Showing posts with label Irving Stone. Show all posts
Showing posts with label Irving Stone. Show all posts

Monday, October 1, 2018

The Origin by Irving Stone


Charles. Darwin. A name so familiar in modern world, yet so little had we known about the person. I have read his magnum opus last year: On the Origin of Species, yet then I have only focused on his views on evolution and struggle for existence theory. I have never imagined, for example, that Darwin had made that famous voyage on board The Beagle in a so young of age of 22—in fact it was even his first voyage ever! Or, that he was NOT a Naturalist before the voyage; but was originally intended to pursue medical career—following the lead of his father and grandfather. He had failed; and finally made up his mind to take theological study at Christ College to become a curate, which was approved and encouraged by Robert Darwin, his father. Then, when Charles Darwin has finally settled his future career, came a letter from the Naval Office, inviting him to join HMS Beagle as its Naturalist—something beyond even Darwin's wildest dream. 

Charles Darwin -
by G. Richmond
While studying at Christ College, Darwin often accompanied Professors John Henslow and Adam Sedgwick, from whom he learned much about botany and geology. That, and his passion on nature (he liked to catch butterflies and even toads), that made him eligible to join the survey expedition conducted by Royal Navy. The appointment itself was almost like an act of Providence. Darwin was the third person picked, after two others (more prominent Naturalists) rejected for some reasons. His father didn't approved Darwin going for two year voyage, while he was supposed to start looking for a parish to settle in. Only after Darwin's uncle intervene, that his father softened, and finally gave Darwin his blessing—without which Darwin would have given up the voyage altogether, since he respected his father's decision very much. This was an aspect that I loved from the Darwins: love and respect from father and son. Later on after Darwin returned from the voyage, and was happy in doing researches and writing his books, his father totally accepted and never blamed Darwin for ever giving up his religious career. Darwin was also blessed with an amiable wife and supports from his friends, which later proved to be valuable to Darwin's career as Naturalist. Maybe it's because Darwin was himself an amiable person: humble, docile, and peaceful. 

HMS Beagle - by Conrad Martens


Darwin was neither a healthy nor strong young man when taking the five years voyage, and after settling with his large family while writing his numerous books, he was often tortured by his illness. But I think it was caused mostly by his moral conflict. Remember what happened to Galileo after publishing his heliocentric theory? He was accused of committing heresy. Now, Darwin always hated controversy. He would have stayed home and become priest, had his father rejected his voyage. He was perfectly aware that his theory of evolution would be strongly opposed by the Church and by the society. In 19th century the Church doctrine was that every creature was created as it was by God; and that they were all good. Darwin found out from studying tons of specimens he had collected during the voyage, that these creatures, which God has first created, has been evolving through years of struggle of existence, then formed various new sub-species. That would shock the world, and especially his wife Emma, whom Darwin loved and adored, and who happened to be a very religious person. These thoughts tortured Darwin so much in the form of many curious uncured physical symptoms. But—and this is what I most adored from him—Charles Darwin never flinched from his belief; and though he has promised Emma to never pursue the theory, he never stopped developing it in his mind, and secretly writing it. Darwin, who was a docile and peaceful person, dared to do it against all odds, because his conscience told him to speak the truth!

As all other new ideas, On the Origin of the Species did cause huge turbulence on scientific and Church history when published. These were the most insufferable time for Darwin, yet he never stopped researching and writing a lot of books, each of which opened fresh debates among scientists, as well as public readers. However, after the first blow from On the Origin, people began to accept his theory, and Charles Darwin became one of the most prominent scientists in the world.

Thanks to Irving Stone, the life, works, and the scientific world around Charles Darwin was finally revealed to us. Like Darwin, Stone have done meticulous researches around his subject. The project took him five years to finish; the same time for Darwin to collect his specimens and notes aboard The Beagle. The book caught perfectly and beautifully the emotional struggle of Darwin and his peers during the rising period of science. The Origin is a monumental work. I was so grateful to have read it. Not only to know more of the Naturalist, but also to understand more of his works, especially On the Origin of Species. What a read!

5 / 5



Thursday, August 16, 2012

Lust For Life


Begitu menutup lembar terakhir buku ini, tidak…sebenarnya sepanjang paruh kedua buku ini, ada tiga pertanyaan menggelayut di pikiranku: Adakah perbedaan antara kejeniusan dan kegilaan? Apakah seorang pelukis mampu melukis dengan hebat karena ia memiliki bibit-bibit kegilaan? Ataukah ia menjadi gila akibat mencurahkan emosi sebegitu besarnya pada lukisan? Dan yang terakhir, apa sebenarnya ‘gila’ itu? Membaca buku ini saja takkan mampu menjawab pertanyaan itu, malah aku merasa buku ini memang benar-benar gila. GILA bagusnya!!

