Showing posts with label 12th Century. Show all posts
Showing posts with label 12th Century. Show all posts

Friday, November 16, 2012

Genghis Khan 2: Badai Di Tengah Padang


Bila di buku pertama kita diajak melihat rekam jejak Temujin kecil hingga bagaimana ia mulai merealisasikan cita-cita mempersatukan Dataran Mongolia, maka di bagian kedua ini kita akan menelusuri berdirinya Imperium Mongol—imperium terbesar yang pernah ada dalam sejarah manusia—dan bagaimana sepak terjang Genghis Khan—sang Ka-Khan yang dulunya bernama Temujin—melakukan ekspansi hingga ke Eropa dan Afrika.

Di akhir buku pertama Temujin telah melakukan aliansi dengan Wang Khan dan memenangkan beberapa pertempuran, yang membuat semua klan-klan di dataran Mongolia waspada. Salah satunya Jamuka, anda Temujin yang memiliki satu visi namun beda pandangan pada cara pencapaiannya. Jamuka mulai mencari dukungan klan-klan lain untuk mengenyahkan Temujin sebelum ia semakin hebat. Salah satu caranya dengan memutuskan hubungan baik Wang Khan dan Temujin lewat putra Wang Khan—Nilka Senggum—yang iri karena Temujin dijadikan urutan pertama calon penerus sang ayah.

Namun bagi Temujin, untuk memenangkan pertempuran, kau tidak harus memiliki jumlah prajurit sama dengan atau lebih besar daripada lawan. Bahkan dengan jumlah prajurit seperempat dari lawan, kau bisa menang jika menerapkan strategi yang tepat. Ketika henda menyerang China dan berhadapan dengan Tembok Besar nan perkasa, Genghis Khan berkata dalam hati: “Tidakkah mereka tahu bahwa tembok pelindung sejati semestinya dibangun di dalam benak mereka?” Dan memang dalam ratusan perang yang dijalani bangsa Mongol di bawah pimpinan Genghis Khan, mereka bukan saja mempraktekkan aneka strategi yang cerdik, namun juga menciptakan banyak alat dan teknologi baru untuk perang pada jaman itu, salah satunya adalah meriam.

Kembali pada perseteruan Temujin vs Jamuka, kita tentu tahu siapa yang akhirnya menang. Setelah banyak peperangan dan pengkhianatan yang ia hadapi, Temujin akhirnya dapat mendeklarasikan Imperium Mongol yang mempersatukan banyak klan yang tadinya tersebar dan saling bermusuhan, kini menjadi sebuah kekuatan yang menakutkan. Ketika Jamuka akhirnya tertangkap dan dihadapkan ke Temujin—yang tetap menganggapnya sahabat masa kecil yang disayanginya—Jamuka mengakui apa yang menyebabkan kegagalannya. Menariknya, Jamuka ternyata menyadari bahwa kurangnya kasih sayang di masa kecilnya lah yang menyebabkan ia tak mampu menjadi pemimpin yang baik, yang lalu mengandaskan impiannya. Aku turut terharu saat Temujin harus berpisah dengan Jamuka, karena meski ia selalu menyayangi anda-nya, Temujin pun tahu bahwa selama salah satu dari mereka tidak binasa, maka cita-cita besar mempersatukan Dataran Mongolia takkan pernah terwujud.

Selanjutnya kita diajak menyaksikan peperangan demi peperangan yang dilancarkan Genghis Khan tanpa henti selama bertahun-tahun lamanya, dan menambahkan daerah taklukannya hingga terus melebar dan meluas. Pertanyaan kita mungkin, bagaimana seorang Genghis Khan dapat mempersatukan klan-klan Mongol yang barbar dan memimpin negara-negara jajahannya yang notabene jauh lebih maju? Ini yang sangat menarik! Di satu sisi Genghis menerapkan aturan yang sangat ketat bagi masyarakat maupun bagi prajurit Mongol, yang disebut yassa. Aturan-aturan ini dibuat agar moral rakyat menjadi semakin baik, karena bagi pelanggar, hukumannya adalah pemenggalan kepala! Banyak korban berjatuhan pada saat pertama yassa diberlakukan, namun seiring berjalannya waktu, mereka menjadi semakin terbiasa untuk taat pada aturan, dan akhirnya bangsa Mongol dapat meninggalkan kebejatan moralnya di masa lalu. Sebuah pelajaran yang harusnya diterapkan di negeri kita!

