muda yang karirnya sedang menanjak, bernama Pontius Pilatus. Saat itu Pilatus adalah centurion (perwira) yang baru mendapat kemenangan. Demi mendapatkan cinta Pilatus, Claudia pergi ke kuil Isis dan meminta semacam mantra dari pendetanya. Pilatus muda memang terpikat pada Claudia, namun jelas terlihat dari awal, bahwa itu bukan karena mantra. Ia mencintai Claudia karena keunikannya, karena pandangan-pandangannya yang ia hormati. Singkat kata, menikahlah Claudia dengan Pilatus.

Awalnya, hidup perkawinan mereka tampak indah dan sempurna. Namun tiba-tiba terjadi hal yang tak disangka-sangka. Germanicus tiba-tiba sakit keras, dan tak ada dokter yang bisa mengobati hingga ajalnya tiba. Desas-desus pun beredar bahwa Germanicus dikutuk. Pamor keluarga Claudia pun merosot karena berseberangan dengan sang kaisar. Saat itu Claudia mendapati dirinya hamil, namun sayangnya ia keguguran sehingga tak mampu memberikan putra yang didambakan Pilatus.

Entah karena itu, atau karena ambisinya, Pilatus segera saja memiliki beberapa kekasih, wanita-wanita berpengaruh di Roma. Meski pendeta Isis menenangkan Claudia, bahwa hanya dirinyalah yang dicintai Pilatus, Claudia menjadi tak bahagia. Di saat itulah, sang gladiator tampan dari masa remajanya, kembali memasuki hidupnya. Holtan segera menjadi kekasih gelapnya. Cinta Claudia kepada Pilatus pun segera pupus, bahkan putri yang akhirnya dilahirkan Claudia bagi suaminya, tak sanggup mengubah perasaan Claudia.

Kisah tentang kehidupan Claudia ini memenuhi hampir tiga perempat buku ini, sebelum peristiwa besar itu datang. Semuanya bermula ketika Pilatus ditugaskan Tiberius menjadi gubernur Romawi di Yudea. Di Yudea, Claudia bertemu dengan teman lamanya, seorang pelacur tingkat tinggi bernama Miriam dari Magdala. Kelak ia dikenal sebagai Maria Magdalena, pengikut Yesus yang setia.

Nah, bagian inilah yang membuatku kurang suka dengan karya Antoinette May ini. Miriam dikisahkan jatuh cinta, lalu menikah dengan Yesus di Cana. Aku sadar, bahwa karya ini adalah karya fiksi. Sama seperti karya-karya Dan Brown. Namun menurutku, May telah mengambil resiko terlalu besar. Dengan mengambil tema Istri Pilatus, tentu pembaca mengharapkan karya fiksi ini berhubungan dengan kisah Alkitab. Menurutku, jauh lebih baik bila May tetap mempertahankan kisah asli dari Alkitab, sambil menambahkan detail fiktif ke dalam karakter Claudia. Apalagi fakta yang ia ubah di sini sangatlah sensitif, yaitu mengenai Yesus. Entahlah, tapi bagiku pribadi, bagian ini sangat mengganggu keseluruhan kisah. Seorang penulis harusnya peka dalam menciptakan fiksi sejarah. Ada hal-h`l vital yang sebaiknya dibiarkan saja, dan menambahkan detail-detail yang kurang saja. Dengan cara yang ia ambil ini, May menjadi tak ubahnya (maaf) Dan Brown, yang mengumbar sensasi belaka ketimbang menyuguhkan historical fiction yang bermutu.

Kembali pada kisah Claudia, hasratnya pada Holtan makin menggebu hingga akhirnya ia pun selingkuh. Satu hal lagi yang rasanya aneh. Sejak awal Claudia lah yang 'ngebet' mendapatkan cinta Pilatus, sampai rela 'mengemis' mantra pada Isis. Pilatus akhirnya memhlih Claudia dan mencintainya sepenuh hati, namun tiba-tiba saja hati Claudia tertutup bagi Pilatus gara-gara godaan seorang gladiator. Terus terang saja, aku tak suka pada karakter Claudia yang plin plan sekaligus egois ini. Sepanjang kisah, terlihat bahwa Claudia sangat impulsif. Ia sering menempuh bahaya, hanya untuk memenuhi keinginannya. Bayangkan, seorang istri gubernur menerima Miriam yang pelacur di rumahnya, hanya karena Miriam sahabatnya. Atau ia nekad bertemu dengan selingkuhannya, Holtan, saat ia seharusnya mendampingi Pilatus dalam situasi kritis. Sungguh, Claudia itu wanita egois dan bodoh!

Memasuki seperempat terakhir buku ini, kisah memang meruncing, dan banyak bagian dari Alkitab dikisahkan di sini. Di antaranya pesta Herodes, di mana Salome--dipengaruhi Herodias ibunya, menari dan akhirnya meminta kepala Yohanes Pembaptis kepada Herodes yang tergiur pada kecantikan Salome. Masuknya Yesus menunggang keledai ke Yerusalem, dielu-elukan banyak orang yang membawa daun palem, juga diabadikan di sini. Dan akhirnya, penangkapan Yesus hingga dihadapkan pada pengadilan Pilatus. Claudia, yang sebelumnya sering mengalami mimpi mengerikan tentang pria bermahkota duri, segera menyadari nasib Yesus. Termasuk, bagaimana nasib Yesus itu juga akan mempengaruhi takdir Pilatus. Dalam mimpinya, ia melihat bahwa nama Pilatus akan terus bergema menjadi salah satu penyebab Yesus disalibkan. Karena itulah, ketika situasi makin genting, ketika rakyat berteriak-teriak minta Yesus disalibkan, Claudia pun mengirim pesan bersejarah itu kepada Pilatus.

Lukisan yang menggambarkan Yesus diadili oleh Pilatus

Tentu saja, akhirnya telah kita ketahui bersama. Tak mungkin seorang Antoinette May sanggup mengubah bagian 'yang ini'. Ada lagi bagian kecil yang membuatku muak juga, masih berkaitan dengan tokoh Miriam, setelah Yesus disalibkan. Mungkin sebaiknya tak kuungkap di sini, agar akhir kisah ini tetap terjaga, termasuk bagaimana keputusan Claudia untuk memberikan cintanya. Akankah ia berpaling pada Holtan, atau tetap bersama Pilatus?

Untuk semua alasan yang kuungkapkan di atas, tiga bintang kuberikan pada Istri Pilatus ini. Di luar kisahnya sendiri, penerbit Gramedia telah menyuguhkan sebuah kisah sejarah ber-setting Romawi dengan terjemahan yang bersih, dan desain cover yang menawan.

Judul: Istri Pilatus (Pilate's Wife)
Penulis: Antoinette May
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno
Desain cover: Marcel A.W.
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Juli 2011
Tebal: 544 hlm

Thursday, November 17, 2011

Conspirata

Orang tolol sembrono mana pun bisa menjadi pahlawan jika tidak menghargai nyawanya sendiri, atau tidak cukup pintar untuk menyadari adanya bahaya. Tetapi, dengan memahami resiko, bahkan berjengit pada mulanya, tetapi kemudian menghimpun keberanian untuk menghadapinya—menurutku, itulah bentuk keberanian yang paling terpuji.