Lust for Life menuturkan kisah hidup Vincent Van Gogh (30 Maret 1853 – 29 Juli 1890), seorang maestro seni lukis asal Belanda yang merupakan salah satu pelukis termahal di dunia. Van Gogh adalah salah satu pelukis beraliran post-impressionist yang saat itu tengah melanda Prancis. Para pelukis lain yang sealiran dengannya antara lain Paul Gauguin, Paul Cezanne, Henri de Toulouse-Lautrec, dan Georges Seurat, yang adalah kawan-kawannya. Lukisan Van Gogh memiliki ciri khas sapuan yang kasar namun cantik, dengan warna-warna yang tegas dan cat yang tebal, menyiratkan emosi yang sepenuhnya dicurahkan sang pelukis. Sementara pelukis-pelukis sebelumnya menangkap keindahan untuk ditorehkan ke atas kanvas, Van Gogh justru memotret kesuraman hidup, kemiskinan dan penderitaan yang karakter kuatnya kemudian ia pancarkan lewat kanvasnya. Van Gogh melukis bukan untuk memanjakan mata, namun untuk merasakan getar kehidupan dari manusia maupun alam.

Salah satu lukisan awalnya: The Potato Eaters, memotret sebuah keluarga petani miskin di Nuenen. Lukisan ini disebut oleh Van Gogh sebagai karya terbaiknya.

"You see, I really have wanted to make it so that people get the idea that these folk, who are eating their potatoes by the light of their little lamp, have tilled the earth themselves with these hands they are putting in the dish, and so it speaks of manual labor and — that they have thus honestly earned their food. I wanted it to give the idea of a wholly different way of life from ours — civilized people. So I certainly don’t want everyone just to admire it or approve of it without knowing why." ~dari wikipedia

Mereka menanam kentang, mencangkul kentang, dan memakan kentang; itulah kehidupan mereka.

Vincent van Gogh
Painting, Oil on Canvas
Nuenen, The Netherlands: April, 1885
Van Gogh Museum, Amsterdam


Van Gogh lahir dari keluarga pendeta, dan digadang-gadang oleh keluarganya menjadi penerus sang ayah, berkarya melayani Tuhan. Selama bertahun-tahun Van Gogh berjalan tak tentu arah mencari panggilan hidupnya. Berawal dari penjual lukisan di galeri, Van Gogh tak puas karena mereka hanya fokus pada faktor komersial saja, tanpa mengindahkan seni sama sekali.

Kemudian setelah belajar di sekolah alkitab, Van Gogh menyadari bahwa ia harus berkarya di daerah yang miskin, maka ia bertolak ke Borinage, sebuah desa pertambangan di Belgia. Namun di sana ia menemukan bahwa bukan sabda Tuhan yang dibutuhkan masyarakat, melainkan makanan, pakaian dan obat-obatan. Maka layaknya seorang martir, Van Gogh pun mengorbankan semua miliknya bagi mereka yang paling menderita. Tak mampu menolong mereka, ia mulai kehilangan imannya kepada Tuhan. Lalu berkat bantuan adiknya yang sangat mencintainya, Theo, ia pun menemukan jalan hidupnya yaitu melukis.

Ketika anda memandang sebuah lukisan terutama karya seorang maestro, jangan membayangkan bahwa si pelukis, karena bakatnya, tinggal duduk di depan kanvas, mengulaskan kuas ke atasnya, lalu sim-salabim…..terciptalah lukisan indah yang kemudian terpajang di galeri-galeri. Tidak. Sama sekali tidak! Untuk menciptakan karya yang optimal, seorang pelukis membutuhkan paling tidak sepuluh tahun untuk berlatih, belajar dan terus melukis. Awalnya lukisannya akan terlihat mentah, lalu lama kelamaan lukisannya akan bertambah ‘matang’, hingga suatu hari ia akan mencapai puncak, dan ketika namanya kelak sudah mendunia, lukisan-lukisan awalnya pun akan terus diburu orang. Sepanjang hidupnya Van Gogh hanya pernah mengalami rasa bangga karena lukisannya terjual sebanyak satu kali saja!

Inilah lukisan The Red Vineyard yang pertama dijual Theo adiknya seharga empat ratus franc:

Vincent van Gogh
Painting, Oil on Canvas
Arles: November, 1888
Pushkin Museum, Moscow


Membaca buku ini aku semakin menyadari betapa beratnya perjalanan seorang pelukis. Ternyata melukis bukan sekedar memulas kuas ke kanvas untuk membubuhkan bentuk dan warna, melukis adalah pertama-tama menangkap energi dan esensi sebuah obyek menurut sudut pandang si pelukis, lalu menuangkannya ke atas kanvas agar orang yang melihatnya menangkap pemikiran atau perasaan si pelukis tentang obyek itu. Jadi lukisan yang indah bukan dinilai dari indah/tidaknya obyek yang dilukis, melainkan lebih pada mampu/tidaknya si pelukis mencerminkan esensi obyek itu. Kupikir-pikir, melukis sama saja dengan mereview sebuah buku (seperti tulisan ini), tujuannya adalah menangkap esensi atau emosi sebuah buku dan menuangkannya dalam review. Lukisan dan review hanya berbeda medianya saja…

Vincent Van Gogh sendiri berjuang selama lebih dari sepuluh tahun, selama itu ia berpindah-pindah tempat, dar Belanda, ke Belgia, ke Paris, dan banyak kota-kota kecil di antaranya. Ia juga sering mengalami kegagalan cinta—dan seringkali karena si wanita atau keluarganya memandang rendah dirinya yang kerjanya ‘hanya’ melukis, miskin, tak punya masa depan. Van Gogh hidup sangat miskin, hanya bergantung pada uang saku yang dikirimkan oleh sang adik Theo. Seumur hidupnya Van Gogh tak pernah mampu membiayai hidupnya sendiri, kerapkali ia harus menahan lapar demi hasrat yang meledak-ledak untuk melukis. Namun ia selalu sadar dan yakin bahwa melukis adalah panggilan hidupnya.