Di sisi lain Genghis sangat adil memperlakukan bawahannya. Mereka yang kompeten, setia, dan memiliki jasa terhadap negara, akan menikmati jabatan, kekayaan dan privilese bagi anggota keluarganya. Dan hal ini diberlakukan sama-rata untuk semua, tanpa pandang suku, agama, kaya-miskin, status sosial dsb. Tak ada bedanya apakah kau berasal dari keluarga penggembala ternak atau putra kepala suku, asal kau punya kemampuan, kau akan mendapatkan kesempatan. Genghis selalu menepati janji yang pernah ia buat, dan konon ia makan dan berpakaian yang sama dengan semua bawahannya. Pendek kata, Genghis pemimpin yang peduli rakyat, pandai menilai karakter orang, melindungi mereka yang ia pimpin, membawa mereka pada kesejahteraan, dan tak pernah melupakan janjinya. Tipe pemimpin idaman, bukan?

Dengan kemampuannya memimpin serta strategi perang yang mumpuni—dan ia mempelajari strategi perang itu dari pengalaman hidup sehari-hari yang tak pernah luput dari pengamatan tajam Genghis—akhirnya Genghis Khan mampu mewujudkan cita-citanya, mempersatukan bangsa Mongol dan menjadikannya salah satu imperium yang paling disegani pada masanya.

Satu hal yang (kembali) aku sadari setelah membaca buku ini, bahwa letak geografis dan sumber daya yang dimiliki suatu negara atau masyarakat sangat menentukan pembentukan watak masyarakatnya. Dataran Mongol adalah dataran yang sangat sulit dihuni dengan sumber daya alam yang minim,  membuat masyarakatnya hidup secara nomaden. Mereka hanya dapat bertahan hidup jika memiliki fisik yang tangguh dan determinasi yang kuat, bahkan kuda-kuda asal Mongol yang tubuhnya pendek kekar sangatlah kuat. Mereka konon bisa mendapatkan makanan di hamparan salju dengan cara mengeruk lapisan salju dengan kaki mereka.

Kunci sebagian besar kemenangan pasukan Mongol melawan lawan yang jauh lebih besar dalam jumlah prajurit maupun kekayaan, adalah kecepatan, persatuan, dan pantang menyerah. Meski sedang terpisah, pasukan-pasukan Mongol telah mengembangkan system komunikasi yang amat cepat sehingga mereka dapat berkumpul kembali dalam waktu singkat, bila diperlukan. Dan tentang pantang menyerah, tak perlu dikisahkan lagi. Untuk mengejar salah satu musuh bebuyutan mereka yang tak kunjung menyerah, salah satu anak pasukan Genghis melakukan perang dan pengejaran selama delapan tahun, sejauh ribuan kilometer, dan akhirnya berhasil. Pasukan Mongol tak punya rasa takut terhadap kematian, karena meninggal di medan perang adalah tujuan hidup mereka. Salut pada Imperium Mongol, dan tentu saja… Genghis Khan! Empat bintang untuk buku ini, kurang 1 bintang dari sempurna karena banyak bagian yang benar-benar keji, meski untuk situasi masa itu amat wajar.

Judul: Genghis Khan 2: Badai Di Tengah Padang
Penulis: Sam Djang
Penerjemah: Reni Indardini
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbit: Juni 2011
Tebal: 478 hlm.

Friday, October 7, 2011

The Pillars of The Earth


Dulu ketika masih duduk di bangku sekolah, aku selalu terpesona setiap kali berada di dalam gereja dekat sekolahku. Gereja itu dibangun sejak jaman Belanda, merupakan bangunan kuno yang atapnya tinggi, dinding tebal, interiornya penuh ornamen relief, ada banyak kaca mosaik pada jendela yang tinggi, dan suaramu akan bergaung ketika berbicara di dalam sana. Berada di bangunan setinggi dan sebesar itu membuatku merasa begitu kecil. Ketika mendongak ke atas rasanya aku dapat merasakan kehadiran Tuhan jauh di atas sana…Memang itu adalah khayalan anak-anak, karena nyatanya Tuhan ada di mana-mana. Namun harus kuakui bahwa perasaan sakral dan agung itu lebih mudah muncul ketika aku berada di gereja yang besar dan tinggi daripada di sebuah ruangan kecil.