Kurasa ungkapan di atas memang tepat untuk menggambarkan sosok seorang Marcus Tullius Cicero, senator, orator, konsul dan Bapak Negara Republik Romawi pada abad pertama sebelum Masehi. Perjuangan Cicero merangkak dari bawah hingga menduduki tempat tertinggi di pemerintahan negara, telah dengan apik dituturkan oleh Robert Harris di buku pertama dari sebuah trilogi, yaitu: Imperium. Dan kini, lewat bagian keduanya—Conspirata, anda akan dibawa melihat sendiri, mengapa aku merasa Cicero layak disebut pemberani, kalau bukan pahlawan, pada jamannya. Conspirata ini masih dituturkan dari sudut pandang Tiro, budak dan sekretaris Cicero.

Bagi anda yang telah membaca Imperium pasti telah mengerti, bahwa cita-cita Cicero adalah menjadi konsul, meraih kedudukan tertinggi di pemerintahan Republik Romawi (bagi yang belum membaca Imperium, wajib membaca dulu, sebelum membaca buku ini!). Namun ternyata, belum lagi upacara penobatannya sebagai konsul dilangsungkan, Cicero telah dihadapkan pada sebuah kejutan. Teka-teki mayat seorang anak lelaki, korban sebuah upacara ritual, muncul hanya dua hari sebelum ia resmi menjadi konsul. Dan jangan lupa, sebagaimana dikisahkan di Imperium, bahwa Julius Caesar, Crassus dan kroni-kroni mereka sedang memperjuangkan undang-undang untuk membagi-bagi tanah negara kepada rakyat miskin. Satu lagi PR besar bagi Cicero untuk menyelamatkan Republik.

Begitu memasuki periode sebagai konsul, Cicero langsung dihadapkan pada masalah-masalah serius. Tampaknya Caesar, musuh utamanya yang licik dan ambisius, langsung tancap gas. Di satu sisi ada fraksi patricius: Catulus, Hortensius dkk yang dihadapkan pada penuntutan seorang senator tua, di sisi lain ada kaum populis yang (dalihnya) membela kepentingan rakyat: Caesar, Crassus dan Pompeius, dengan undang-undang tanahnya. Ke mana Cicero harus memberikan dukungannya? Belum lagi kenyataan pahit yang harus dihadapinya, bahwa dirinya menjadi target pembunuhan oleh lawan-lawannya, yang disutradarai oleh…siapa lagi kalau bukan lawannya yang paling haus balas dendam: Catilina?

Satu persatu masalah dihadapi Cicero dengan berani. Seperti biasanya, menggunakan kepiawaian retorika, strategi yang jitu, serta kemampuan diplomasinya. Namun sebenarnya yang paling menarik dari karakter Cicero adalah keteguhannya untuk selalu taat pada idealisme yang diyakininya. Banyak negarawan atau politikus yang hanya di awal saja berkoar-koar tentang berjuang bersama rakyat dan demi bangsa. Namun setelah menjabat, mereka malah sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka tetap berjuang, namun berjuang untuk tetap menjabat, berjuang untuk tetap mendapat kehormatan, berjuang untuk menumpuk harta. Pendeknya, berjuang demi keuntungan diri sendiri.

Tidak begitu halnya dengan Cicero. Boleh dibilang, perjuangan yang ia lakukan adalah demi Republiknya yang ia cintai dengan sepenuh hati. Dua provinsi, yang semestinya menjadi ladang untuk menimbun kekayaan setelah selesai menjabat konsul, ia hibahkan pada konsul lain demi kompromi politik. Itu artinya, Cicero tak akan mendapat apa-apa setelah turun jabatan. Dan bukan itu saja, karena ia tidak “ikut arus”, ia menjadi lawan empuk musuh-musuhnya karena berjuang sendirian.

Paling tidak dua kali Caesar menawarkan koalisi pada Cicero, salah satunya adalah saat berusaha mengesahkan undang-undang tanah yang digagasnya. Untungnya, Cicero mampu melihat skema besar yang ada di benak Caesar dengan undang-undang itu, yaitu kejatuhan republik. Seperti yang kita ketahui dalam sejarah, Julius Caesar memang memiliki ambisi sangat besar untuk menguasai Romawi, dan memimpinnya dengan kediktatoran. Untunglah bagi Romawi saat itu, karena mereka memiliki negarawan yang berhati nurani ‘bersih’ seperti Cicero. Tak mau terlena dengan tawaran perlindungan penuh dari Caesar, Cicero maju menghadapi bahaya nyawanya sendiri, demi keselamatan republik, yang hendak dicabik-cabik lawan.

Sangat menegangkan ketika cerita bergulir pada usaha pembunuhan terhadap Cicero di rumahnya. Bagaimana seisi rumah menyewa para pengawal, bagaimana mereka memalang pintu rumah, dan mengganjalnya dengan perabot, bagaimana mereka menyiapkan karung juga air untuk mengantisipasi serangan pembakaran. Dan setelah akhirnya lolos dari lubang jarum, bukannya ketakutan dan memilih berkompromi dengan lawan, Cicero justru bangkit dan membuka borok konspirasi jahat untuk meruntuhkan Republik, ke hadapan senat dan rakyat. Dengan cara apalagi kalau bukan dengan orasi. Konspirasi digagalkan, dan tak ada jalan lain untuk menghancurkannya, selain dengan menghukum mati para pencetusnya. Cicero pun dielu-elukan rakyat, dan diangkat sebagai Bapak Bangsa karena dengan berani telah menyelamatkan Romawi. Setidaknya pada saat itu.

Karena ternyata, musuh-musuhnya [baca: Cicero dan republik] belumlah jera. Rasanya baru saja Cicero menghembuskan napas lega untuk menikmati kejayaannya, pada tarikan napas berikutnya, ia harus kembali berhadapan lagi dengan maneuver berbahaya Caesar. Khusus kepada Caesar, Cicero memiliki kesan antara jijik dan kagum. Komentarnya tentang Caesar: “Orang itu penjudi paling luar biasa yang pernah kutemui. Setiap kali kalah, dia hanya menggandakan taruhannya dan melempar dadu lagi.

Namun, seperti yang sering terjadi pada kemurnian dan kebenaran, pesona kekuasaan begitu menggoda dan menarik banyak orang, sehingga akhirnya harus menghancurkan kemurnian. Hal yang sama terjadi pada Cicero. Teman-temannya, satu persatu menjauhinya, termasuk Pompeius Agung. Mereka yang dulu menjanjikan dukungan, kini bersatu dengan musuh dan seolah memalingkan muka dari si keras kepala yang bersikukuh mempertahankan republiknya.