Lukisan bunga matahari Van Gogh dalam bentuk Still Life yang penuh warna kuning cerah, warna yang menjadi ciri khas sampul buku ini:

Vincent van Gogh
Painting, Oil on Canvas
Arles, France: August, 1888
National Gallery, London


Sepanjang hidupnya yang singkat (ia meninggal di usia 37 tahun), Van Gogh tak banyak disukai orang, banyak yang menganggapnya gila dan menilai lukisannya sebagai karya yang buruk. Pendeknya, bagi dunia Van Gogh adalah manusia yang gagal. Padahal semua itu karena dunia tak mau benar-benar menghargai jiwa seni.

Aku tahu bahwa pada dasarnya memang benar bahwa pelukis adalah orang yang terlalu diserap oleh apa yang dilihatnya dan tidak cukup menguasai bagian kehidupannya yang lain. Tapi apakah itu membuatnya tidak pantas hidup di dunia ini?” ~hlm. 527

potret diri, dilukis Van Gogh dari cermin
Apakah karenanya semangat Van Gogh kemudian surut? Tidak. Dan ini mungkin sebuah filosofi yang harus dianut semua orang yang berjiwa seni, dan seni itu menjadi panggilan hidupnya.

Apa yang dipikirkan dunia tidak banyak bedanya. Rembrandt harus melukis. Apakah dia melukis dengan baik atau jelek, tidak jadi soal baginya; melukis adalah sarana yang membuatnya menjadi seorang manusia yang utuh. Nilai utama seni, Vincent, terletak pada ekspresi yang diberikannya kepada pelukis. Bahkan kalau karyanya (Rembrandt) tidak dihargai, dia ribuan kali lebih sukses daripada kalau dia meninggalkan keinginannya dan menjadi pedagang kaya di Amsterdam.” ~hlm. 51

Untunglah bagi kita semua, bahwa orang-orang seperti Vincent Van Gogh, meski harus menderita, dikucilkan, namun tak pernah berpaling dari apa yang menjadi jiwanya. Kupikir mereka adalah orang-orang yang sukses karena mereka, dengan kegigihannya, berhasil mewujudkan hasratnya terlepas dari segala kendala dan meski tak ada orang yang menghargainya. Asalkan mereka memiliki cinta, mampu mencintai dan dicintai. Di hidupnya yang hanya 37 tahun, terlepas dari semua derita dan kegilaannya, kupikir Vincent Van Gogh telah menjalani hidup yang sempurna.

Lukisan Van Gogh yang paling terkenal: The Starry Night, yang dilukisnya ketika sudah tinggal di Rumah Sakit Jiwa Saint Remi:

Vincent van Gogh
Painting, Oil on Canvas
Saint-Rémy, France: June, 1889
The Museum of Modern Art, New York


Sekarang kembali pada pertanyaanku di paragraf awal tentang kegilaan, karena ya..pada akhir karirnya Vincent boleh kita anggap menjadi gila (bila bipolar disorder dan schizophrenia bisa dikatakan gila) dan harus tinggal di Rumah Sakit Jiwa. Sekali lagi pertanyaannya adalah, apakah memang ada bakat kegilaan dalam diri Van Gogh atau pelukis lainnya yang membuat mereka berhasil menjalani hidup sebagai pelukis? Atau justru gaya hidup mereka sebagai pelukis dengan emosi yang meledak-ledaklah yang membuat mereka menjadi gila? Yang manapun yang benar, kupikir sekarang tak menjadi soal, toh seseorang disebut gila karena ia memiliki pemikiran yang berbeda dari pakem yang ada, atau out of the box istilahnya. Buktinya, meski Vincent Van Gogh pada jamannya dianggap gila dan lukisanya jelek, kini ia menjadi salah satu maestro dunia yang lukisannya terjual dengan nilai yang menakjubkan. Jadi, sebenarnya yang gila pelukisnya atau para pecinta seni yang rela merogoh kocek untuk memajang pulasan kuas yang kasar dan penuh energi itu? Satu hal yang pasti buatku, buku ini sendiri memang gila, GILA bagusnyaaa!

Judul: Lust For Life
Penulis: Irving Stone
Penerjemah: Rahmani Astuti
Editor: Anton Kurnia
Penerbit: Serambi Cerita Utama
Terbit: Juli 2012
Tebal: 574 hlm