Mungkin seperti itu juga perasaan umat Katolik pada abad 12 di Inggris yang sangat menyukai katedral. Mungkin mereka juga mengalami perasaan terpukau dan sakral yang sama ketika beribadat di katedral. Tak heran, kota-kota di sana berlomba-lomba membangun katedral agar kotanya dilirik para peziarah, dan dengan demikian membuat kota mereka menjadi lebih makmur. Persis seperti kondisi yang melatar belakangi novel ini…

Tom Builder adalah seorang tukang batu yang memiliki ambisi membangun sebuah katedral. Tom bukan tukang batu biasa, ia memiliki kemampuan mendesain bangunan katedral dari nol, sekaligus meuangkan desain itu ke atas gambar (waktu itu belum ada ilmu arsitektur). Ia juga mampu membuat perkiraan biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk membangun katedralnya. Hanya satu masalahnya, Tom tak kunjung menemukan gereja yang akan menggunakan jasanya untuk membangun katedral, sementara ia dan keluarganya yang miskin tak memiliki uang untuk menyambung hidup.

Philip kehilangan orang tua sejak kecil, dan sejak itulah ia dibesarkan di biara, dan akhirnya menjadi biarawan. Dari mengepalai biara kecil akhirnya karirnya menanjak dan ia menjadi Kepala Biara di Kingsbridge. Semua itu dicapai karena prestasinya, namun keberaniannya untuk selalu menjalankan kebenaran juga turut memberikan andil. Ketika gerejanya terbakar, ia pun menemukan alasan untuk membangun sebuah katedral.

Bisa diduga, di titik itulah kisah Philip bersilang jalan dengan kisah Tom Builder. Tom lantas memboyong keluarganya untuk tinggal di biara Kingsbridge: si sulung Alfred, si kecil Martha, Ellen—istri keduanya serta Jack, putra Ellen. Di sisi lain, ada Aliena dan Richard—putra putri Earl Shiring yang earldom-nya direbut paksa oleh keluarga Hamleigh karena Aliena menolak lamaran William Hamleigh. Prior Philip lah yang juga menyediakan perlindungan dan mengentaskan mereka dari lembah kemelaratan.

Sementara itu Philip sendiri tengah berjuang untuk dapat membangun katedralnya. Sayangnya proses pembangunan katedral --yang pada dasarnya dibangun demi tujuan yang baik—tak dapat berjalan dengan lancar. Banyak masalah yang dihadapi Prior Philip, mulai dari masalah keuangan, rebutan lahan dengan bangsawan, hingga kebencian dan keserakahan uskup yang ingin membangun istana bagi dirinya sendiri. Larangan mengambil kayu, kekurangan pekerja, pembakaran kota hingga penyerangan, berkali-kali harus dialami Kingsbridge. Bahkan masalah ini pun sampai ke telinga raja yang turut campur tangan. Ternyata untuk mendirikan rumah Tuhan, kita tidak hanya berurusan dengan Tuhan, tapi yang jauh lebih ruwet justru berurusan dengan manusia.

Dalam setiap masalah, Philip selalu menemukan pemecahan yang terbaik bagi semua pihak. Ada saat ia menang, dan lawannya pun harus mengakui kecerdikannya, sehingga pembangunan katedral dapat berjalan lancar. Namun ada pula saat Philip kalah, maka pembangunan katedral tersendat, dan musuh pun tertawa senang.

Maka boleh dibilang, pembangunan katedral sama dengan perjalanan hidup manusia. Meski seumur hidup kita berjuang selalu berbuat baik, dan tak henti berdoa, ada saat tertentu kita menang dan mendapatkan apa yang kita inginkan, namun ada juga saat kita harus menahan derita sakitnya dikalahkan dengan kejam. Semua tokoh di kisah ini pun mengalami hal yang sama, dan Ken Follett telah menjalin kisah mereka semua dengan sangat menawan. Anda akan dibuat emosional dengan menangis, tertawa, marah, bersedih, gembira dan tegang, berganti-ganti dari awal hingga akhir. Sekaligus anda akan mendapatkan wawasan tentang arsitektur katedral era Romanesque atau Gothik, sejarah abad pertengahan, serta indahnya kasih yang bersumber pada Sang Pencipta.