Saat-saat itu adalah momen yang paling mengharukan di buku ini (tak pernah kusangka, aku akan menangis saat membaca kisah politik!). Sekaligus momen yang mencerminkan seperti apa Cicero yang sesungguhnya. Konon, kemurnian karakter manusia baru teruji saat dihadapkan pada tekanan berat. Tak ada ancaman yang dapat melemahkan Cicero, tak ada godaan yang dapat meluluhkannya. Tak ada kekecewaan yang sanggup menghancurkannya. Cicero hanya ingin memberikan yang terbaik bagi negaranya. Seperti yang dikatakannya dalam salah satu orasinya:

“Jangankan memimpin republik, menyelamatkannya pun sungguh pekerjaan tanpa penghargaan.”

Mungkin aku terkesan terlalu tinggi memuji Cicero. Toh sebagai negarawan, ia banyak melakukan kesalahan. Banyak pro dan kontra pada keputusan-keputusannya. Aku sendiri buta politik ataupun kenegaraan, namun dari penuturan Robert Harris yang cantik ini, aku bisa merasakan kegigihan seorang pahlawan dalam diri Cicero. Mungkin cara yang ia pakai salah, mungkin cita-citanya tak semurni yang seharusnya (hei..siapa sih yang mau bekerja keras kalau tak ada keuntungan sedikit pun baginya? Siapa sih yang tak ingin mendapat sesuatu dari jerih payahnya?), namun kalau saja ada sepuluh orang dengan hati bersih dan keberanian seperti Cicero di antara seratus yang ada di senat, pasti suatu negara akan lebih kuat. Mungkinkah itu? Ahh…sepertinya sosok seperti Cicero hanya ada satu setiap generasi (atau bahkan tak ada lagi?).

Dan jangan lupa, bahwa di luar pribadi Cicero atau prestasinya, kata-katanya terus menggema ke seluruh dunia, hingga dua ribu tahun setelahnya. Tak kurang dari dua orang mantan Presiden Amerika Serikat yang pernah terinspirasi atau tergugah oleh sumbangan pemikiran Cicero, yakni John Adams dan Thomas Jefferson. Inilah kata-kata John Adams tentang Cicero: “All ages of the world have not produced a greater statesman and philosopher combined.” Tak heran, bila ada pepatah yang mengatakan bahwa sebatang pena lebih dahsyat daripada sebilah pedang (the pen is mightier than sword). Sementara lawan-lawannya punya pasukan militer dan uang berlimpah, senjata Cicero satu-satunya adalah kata-katanya!

Di review ini aku sengaja tak membeberkan banyak tentang ceritanya, karena begitu serunya alur cerita, sampai aku bingung harus menuliskan bagian yang mana. Yang jelas, hanya satu kata yang tepat untuk menggambarkan Conspirata ini: Mengagumkan! Jadi, tak berlebihan kan kalau aku memberikan 5 bintang untuk buku ini? Sekali lagi… Bravo Cicero!

Judul: Conspirata
Penulis: Robert Harris
Penerjemah: Femmy Syahrani
Editor: Siska Yuanita
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Oktober 2011
Tebal: 504 hlm

Friday, October 28, 2011

Imperium

Ini adalah kisah anak manusia dengan segala kekurangannya, menapaki jenjang karier dari bawah, tanpa kelimpahan harta, tanpa kecurangan, tanpa dukungan kelas sosial. Hanya dengan suara dan tekadnya. Inilah kisah Marcus Tullius Cicero, sang orator terbesar pada jaman Romawi kuno, 2000 tahun yang lalu….

Imperium merupakan fiksi sejarah karya Robert Harris yang ditulis seolah sebagai sebuah memoar dari seorang negarawan jaman Romawi, dengan Tiro sebagai naratornya. Tiro sendiri awalnya adalah seorang budak rumahan milik ayah Cicero, yang lalu menjadi pengurus perpustakaan. Cicero meminjamnya untuk dijadikan sekretaris pribadinya. Pekerjaannya menjadi juru tulis seorang orator memaksa Tiro menulis secepat curahan kata-kata Cicero. Akhirnya Tiro menciptakan sistem penulisan cepat dengan simbol-simbol untuk mewakili kata atau frase tertentu. Sistem ini kelak disempurnakan dan dikenal sebagai sistem stenografi. Ada yang bilang, Tiro lah penemu sistem ini.

Aku dulu kuliah di fakultas kesekretariatan, dan pernah belajar steno, meski sekarang sama sekali kulupakan. Takjub juga ketika aku "berkenalan" dengan sang pencipta steno sendiri lewat buku ini. Inilah sistem steno yang dulu kupelajari di bangku kuliah.

Steno system Groote yang aku pelajari di bangku kuliah

Kembali ke kisah Cicero. Lahir di Arpinum dari keluarga menengah yang cukup berada (equestrian), Cicero menjadi pengacara muda bersuara serak dan kadang gagap pada usia 27 tahun. Bahkan pada saat itupun Cicero memiliki ambisi besar, dengan meminjam motto Achilles di epic Yunani karya Homer: "Far to excel, out-topping all the rest" ( Jauh mengungguli semua yang lain). Karena itu, Cicero berangkat ke Yunani untuk belajar filsafat (di Akademi Plato di Athena) dan seni retorika bersama Tiro. Meski Tiro adalah budak, Cicero mengajaknya belajar bersama, dan selama karirnya Cicero sangat menghargai Tiro sebagai asisten pribadi yang banyak berjasa bagi kesuksesan Cicero.

Guru yang paling berjasa dalam mengolah kemampuan Cicero berorasi adalah Apollonius Molon. Menarik untuk menyimak metode pengajaran Molon bagi para orator, yakni lewat olah tubuh dalam rangka memperkuat suara dan pernapasan. Karena menurut Molon yang terpenting dalam orasi bukanlah semata-mata isi atau tema orasinya, melainkan: penyampaian, penyampaian, dan penyampaian. Dan memang, kelak Cicero membuktikannya dalam banyak kesempatan.

ilustrasi gaya Cicero ketika berorasi

Untuk menjadi senator di Roma (sama seperti di republik kita tercinta ini), seseorang membutuhkan uang, paling tidak sejuta sestertius. Karena Cicero tak memiliki uang, ia lalu menikahi "uang" bernama Terentia, putri keluarga aristokrat. Maka Cicero pun segera menjadi senator, dan langsung menjadi senator terbaik kedua di Roma setelah Hortensius. Saat itu karir seorang negarawan menanjak lewat banyak jalan. Ada yang lewat jalan aristokrasi seperti Mettelus dan Hortensius, ada yang lewat kekayaan berlimpah seperti Crassus, ada juga yang lewat kekuatan militer seperti Pompeius dan Julius Caesar. Tak memiliki ketiganya, Cicero pun meretas jalan kesuksesan lewat jalur karir hukum.

Gara-gara dinas wajib di Sisilia sebelum resmi menjadi senat di Roma, Cicero memiliki hubungan baik dengan warga Sisilia. Hal ini kelak membantunya dalam sebuah kasus yang menjadi titik penting yang membuat Cicero mulai diperhitungkan dalam percaturan politik di Roma. Kasus itu adalah penjarahan dan suap besar-besaran yang dilakukan oleh Gubernur Sisilia bernama Gaius Verres, diawali oleh pengaduan Sthenius. Dalam kasus ini Cicero membuktikan bahwa ia mampu melawan kekuasaan dan kekayaan hanya dengan kata-kata yang dipadu dengan kecerdikan, tekad dan keberanian.

"Tidak ada satu hal pun yang tak dapat diciptakan atau dihancurkan atau diperbaiki dengan kata-kata." (Cicero) ~hlm 286.

Maka, dari jabatan quaestor (magistratus paling yunior), pelan-pelan ia menanjak menjadi aedilis, lalu praetor dan akhirnya maju dalam pemilihan umum untuk menjadi konsul. Tentu saja jalan yang harus dilaluinya begitu terjal dan penuh tantangan. Boleh dibilang Cicero adalah senator yang paling dibenci anggota senat lainnya. Banyak negarawan yang pernah menjadi "korban"nya, dan tentu saja menghalalkan segala cara untuk menghalangi jalannya untuk meniti karir tertinggi yang menjadi ambisinya.

ilustrasi Cicero dalam orasi maki-makiannya yang terkenal: In toga candida, saat ia mencaci-maki Catilina dan Antonius, lawannya (saat pemilihan konsul)

Menggabungkan filosofi dengan politik, kurasa Cicero adalah senator paling cerdas di Roma saat itu. Ditambah lagi, Cicero adalah negarawan yang "cinta rakyat". Dalam banyak kesempatan, ia menekankan bahwa suara rakyat adalah penentu jalannya pemerintahan. Ia pun piawai dalam berkampanye dan dalam pencitraan diri. Kedua hal itu menjadikan Cicero makin dicintai rakyat, karena dianggap berani melawan para aristokrat sombong yang tak memperhatikan kepentingan rakyat.

Seperti banyak pria "besar" yang berpengaruh, hampir selalu ada peran wanita di baliknya. Dalam hal Cicero, Terentia adalah sosok yang menyemangati dan seringkali memberikan solusi saat Cicero kehabisan akal. Paling tidak, dalam kasus korupsi Verres dan ketika Cicero menemukan konspirasi Crassus-Caesar untuk menjadi penguasa Romawi lewat suap besar-besaran, Cicero pun memakai ide dari Terentia yang terbukti mumpuni.

Di buku ini, anda juga akan menikmati kemunculan awal Julius Caesar muda. Di sini Caesar digambarkan sebagai politikus licik dan playboy. Ia berselingkuh dengan istri kawannya, dan bahkan Tiro pernah memergoki Caesar sedang bercinta dengan istri seorang imperator saat itu.

Membaca Imperium, aku jadi merasakan campuran antara ketegangan, kekecewaan, kegeraman, juga sukacita kemenangan, berganti-ganti sepanjang buku ini. Lewat Imperium, kita bisa lebih memahami tentang republik Romawi dengan keunikannya. Misalnya sistem dua konsul yang berbagi kekuasaan, menghindari kediktatoran. Lalu pengaruh status aristokrat yang sangat kuat dalam pemerintahan. Juga adanya tribunus (semacam DPR) yang mewakili rakyat dan bertugas mengesahkan undang-undang. Kita juga diajak melihat betapa licik dan busuknya konspirasi politik. Lawan bisa menjadi kawan, dan kawan bisa menjadi lawan. Robert Harris membuat novel bernuansa politik yang harusnya membosankan menjadi hidup. Saat orasi Cicero misalnya, aku bahkan bisa membayangkan suasananya, sekaligus orasinya yang kadang menghentak namun kadang menyentuh. Luar biasa!

Dan akhirnya, tentu saja kita jadi dapat mengenal sosok Cicero secara lebih pribadi dan manusiawi berkat penuturan Robert Harris lewat narasi Tiro. Ada perasaan haru menyeruak di dada ketika aku boleh mengenal sang orator terbesar, salah seorang berpengaruh di kerajaan terbesar yang pernah ada di bumi: Romawi. Tentu saja, mengenalnya lewat buku ini. Bravo Robert Harris! Dan aku pun tak sabar menunggu bagian kedua buku ini yang berjudul Conspirata. Siapa lagi yang akan menerbitkannya, kalau bukan Gramedia, yang telah menyajikan buku ini bagi kita lewat penerjemahan yang apik dan boleh dibilang "bersih". Empat bintang untuk Imperium!

Judul: Imperium
Penulis: Robert Harris
Penerjemah: Femmy Syahrani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Mei 2008
Tebal: 413 hlm

Friday, October 21, 2011

The Virgin Blue

Saat kecil dulu, aku sering bertanya-tanya, mengapa jubah yang dipakai Bunda Maria pada patung atau lukisan selalu berwarna biru? Apakah Ia hanya punya satu jubah saja? Tentu saja itu pemikiran lugu seorang anak. Namun setelah membaca historical fiction karya Tracy Chevalier ini, aku kembali bertanya dengan sudut pandang baru: Apa yang sesungguhnya mau dilambangkan dengan warna biru pada jubah Maria? Mengapa harus biru, dan biru yang bagaimana? Dan inilah sedikit penjelasan yang kudapat dari beberapa artikel di internet,


Mengapa Biru?

Warna biru secara biblical melambangkan kemuliaan dan keagungan surgawi. Karena Bunda Maria adalah satu-satunya manusia yang diangkat ke surga dan menikmati kemuliaan surga, maka ia layak mengenakan warna biru.

Menurut International Marian Research Institute di University of Dayton, warna yang dipakai untuk jubah Bunda Maria bukan biru langit, melainkan biru yang lebih tua. Pada jaman tahun 500 SM, warna biru tua itu berasal dari jaman Byzantium, yang melambangkan "ratu". Maria dianggap sebagai Ratu Surgawi, maka ia layak mengenakan warna biru tua itu.

Ada juga yang mengatakan bahwa warna biru tua di Palestina melambangkan status “ibu”.

Sedang dalam teknik pewarnaan jaman abad pertengahan, warna biru tua itu berasal dari batu lapis lazuli, yang saat itu diimpor dari Afganistan dan nilainya melebihi emas. Maka, sebagai ungkapan devosi umat untuk memuliakan Bunda Maria, mereka "memberikan" jubah yang tergerai panjang berwarna biru, sebiru lapis lazuli.

Warna biru batu lapis lazuli

The Virgin Blue

Warna biru lapis lazuli itulah yang menghubungkan takdir dua wanita yang terpisah selama 400 tahun.

Di abad 16, hiduplah Isabelle du Moulin, seorang gadis kecil yang tinggal di Prancis. Suatu hari sebuah patung Bunda Maria diletakkan di gereja setempat, dan saat dinding sekitarnya dicat warna biru tua sesuai warna jubah Bunda Maria, matahari senja menyinari kepala Isabelle dan membuat rambutnya berwarna merah tembaga, persis warna rambut (yang diyakini) milik Bunda Maria. Sejak saat itu Isabelle dijuluki La Rousse, yang merujuk pada julukan Sang Perawan Maria.