Tentang Katedral

Pada abad ke 12, waktu yang dibutuhkan untuk membangun sebuah katedral rata-rata adalah tiga puluh tahun. Kisah ini bertaburan dengan banyak istilah dan penjelasan mengenai struktur bangunan katedral dan pembuatannya. Agar memudahkan untuk memiliki gambaran yang lebih hidup selama membaca buku ini, aku telah menelusuri istilah-istilah arsitektur jaman abad pertengahan, khususnya untuk katedral Gothic/Romanesque. Jadi seperti inilah layout sebuah katedral (dilihat dari atas) yang berbentuk salib:



1. Chancel = bagian utama, tempat misa dilangsungkan, tempat altar, tabernakel, tempat duduk imam dan mimbar berada. Singkatnya, bagian utama katedral.

Bagian Chancel di Katedral Salisbury, meja yang berwarna hijau adalah altarnya


2. Nave = tempat diletakkan bangku-bangku umat, menghadap ke arah chancel.

Bagian nave Katedral Salisbury -- mengarah ke Chancel

3. Transept = sayap kiri dan kanan dari bentuk salib.
4. Cloister = lapangan rumput atau lapangan terbuka berbentuk segi empat di samping katedral yang memisahkan kehidupan katedral/biara dari tempat tinggal para pekerja biara yang non biarawan. Tempat tinggal para pekerja ini berada di luar atau di sekeliling cloister.
5. Narthex = semacam foyer, bagian terdepan katedral di antara pintu masuk dan nave.



Pemandangan salah satu sudut cloister (diambil dari Katedral Salisbury)


Sementara itu, struktur bangunan katedral bila dilihat secara vertikal kira-kira seperti ini:



Arcade = bagian terbawah dari katedral.
Galeri = bagian yang memisahkan arcade dan bagian teratas katedral (clerestory).
Clerestory = bagian paling atas katedral yang biasanya diisi jendela untuk memasukkan cahaya matahari. Kacanya biasa dihiasi kaca mosaik warna-warni yang menampilkan gambar-gambar dari kisah alkitab.

Selain itu ada istilah “bay”, yaitu bagian-bagian dari tembok katedral di masing-masing sisi nave, biasanya berada di antara dua pilar, di mana biasanya terpasang 1 jendela. Sebuah nave terdiri dari lebih dari 1 bay, misalnya 7 bay.

Katedral Kingsbridge adalah bangunan fiksional, namun Ken Follett menggunakan Katedral Salisbury sebagai dasar arsitektur yang ditulisnya di buku ini. Gambar-gambar diatas juga diambil dari Katedral Salisbury, yang tampak luarnya seperti ini:


Katedral Salisbury, Inggris


Tentang Philip

Philip adalah tokoh yang paling kukagumi di kisah ini. Philip adalah biarawan sejati yang bersahaja, setia pada hidup selibat, baik hati dan pemaaf, namun memiliki kecerdasan dan kemampuan untuk memimpin. Banyak yang menganggapnya kolot dan keras, misalnya sanggup membuat dua insan yang saling mencintai harus hidup terpisah karena belum dapat menikah secara gereja. Namun sebenarnya ia hanya bertindak tegas karena menjunjung tinggi hukum Gereja dan hukum Allah. Bila dapat, ia mau berkompromi untuk membahagiakan umatnya.

Kalau pun ada kelemahannya, Philip seringkali dihinggapi kesombongan dan ambisi mengenai katedralnya. Namun hampir setiap kali, ia pun akan segera sadar bahwa katedral itu dibangun untuk kepentingan Tuhan dan gereja, bukan demi ambisinya dan bukan pula karena kepandaiannya semata. Tangan Tuhan lah, ia sadar, yang membuat katedral itu dapat atau tidak dapat dibangun dengan sempurna.