Di abad 20, seorang wanita bernama Ella Turner memulai hidup baru di Prancis bersama suaminya, Rick. Meski tumbuh di Amerika, Ella ternyata memiliki darah Prancis dari ayahnya. Tournier adalah nama keluarga dan nenek moyangnya. Pada suatu hari Ella bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat warna biru yang bergelombang dan suara berdebum seolah ada batu besar jatuh, juga suara lirih sebuah nyanyian, yang ternyata diambil dari Kitab Mazmur 31: 12-13. Sejak saat itu ia sering mendapatkan mimpi warna biru yang sama itu berulang-ulang. Apa arti mimpi ini?

Oleh Tracy Chevalier, kisah kedua wanita ini diceritakan secara bersamaan dari awal, secara bergantian. Awalnya hampir tak ada kaitan antara keduanya, kecuali kesamaan warna biru itu. Abad 16 merupakan awal tumbuhnya Kristen Protestan (Reformasi Protestan) yang dipelopori oleh Martin Luther. Kaum Protestan meyakini bahwa umat Kristen seharusnya berdoa langsung kepada Tuhan, tanpa perantara, karena keselamatan hanya datang Yesus Kristus. Hal ini menentang ajaran/ritual Katolik yang menganggap Bunda Maria adalah perantara antara manusia dan Tuhan. Reformasi Protestan ini dibawa ke Prancis dan Swiss oleh John Calvin. Banyak petani di daerah itu yang menganut ajaran Calvin yang lalu disebut Calvinist atau "Kebenaran". Penganut Kebenaran di Prancis ini dijuluki kaum Huguenot.

Karena menentang peran Bunda Maria, kaum Huguenot pun memusuhi Isabelle dan ibunya. Saat gereja Katolik diambil alih dan pastornya diusir, kaum Huguenot memaksa Isabelle untuk menghancurkan patung Perawan Maria. Isabelle dianggap sebagai penyihir, apalagi karena rambutnya semakin berwarna merah tembaga. Di tengah semua itu, Isabelle tetap memendam devosinya terhadap Bunda Maria, meski secara diam-diam. Bahkan setelah ia (terpaksa) menikah dengan Etienne Tournier karena terlanjur hamil. Karena kedekatannya dengan Bunda Maria itulah Isabelle senantiasa dijauhi oleh penduduk. Ia akhirnya berhasil menamai anak perempuannya Marie (dari nama Maria) meski untuk itu harus mengancam Etienne.

Dimusuhi penduduk ternyata merupakan kesamaan lain Isabelle dengan Ella Tournier. Berdiam di kota kecil bernama Lisle-sur-Tarn, Ella merasa ia dimusuhi karena ia orang asing $28Amerika) yang tak fasih berbahasa Prancis. Seperti Isabelle, Ella merasa sendirian. Untuk menghibur diri, Ella pun mulai mencari tahu tentang nenek moyangnya, keluarga Tournier. Ia dibantu oleh pustakawan tampan bernama Jean Paul yang suka sinis dan berdebat dengannya. Kedekatan mereka berdua dalam proyek itu menyadarkan Ella bahwa ada sesuatu yang berubah dalam pernikahannya dengan Rick. Ella dan Jean Paul pun mulai jatuh cinta...

Empat ratus tahun sebelumnya, pernikahan Isabelle dan Etienne jauh lebih tak bahagia lagi. Bukan saja penduduk, namun suami, mertua dan salah satu putranya juga memusuhi dirinya yang dianggap penyihir. Saat menemukan helai rambut merah mulai tumbuh di kepala putrid bungsunya, Marie, ia pun ketakutan. Di sisi lain, meski tak sampai selingkuh seperti Ella, ada seorang penggembala bernama Paul yang mencintai Isabelle dengan caranya yang unik. Rambut merah Marie dan Paul adalah sebagian rahasia pribadi Isabelle.

Pada tahun 1572 terjadi pembantaian terhadap kaum Huguenot oleh kaum Katolik atas perintah ibunda Raja, yang disebut Pembantaian St. Bartholomew's Day (karena terjadi pada hari peringatan St. Bartolomeus). Saat itu keluarga Tournier terpaksa pindah untuk menyelamatkan diri ke Swiss, tepatnya ke desa Moutier yang letaknya dekat perbatasan dengan Prancis. Sementara itu Ella terus menelusuri jejak leluhurnya berkat bantuan sepupu ayahnya yang tinggal di Swiss, Jacob Tournier. Saat itu Ella berhasil mendapatkan sebuah peninggalan berharga berupa Alkitab milik keluarga Tournier, terbukti dari nama-nama seluruh keluarga Tournier yang tercantum di situ.

Pembantaian St. Bartholomew's Day yang diilustrasikan dalam sebuah lukisan

Di rumah baru di Moutier, Isabelle pada suatu hari menemukan sehelai kain biru sewarna biru yang dipakai Sang Perawan Maria yang ia miliki secara diam-diam. Dan pada suatu hari lainnya Etienne menemukan bahwa anak gadisnya, Marie mengenakan kain biru itu di balik roknya, yang membuat Etienne marah besar.

Sementara itu, pencarian Ella akan leluhurnya membawanya ke rumah pertanian yang diyakini dulu pernah ditempati keluarga Tournier 400 tahun lalu. Hal ini dipastikan karena Etienne membangun cerobong asap di rumah itu, yang langka pada jaman itu. Dan di rumah itulah, semua misteri di balik warna biru itu akan sedikit terungkap. Sedikit, karena memang tak sepenuhnya menjawab semua misteri. Menurutku, Tracy Chevalier menulis dengan sedikit gaya realisme magis, dengan meminjam pemujaan atau devosi kepada Bunda Maria. Bagaimana pun Ella lah tampaknya yang memang harus menemukan rahasia yang mengejutkan yang telah terkubur selama empat abad itu.

Kalau begitu, bagaimana dengan kegalauan hati Ella sendiri terhadap dua pria yang mencintainya? Akankah ia dapat mempertahankan perkawinannya dengan Rick? Ataukah ia akan memilih bersama Jean Paul yang selalu dapat memahaminya?

Terus terang aku kagum pada Tracy Chevalier. The Virgin Blue adalah novel historical fiction pertamanya, namun ia telah dengan piawai membawa kita pada suasana magis, sekaligus romantis di tengah sejarah abad ke 16. Di awal kisah, cerita tentang Ella dan Isabelle dituturkan dalam alur lambat, yang satu menyusul yang lain. Namun makin ke belakang, kisah keduanya makin membaur hingga akhirnya menyatu dalam sebuah pemahaman. Indah sekali cara penulisannya ini, dan makin mdmpesona karena Tracy memasukkan unsur lain ke dalam kisah ini, yaitu sebuah lukisan.


Biru dalam Lukisan

Selain Alkitab kuno yang menjadi bukti keberadaan leluhurnya, , Ella juga menemukan kemungkinan salah satu leluhurnya adalah seorang pelukis Prancis yang melukis Bunda Maria dalam jubah warna biru tua, seperti yang selalu muncul dalam mimpinya. Lukisan itu adalah "The Entombment", dilukis oleh Nicolas Tournier di sekitar abad 16.

Lukisan "The Entombment" yang dilihat Ella Tournier di kisah ini

Dalam kehidupan nyata, Nicolas Tournier sungguh-sungguh ada, dan Tracy tak sengaja menemukan lukisannya yang berjudul "Crucifixion" di sebuah museum. Dalam lukisan itu, Bunda Maria mengenakan jubah warna biru seperti yang dibayangkan oleh Tracy waktu menulis kisah ini. Saat itu ia telah mulai menulis tentang keluarga Tournier, dan sangat kaget waktu menemukan bahwa pelukis Crucifixion itu bernama Tournier juga. Pelukis itu juga tinggal di Montbeliard yang hanya 30 mil dari Moutier, lokasi yang dipakai Tracy dalam kisah ini.

Lukisan "Crucifixion" karya Nicolas Tournier yang dilihat Tracy Chevalier di museum

Terlalu banyak kebetulan? Ah....bagaimana pun hidup ini selalu penuh dengan misteri kan? Empat bintang untuk The Virgin Blue!

Judul: The Virgin Blue
Judul terjemahan: Biru Sang Perawan
Penulis: Tracy Chevalier
Penerjemah: Lanny Murtiharjana
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Juli 2006
Tebal: 353 hlm

Friday, October 7, 2011

The Pillars of The Earth


Dulu ketika masih duduk di bangku sekolah, aku selalu terpesona setiap kali berada di dalam gereja dekat sekolahku. Gereja itu dibangun sejak jaman Belanda, merupakan bangunan kuno yang atapnya tinggi, dinding tebal, interiornya penuh ornamen relief, ada banyak kaca mosaik pada jendela yang tinggi, dan suaramu akan bergaung ketika berbicara di dalam sana. Berada di bangunan setinggi dan sebesar itu membuatku merasa begitu kecil. Ketika mendongak ke atas rasanya aku dapat merasakan kehadiran Tuhan jauh di atas sana…Memang itu adalah khayalan anak-anak, karena nyatanya Tuhan ada di mana-mana. Namun harus kuakui bahwa perasaan sakral dan agung itu lebih mudah muncul ketika aku berada di gereja yang besar dan tinggi daripada di sebuah ruangan kecil.

Mungkin seperti itu juga perasaan umat Katolik pada abad 12 di Inggris yang sangat menyukai katedral. Mungkin mereka juga mengalami perasaan terpukau dan sakral yang sama ketika beribadat di katedral. Tak heran, kota-kota di sana berlomba-lomba membangun katedral agar kotanya dilirik para peziarah, dan dengan demikian membuat kota mereka menjadi lebih makmur. Persis seperti kondisi yang melatar belakangi novel ini…

Tom Builder adalah seorang tukang batu yang memiliki ambisi membangun sebuah katedral. Tom bukan tukang batu biasa, ia memiliki kemampuan mendesain bangunan katedral dari nol, sekaligus meuangkan desain itu ke atas gambar (waktu itu belum ada ilmu arsitektur). Ia juga mampu membuat perkiraan biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk membangun katedralnya. Hanya satu masalahnya, Tom tak kunjung menemukan gereja yang akan menggunakan jasanya untuk membangun katedral, sementara ia dan keluarganya yang miskin tak memiliki uang untuk menyambung hidup.

Philip kehilangan orang tua sejak kecil, dan sejak itulah ia dibesarkan di biara, dan akhirnya menjadi biarawan. Dari mengepalai biara kecil akhirnya karirnya menanjak dan ia menjadi Kepala Biara di Kingsbridge. Semua itu dicapai karena prestasinya, namun keberaniannya untuk selalu menjalankan kebenaran juga turut memberikan andil. Ketika gerejanya terbakar, ia pun menemukan alasan untuk membangun sebuah katedral.

Bisa diduga, di titik itulah kisah Philip bersilang jalan dengan kisah Tom Builder. Tom lantas memboyong keluarganya untuk tinggal di biara Kingsbridge: si sulung Alfred, si kecil Martha, Ellen—istri keduanya serta Jack, putra Ellen. Di sisi lain, ada Aliena dan Richard—putra putri Earl Shiring yang earldom-nya direbut paksa oleh keluarga Hamleigh karena Aliena menolak lamaran William Hamleigh. Prior Philip lah yang juga menyediakan perlindungan dan mengentaskan mereka dari lembah kemelaratan.

Sementara itu Philip sendiri tengah berjuang untuk dapat membangun katedralnya. Sayangnya proses pembangunan katedral --yang pada dasarnya dibangun demi tujuan yang baik—tak dapat berjalan dengan lancar. Banyak masalah yang dihadapi Prior Philip, mulai dari masalah keuangan, rebutan lahan dengan bangsawan, hingga kebencian dan keserakahan uskup yang ingin membangun istana bagi dirinya sendiri. Larangan mengambil kayu, kekurangan pekerja, pembakaran kota hingga penyerangan, berkali-kali harus dialami Kingsbridge. Bahkan masalah ini pun sampai ke telinga raja yang turut campur tangan. Ternyata untuk mendirikan rumah Tuhan, kita tidak hanya berurusan dengan Tuhan, tapi yang jauh lebih ruwet justru berurusan dengan manusia.

Dalam setiap masalah, Philip selalu menemukan pemecahan yang terbaik bagi semua pihak. Ada saat ia menang, dan lawannya pun harus mengakui kecerdikannya, sehingga pembangunan katedral dapat berjalan lancar. Namun ada pula saat Philip kalah, maka pembangunan katedral tersendat, dan musuh pun tertawa senang.

Maka boleh dibilang, pembangunan katedral sama dengan perjalanan hidup manusia. Meski seumur hidup kita berjuang selalu berbuat baik, dan tak henti berdoa, ada saat tertentu kita menang dan mendapatkan apa yang kita inginkan, namun ada juga saat kita harus menahan derita sakitnya dikalahkan dengan kejam. Semua tokoh di kisah ini pun mengalami hal yang sama, dan Ken Follett telah menjalin kisah mereka semua dengan sangat menawan. Anda akan dibuat emosional dengan menangis, tertawa, marah, bersedih, gembira dan tegang, berganti-ganti dari awal hingga akhir. Sekaligus anda akan mendapatkan wawasan tentang arsitektur katedral era Romanesque atau Gothik, sejarah abad pertengahan, serta indahnya kasih yang bersumber pada Sang Pencipta.



Tentang Katedral

Pada abad ke 12, waktu yang dibutuhkan untuk membangun sebuah katedral rata-rata adalah tiga puluh tahun. Kisah ini bertaburan dengan banyak istilah dan penjelasan mengenai struktur bangunan katedral dan pembuatannya. Agar memudahkan untuk memiliki gambaran yang lebih hidup selama membaca buku ini, aku telah menelusuri istilah-istilah arsitektur jaman abad pertengahan, khususnya untuk katedral Gothic/Romanesque. Jadi seperti inilah layout sebuah katedral (dilihat dari atas) yang berbentuk salib:



1. Chancel = bagian utama, tempat misa dilangsungkan, tempat altar, tabernakel, tempat duduk imam dan mimbar berada. Singkatnya, bagian utama katedral.