Meski Philip dibenci, disakiti, bahkan dikhianati, Philip selalu pemaaf. Adegan yang membuatku terisak haru adalah ketika ia berjumpa biarawan yang telah mengkhianatinya serta menyebabkan kekalahan mutlak bagi Philip. Biarawan itu kini menjadi gelandangan yang mengenaskan. Melihat itu, Philip mengulurkan makanan, minuman, namun di atas itu…pengampunan. Philip mengajak si biarawan untuk kembali ke biaranya untuk bertobat. Dan apa yang dilakukan Philip ketika sang biarawan menerima undangannya? Philip memberikan kudanya bagi si biarawan pengkhianat, sementara ia sendiri berjalan kaki.

Ketika bawahannya keheranan, inilah jawaban Philip: “Yesus bersabda: 'Demikian juga akan ada sukacita di surga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita karena 99 orang benar yang tidak memerlukan pertobatan'". Dan inilah yang Philip pikirkan saat itu: "Aku kalah dalam pengadilan, tapi itu hanyalah masalah batu. Yang kuperoleh sebagai gantinya jelas jauh lebih berharga. Hari ini, aku memenangkan jiwa seorang manusia." ~hlm. 1019. Maka kekalahan duniawi mungkin saja hanyalah sarana bagi kemenangan ilahi, bukankah begitu?

Di mata dunia Philip memang lemah, miskin, tak punya kuasa apapun. Wibawa, kekayaan dan kekuatannya, semua datang dari Tuhan. Inilah hal yang sulit dipahami oleh*dunia, yang terungkap dalam keheranan salah satu musuh bebuyutan Philip: "..Dalam kedua kasus itu, kelemahan dan ketidakberdayaan justru berhasil mengalahkan kekuasaan dan kekejaman. William benar-benar tidak mengerti." ~hlm. 1053.

Oh…betapa bahagianya aku bila bisa mendapatkan seorang gembala seperti Philip!



Pilar-Pilar Bumi


Apa yang ingin disampaikan Ken Follett kepada kita dengan kisah ini? Kupikir, ia ingin menunjukkan kesamaan antara bangunan katedral dan bangunan besar yang kita sebut sebagai negara atau (pada jaman itu) kerajaan. Katedral Kingsbridge yang akhirnya akan berdiri megah dengan menara menjulang tinggi, mampu bertahan dari serangan angin karena ditopang oleh pilar-pilar ramping dari bawah. Begitu juga dengan negara. Bukanlah kekuasaan mutlak dan kekejaman yang membuat sebuah wilayah menjadi makmur dan semakin besar. Sebaliknya, kepemimpinan yang adil seperti yang dikehendaki Tuhan lah yang bisa menjadikan rakyatnya hidup dalam damai. Jadi sebenarnya...siapa atau apakah pilar-pilar bumi itu? Dengan membaca buku ini mungkin anda akan bisa menjawabnya...

Lima dari lima bintang kuanugerahkan kepada The Pillars of The Earth, Ken Follett dan penerjemahan yang baik dari penerbit Gramedia. Begitu rinci Follett mengupas karakter dari masing-masing tokoh, begitu kompleks ia menjalin konflik antara mereka, dan begitu menguras emosi setiap kejadian yang ia tuturkan. Dan akhirnya, pada tahun 1174, di antara cinta, dendam, intrik politik, keserakahan dan kekuasaan, berdirilah sebuah katedral nan megah...

Judul: The Pillars of The Earth (Pilar)
Penulis: Ken Follett
Penerjemah: Monica Dwi Chresnayani & Diniarty Pandia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Februari 2006;/div>
Tebal: 1131 hlm


Catatan:
Setelah membaca buku ini dan selama melakukan riset kecil-kecilan untuk penulisan review ini, aku jadi ingin mengunjungi sebuah katedral. Sepertinya, setelah ini aku takkan pernah dapat memasuki katedral tanpa berpikir dalam hati: “Arcade-nya tinggi juga” atau “Tempat duduk di transept ternyata sudah penuh”. Atau kalau orang yang pergi bersamaku mengajakku duduk di bangku deretan agak belakang, aku akan mengatakan: “Mending duduk sedekat mungkin dengan chancel aja”. Yah….buku memang kadang menyentuh dan mengubah bagian kecil dari hidupmu, dan kupikir buku ini pun juga begitu bagiku, bagaimana denganmu?

Monday, October 3, 2011

Baudolino

“Dalam suatu sejarah, kebenaran kecil-kecil bisa diubah sedemikian rupa sehingga muncul kebenaran yang lebih besar.”