Bagian Chancel di Katedral Salisbury, meja yang berwarna hijau adalah altarnya


2. Nave = tempat diletakkan bangku-bangku umat, menghadap ke arah chancel.

Bagian nave Katedral Salisbury -- mengarah ke Chancel

3. Transept = sayap kiri dan kanan dari bentuk salib.
4. Cloister = lapangan rumput atau lapangan terbuka berbentuk segi empat di samping katedral yang memisahkan kehidupan katedral/biara dari tempat tinggal para pekerja biara yang non biarawan. Tempat tinggal para pekerja ini berada di luar atau di sekeliling cloister.
5. Narthex = semacam foyer, bagian terdepan katedral di antara pintu masuk dan nave.



Pemandangan salah satu sudut cloister (diambil dari Katedral Salisbury)


Sementara itu, struktur bangunan katedral bila dilihat secara vertikal kira-kira seperti ini:



Arcade = bagian terbawah dari katedral.
Galeri = bagian yang memisahkan arcade dan bagian teratas katedral (clerestory).
Clerestory = bagian paling atas katedral yang biasanya diisi jendela untuk memasukkan cahaya matahari. Kacanya biasa dihiasi kaca mosaik warna-warni yang menampilkan gambar-gambar dari kisah alkitab.

Selain itu ada istilah “bay”, yaitu bagian-bagian dari tembok katedral di masing-masing sisi nave, biasanya berada di antara dua pilar, di mana biasanya terpasang 1 jendela. Sebuah nave terdiri dari lebih dari 1 bay, misalnya 7 bay.

Katedral Kingsbridge adalah bangunan fiksional, namun Ken Follett menggunakan Katedral Salisbury sebagai dasar arsitektur yang ditulisnya di buku ini. Gambar-gambar diatas juga diambil dari Katedral Salisbury, yang tampak luarnya seperti ini:


Katedral Salisbury, Inggris


Tentang Philip

Philip adalah tokoh yang paling kukagumi di kisah ini. Philip adalah biarawan sejati yang bersahaja, setia pada hidup selibat, baik hati dan pemaaf, namun memiliki kecerdasan dan kemampuan untuk memimpin. Banyak yang menganggapnya kolot dan keras, misalnya sanggup membuat dua insan yang saling mencintai harus hidup terpisah karena belum dapat menikah secara gereja. Namun sebenarnya ia hanya bertindak tegas karena menjunjung tinggi hukum Gereja dan hukum Allah. Bila dapat, ia mau berkompromi untuk membahagiakan umatnya.

Kalau pun ada kelemahannya, Philip seringkali dihinggapi kesombongan dan ambisi mengenai katedralnya. Namun hampir setiap kali, ia pun akan segera sadar bahwa katedral itu dibangun untuk kepentingan Tuhan dan gereja, bukan demi ambisinya dan bukan pula karena kepandaiannya semata. Tangan Tuhan lah, ia sadar, yang membuat katedral itu dapat atau tidak dapat dibangun dengan sempurna.

Meski Philip dibenci, disakiti, bahkan dikhianati, Philip selalu pemaaf. Adegan yang membuatku terisak haru adalah ketika ia berjumpa biarawan yang telah mengkhianatinya serta menyebabkan kekalahan mutlak bagi Philip. Biarawan itu kini menjadi gelandangan yang mengenaskan. Melihat itu, Philip mengulurkan makanan, minuman, namun di atas itu…pengampunan. Philip mengajak si biarawan untuk kembali ke biaranya untuk bertobat. Dan apa yang dilakukan Philip ketika sang biarawan menerima undangannya? Philip memberikan kudanya bagi si biarawan pengkhianat, sementara ia sendiri berjalan kaki.

Ketika bawahannya keheranan, inilah jawaban Philip: “Yesus bersabda: 'Demikian juga akan ada sukacita di surga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita karena 99 orang benar yang tidak memerlukan pertobatan'". Dan inilah yang Philip pikirkan saat itu: "Aku kalah dalam pengadilan, tapi itu hanyalah masalah batu. Yang kuperoleh sebagai gantinya jelas jauh lebih berharga. Hari ini, aku memenangkan jiwa seorang manusia." ~hlm. 1019. Maka kekalahan duniawi mungkin saja hanyalah sarana bagi kemenangan ilahi, bukankah begitu?

Di mata dunia Philip memang lemah, miskin, tak punya kuasa apapun. Wibawa, kekayaan dan kekuatannya, semua datang dari Tuhan. Inilah hal yang sulit dipahami oleh*dunia, yang terungkap dalam keheranan salah satu musuh bebuyutan Philip: "..Dalam kedua kasus itu, kelemahan dan ketidakberdayaan justru berhasil mengalahkan kekuasaan dan kekejaman. William benar-benar tidak mengerti." ~hlm. 1053.

Oh…betapa bahagianya aku bila bisa mendapatkan seorang gembala seperti Philip!



Pilar-Pilar Bumi


Apa yang ingin disampaikan Ken Follett kepada kita dengan kisah ini? Kupikir, ia ingin menunjukkan kesamaan antara bangunan katedral dan bangunan besar yang kita sebut sebagai negara atau (pada jaman itu) kerajaan. Katedral Kingsbridge yang akhirnya akan berdiri megah dengan menara menjulang tinggi, mampu bertahan dari serangan angin karena ditopang oleh pilar-pilar ramping dari bawah. Begitu juga dengan negara. Bukanlah kekuasaan mutlak dan kekejaman yang membuat sebuah wilayah menjadi makmur dan semakin besar. Sebaliknya, kepemimpinan yang adil seperti yang dikehendaki Tuhan lah yang bisa menjadikan rakyatnya hidup dalam damai. Jadi sebenarnya...siapa atau apakah pilar-pilar bumi itu? Dengan membaca buku ini mungkin anda akan bisa menjawabnya...

Lima dari lima bintang kuanugerahkan kepada The Pillars of The Earth, Ken Follett dan penerjemahan yang baik dari penerbit Gramedia. Begitu rinci Follett mengupas karakter dari masing-masing tokoh, begitu kompleks ia menjalin konflik antara mereka, dan begitu menguras emosi setiap kejadian yang ia tuturkan. Dan akhirnya, pada tahun 1174, di antara cinta, dendam, intrik politik, keserakahan dan kekuasaan, berdirilah sebuah katedral nan megah...

Judul: The Pillars of The Earth (Pilar)
Penulis: Ken Follett
Penerjemah: Monica Dwi Chresnayani & Diniarty Pandia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Februari 2006;/div>
Tebal: 1131 hlm


Catatan:
Setelah membaca buku ini dan selama melakukan riset kecil-kecilan untuk penulisan review ini, aku jadi ingin mengunjungi sebuah katedral. Sepertinya, setelah ini aku takkan pernah dapat memasuki katedral tanpa berpikir dalam hati: “Arcade-nya tinggi juga” atau “Tempat duduk di transept ternyata sudah penuh”. Atau kalau orang yang pergi bersamaku mengajakku duduk di bangku deretan agak belakang, aku akan mengatakan: “Mending duduk sedekat mungkin dengan chancel aja”. Yah….buku memang kadang menyentuh dan mengubah bagian kecil dari hidupmu, dan kupikir buku ini pun juga begitu bagiku, bagaimana denganmu?