Masih ingat Forrest Gump? Baudolino akan mengingatkan anda pada Forrest Gump. Bukan pada keluguan Gump, melainkan pada model cerita yang dipakai Winston Groom untuk menyisipkan tokoh Forrest Gump, yang notabene adalah tokoh fiksi, ke dalam berbagai peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi. Umberto Eco dengan brilian juga merangkai kisah Baudolino dengan cara yang sama. Bedanya, Eco menyisipkan tokoh fiktif Baudolino ke dalam sejarah abad pertengahan, khususnya di sekitar abad ke 12.

Baudolino adalah putra Gagliaudo yang tinggal di Frascheta, Italia. Dari kecil ia mampu berbicara bahasa asing hanya dengan mendengar beberapa kata dalam suatu bahasa. Namun bakat Baudolino yang paling “hebat” adalah berbohong. Kedua kemampuannya itu berguna saat ia bertemu dengan seorang Jerman bernama Frederick dalam sebuah penyerbuan Jerman ke Terdona. Belakangan terungkap bahwa Frederick ini adalah Frederick “Barbarossa”, sang Raja Jerman pada tahun 1152 yang kelak diangkat menjadi Kaisar Roma oleh Paus pada 1155. Karena kecerdasannya (separuhnya adalah hasil bualan tentu saja!), maka Frederick lalu mengangkat Baudolino menjadi anaknya.

Selanjutnya Baudolino meninggalkan ayahnya dan mengikuti Kaisar Frederick I ini kemana pun ia pergi, sementara Frederick mengajarinya baca-tulis. Saat itu Frederick baru saja mengalahkan Terdona, dan sedang kembali ke Jerman. Itulah awal kisah Baudolino yang lalu ia ceritakan kepada seseorang bernama Niketas.

Dalam sejarah, Niketas Choniates adalah seorang sejarawan Yunani yang pernah menjadi kanselir dari Basileus (Raja) Byzantium. Pertemuan Baudolino dan Niketas terjadi ketika pecah Perang Salib yang ke-4 di Konstantinopel pada tahun 1204 yang meruntuhkan kerajaan Byzantium. Dalam keadaan kritis, Baudolino menyelamatkan Niketas dari pembunuhan oleh para Saracen (istilah yang mengacu pada bangsa Arab). Maka dalam proses menyelamatkan diri dari perang, Baudolino pun menceritakan seluruh kisahnya pada Niketas dari semenjak ia tinggal di istana Frederick I, agar Niketas kelak dapat menulisnya sebagai sejarah.

ilustrasi saat hancurnya Konstantinopel

Lalu kisah petualangan Baudolino pun mengalir mengikuti alur sejarah, di mana Baudolino tampaknya selalu “tak sengaja” hadir dan terseret dalam peristiwa-peristiwa besar yang tercatat dalam sejarah. Menjadi saksi perebutan Terdona oleh Frederick dan terlibat dalam Perang Salib 2, hanyalah dua di antara banyak petualangan serunya. Lebih unik lagi, Baudolino seolah turut mengubah jalannya sejarah, bukan dengan tindakan heroisme melainkan justru dengan kebohongannya.

Ketika ia dititipkan pada Kardinal Otto von Preising untuk belajar, Baudolino terlibat dalam penyusunan sebuah dokumen kuno. Saat itu Otto sedang melanjutkan menulis chronica sive historia de duabus civitatibus, dokumen yang mengisahkan sejarah dua kota: Yerusalem dan Babel. Malangnya chronica itu tiba-tiba menghilang sehingga Otto harus menulis ulang. Frederich lalu menyuruh Otto memasukkan pujian terhadap Frederich ke chronic yang baru itu, agar Frederich dikenang sepanjang masa, yang akhirnya dikenal sebagai Gesta Friderici Imperatoris (Kebaikan-Kebaikan Kaisar Frederick).

Tanpa diduga, ternyata Baudolino lah biang keladi chronica yang hilang itu. Ia ingin sekali belajar menulis namun tak memiliki perkamen kosong. Maka ia mengambil sembarang perkamen (yang ternyata adalah chronica itu!), mengerik tulisannya sehingga ia punya perkamen kosong untuk ia tulisi. Bayangkan! Perkamen itu kelak dihilangkan Baudolino, karena itulah kini ia harus menceritakan kisahnya pada Niketas berdasarkan ingatannya belaka. Ingatan seorang pembohong yang penuh kebohongan dan tak dapat dipercaya.