Saturday, March 19, 2011

The Rossetti Letter

Membaca kisah ini serasa bak membaca dua buah buku yang sama sekali berbeda, namun pada saat yang berbarengan. Kisah pertama dengan tokoh utama Alessandra Rossetti terjadi pada abad 17 di Venesia, sedangkan kisah kedua mengenai seorang sastrawati di Boston bernama Claire Donovan yang sedang mengerjakan disertasi tentang Revolusi Spanyol yang terjadi di Venesia pada masa hidup Alessandra Rossetti. Namun kenyataannya, kedua kisah yang berbeda jaman dan memiliki tokoh-tokohnya masing-masing itu adalah sebuah kesatuan kisah yang telah dirajut dengan sangat manis dan tertata baik oleh Christi Phillips, penulis Surat Rossetti, (atau The Rossetti Letter, judul aslinya) ini.

Revolusi Spanyol memang terekam dalam sejarah, terjadi pada bulan Maret 1617 di Venesia. Meski peristiwa sesungguhnya masih menjadi misteri hingga kini, namun sejarah mencatat bahwa Marquis Bedmar-Duta Besar Spanyol dan Duke Ossuna-Raja Muda Milan adalah inspirator konspirasi ini, mereka bersekongkol dengan tujuan untuk mengukuhkan kekuasaaan Spanyol atas Venesia. Dalam kisah ini, Christi lalu memasukkan tokoh Alessandra Rossetti, seorang pelacur tingkat tinggi di Venesia yang berkat surat yang ditulis dan dikirimkannya ke Dewan Agung, telah berhasil menggagalkan konspirasi itu.

Claire Donovan adalah sastrawati yang berambisi menjadi pengajar sejarah di universitas bergengsi. Untuk itu, pertama-tama ia harus menelurkan sebuah makalah yang orisinil. Dan misteri Revolusi Spanyol yang belum terungkap itulah topik yang dipilihnya dan ia harapkan menjadi batu loncatan menuju karir idamannya. Sayangnya, sebelum ia menemukan data-data lengkap untuk makalahnya, tersiar kabar bahwa seorang professor sejarah bernama Andrea Kent akan mempresentasikan buku terbarunya mengenai subyek yang sama persis: Revolusi Spanyol. Claire panik, karena kerja kerasnya selama 2 tahun terakhir untuk makalah itu akan sia-sia apabila ada si Andrea ini berhasil menerbitkan bukunya sebelum ia menyelesaikan makalahnya. Karena, disertasinya tak akan dianggap orisinil lagi. Satu-satunya cara, Claire harus berangkat ke Venesia, tempat konferensi di mana sang professor akan mempresentasikan bukunya. Lagipula, di mana lagi tempat paling ideal untuk menemukan kebenaran tentang Konspirasi Spanyol yang terjadi di Venesia? Di Venesia tentunya!

Keberuntungan ternyata menaungi Claire, karena kendala satu-satunya yang merintangi hasratnya untuk pergi ke Italia: uang, ternyata terpecahkan oleh seorang remaja perempuan berusia 14 tahun bernama Gwen. Atau lebih tepatnya, oleh orang tua Gwen yang membutuhkan seorang “pendamping” bagi Gwen selama mereka berlibur ke Paris. Maka berangkatlah Claire bersama Gwen selama seminggu. Seminggu yang ternyata selain dipenuhi dengan riset yang membosankan di perpustakaan, juga dibumbui dengan kehadiran pria-pria ganteng Italia. Giancarlo yang naksir Claire, dan Nicolo yang mengincar Gwen. Namun, di antara letupan-letupan romantis mereka, Claire akan menemukan kembali gairah hidupnya yang telah sekian lama meredup. Hanya dalam seminggu, Venesia mungkin akan mengubah seluruh hidupnya…

Di sisi lain, berjalan berdampingan dengan kisah Claire, kisah Alessandra Rossetti justru menjadi daya tarik yang lebih kuat dalam buku ini. Setting sejarah, apalagi yang terjadi di kota eksotis dengan kanal-kanalnya: Venesia, memang selalu membantu memberikan sentuhan klasik pada sebuah buku. Bukan hanya keindahan Venesia yang diwakili oleh kanal-kanalnya, gondola, dan karnaval meriahnya saja yang menarik di buku ini, namun juga pergolakan politik dan budaya pada masa abad ke 17 itu. Profesi paling tua di dunia yang digeluti Alessandra: pelacur, juga banyak dibeberkan di sini. Pelacur di Venesia bisa memiliki banyak tingkatan. Di sini aku jadi teringat pada Geisha di Jepang. Cortigiana onesta adalah sebutan pelacur tingkat tinggi di Venesia, sama dengan Geisha di Jepang. Alih-alih menjajakan diri, mereka hanya memiliki beberapa kekasih para bangsawan dan orang-orang penting yang berlimpah harta. Menjadi cortigiana onesta pada jaman itu jauh lebih terhormat daripada menjadi wanita lajang yang hidup tanpa suami, dan lebih merdeka daripada dikirim ke biara meski tak punya panggilan membiara. Dan bagi wanita seperti Alessandra Rossetti, yang memiliki kecerdasan, keberanian, sekaligus keinginan untuk hidup bebas dan mandiri, rasanya cortigiana onesta menjadi opsi yang paling masuk akal, apalagi setelah ia hidup sebatang kara. Namun ternyata ia pun tak sebebas yang diinginkannya ketika sudah menjadi pelacur. Menjadi kekasih Marquis Bedmar ternyata malah membawanya terjerat ke dalam keruhnya dunia politik di Venesia.

Surat Rossetti ternyata kelak akan mempengaruhi masa depan Venesia dan Spanyol. Dan Claire Donovan kini berjuang untuk memperoleh jawaban tentang sosok Alessandra yang misterius itu. Apa yang terjadi setelah ia memasukkan surat itu ke bocca di leone di istana Dewan Agung? Dan apa yang terjadi pada dirinya setelah itu? Betulkah Alessandra seorang pahlawan yang mampu menghentikan sebuah revolusi? Nah, surat-surat maupun diary Alessandra yang diteliti Claire itulah yang akan menjadi kunci pemecahan misteri sesungguhnya yang terjadi pada bulan Maret 1671 itu….

Christi Phillips telah berhasil menggabungkan dua suasana ke dalam satu cerita. Kita dibuatnya melompat-lompat dari masa lalu abad 17 ke masa kini tanpa kesulitan mengikuti alurnya. Riset yang baik juga pasti telah dilakukan Christi untuk membawa suasana Venesia abad 17 itu sedekat mungkin dengan aslinya. Hanya saja yang agak disayangkan adalah adegan panas Alessandra bersama kekasihnya yang dibuat agak terlalu jelas sehingga kesan “kuno” kisah ini agak memudar, dan kita malah disuguhkan adegan serupa yang kita jumpai di novel-novel Harlequin. Anyway, intrik-intrik dalam kisah ini yang memukau, tetap membuatku memberikan 4 bintang untuk Surat Rossetti!

Judul asli: The Rossetti Letter
Pengarang: Christi Phillips
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Nopember 2010
Tebal: 523 hlm