Sebelum Otto meninggal, ia mengamanatkan Baudolino untuk mencari seorang raja atau imam yang hingga saat itu tak diketahui keberadaannya, dan hanya dikenal sebagai Prester John atau Presbyter John. Dalam kenyataannya, Presbyter John dipercaya sebagai Yohanes dari Patmos, penulis Kitab Wahyu dalam Alkitab Perjanjian Baru. Sementara ada juga yang mengatakan bahwa Yohanes dari Patmos dan Yohanes sang rasul Yesus adalah satu orang yang sama. Belum diketahui pasti hingga sekarang teori mana yang benar.

Prester John sendiri merupakan legenda yang merujuk pada sebuah kerajaan di daratan Asia (mungkin di India atau Ethiopia), di mana umat Kristiani hidup tanpa cacat sesuai perintah Allah. Ada yang mengatakan Prester John adalah keturunan dari orang Majus (tiga orang asing yang mengikuti bintang Daud sehingga menemukan tempat Yesus lahir di Betlehem). Legenda yang simpang siur ini menjadi sasaran empuk Umberto Eco untuk menempatkan Baudolino.

Sesuai amanat Otto, Baudolino harus menemukan Presbyter John untuk dipertemukan dengan Frederick agar Perang Salib tidak berkelanjutan. Namun karena Baudolino pun tak mampu menemukan Presbyter John, maka sesuai karakternya ia pun mulai "menciptakan" si Presbyter John ini. Ia mulai dengan "merancang" istana yang sesuai untuk Presbyter John, lalu mengarang surat dari Presbyter John untuk Frederick. Bahkan ia “menciptakan” Grasal (Holy Grail) yaitu cawan yang konon dipakai Yesus saat Perjamuan terakhir, yang menjadi legenda namun “dihidupkan” oleh Baudolino. Konyol juga mengikuti petualangan Baudolino ini, dan dengan membaca buku ini anda akan dibuat benar-benar kehilangan arah antara kenyataan dan bualan.

Lewat kisah konyol Baudolino, sebenarnya kita juga diajak untuk belajar sejarah. Lihat saja ketika Baudolino mengisahkan tentang Frederick I pada Niketas, secara tak langsung kita akan mengetahui bagaimana Frederick I yang orang Jerman bisa dinobatkan menjadi Kaisar Roma oleh Paus. Bagaimana proses kelahiran kota Alessandria dan kanonisasi (proses menjadikan seseorang santo) Charlemagne. Selain itu kita juga diajak melihat bagaimana keserakahan dan kesombongan para penguasa abad itu, baik negara maupun gereja. Bagaimana Frederick berusaha menjadi yang paling berkuasa, hingga menghalalkan segala cara. Dari peperangan, pembunuhan, hingga kebohongan.

Pada akhirnya kurasa Umberto Eco ingin mengingatkan kita bahwa di dunia ini segalanya berlaku terbalik. Kebohongan dan hal-hal fana menjadi sesuatu yang dipercayai manusia. Sementara kebenaran yang sesungguhnya justru dianggap absurd. Hal yang sama terjadi pada Baudolino, dalam petualangannya, tiap kali ia menciptakan kebohongan, kebohongan itu akan membawa kesuksesan. Sebaliknya tiap kali mengatakan kebenaran (yang jumlahnya dapat dihitung jari), ia mengalami kesialan, seperti yang ia katakan di hlm 745 buku ini: “Kau lihat sendiri. Pertama kali dalam hidupku aku mengatakan yang benar dan hanya kebenaran, mereka melempariku dengan batu.”

Dan inilah jawaban Niketas kepadanya: “Itu juga terjadi dengan para rasul.” Dan memang itulah tantangan bagi kita yang ingin melakukan kebenaran, kita takkan pernah diterima oleh dunia karena dunia memang lebih suka pada kebohongan.

Baudolino adalah sebuah kisah yang lengkap. Anda akan menemukan sejarah, kekonyolan, mitos dan legenda, sekaligus misteri dalam sebuah buku setebal 750 hlm ini. Sayang penerjemahannya kurang bagus, tapi mungkin itu disebabkan kalimat dan paragraf-paragraf yang terlalu panjang. Di bagian akhir cerita jadi agak membosankan dan tak masuk akal, namun Umberto Eco berhasil menutup kisah ini dengan sesuatu yang bermakna. Tetap saja, dengan semua kekurangan itu, tiga bintang kuberikan untuk Baudolino!

Judul: Baudolino
Penulis: Umberto Eco
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbit: Juni 2006
Tebal: 750 hlm

Tuesday, June 28, 2011

Genghis Khan 1: Sang Penakluk


Aku sedikit mengenal tokoh pemersatu rakyat Mongol bernama Genghis Khan ini sejak kecil. Hanya saja, selama ini aku merasa ada dualisme dalam penilaian akan karakter Genghis Khan ini. Di satu sisi ia dianggap pahlawan, sementara di sisi lain ia adalah orang barbar. Mana yang benar? Mengapa satu orang yang sama bisa memiliki dua sisi sejarah? Mungkin ini alasannya…


It is hard to pass fair judgment on historical facts of which we have no eye witness (sulit juga membuat penilaian yang adil terhadap fakta sejarah yang tidak kita saksikan dengan mata kepala sendiri) ~Prakata


Beruntunglah kita, karena bulan April 2011 lalu Penerbit Bentang Pustaka telah menerbitkan versi terjemahan Buku Genghis Khan: Sang Penakluk ini untuk kita. Buku ini mengungkapkan sejarah seorang pria Mongolia bernama Temujin, yang kelak akan menjadi seorang penakluk terbesar yang pernah hidup di dunia: Genghis Khan. Luas wilayah yang pernah ia taklukkan sekitar 35.000.000 kilometer persegi -- 2,2 kali lebih besar daripada wilayah taklukan Alexander Agung, dan 6,7 kali lebih luas daripada wilayah yang berhasil dikuasai Napoleon Bonaparte. Kekaisaran Romawi bahkan hanya seperempatnya saja. Namun yang menurutku membuat Genghis Khan layak disebut hebat, bukan hanya luasnya wilayah taklukan, melainkan lebih pada kecerdikannya, kebijaksanaannya dalam memerintah, serta semangat, kesabaran, ketekunan dan keberanian dalam karakternya. Hanya lewat buku inilah kita akan melihat karakter Genghis Khan sebagai manusia. Dan hanya setelah membaca buku ini, anda akan memahami mengapa Genghis Khan disebut sebagai pahlawan.

Kisah diawali dengan memperlihatkan ordu (perkampungan/desa) Yesugei yang merupakan markas suku Mongol Kyat, sebagai salah satu yang terkuat pada sekitar abad ke duabelas. Saat itu adalah masa-masa para nomad yang mendiami Dataran Mongolia terpecah belah menjadi ratusan klan dan suku yang berbeda-beda sehingga sering terlibat dalam konflik berkepanjangan. Saat itu, yang kuat akan menghancurkan yang lemah. Sehingga yang lemah hanya punya dua pilihan: hancur atau bergabung pada kelompok yang lebih kuat. Semua orang, semua klan, semua suku tidak memiliki teman atau musuh yang tetap. Kawan hari ini bisa menjadi musuh esok hari bilamana berbeda pandangan, karena kalau kau tak menghancurkan pihak lain duluan, pihak lainlah yang akan menghancurkanmu. Karena situasi seperti inilah orang Mongolia terpecah belah, dan kalau hal itu berangsur-angsur terjadi, suku Mongolia akan punah selamanya.

Yesugei adalah salah seorang yang memiliki impian untuk menyatukan seluruh Mongolia. Yesugei memiliki beberapa putra dan putri. Salah satu putra yang dibanggakannya adalah Temujin, yang lahir dari istri kedua, seorang wanita bernama Ouluun. Dari semenjak kecil, Temujin telah menunjukkan kualitasnya sebagai calon pemimpin besar. Ia tak hanya terampil menunggang kuda dan memanah, namun kecerdasan dan karakter kuatnya sudah mulai memancar. Sepertiga dari awal buku ini dengan sangat detail menggambarkan kehidupan Temujin kecil. Bagaimana ia belajar segala sesuatu (saat itu tak ada sekolah) dari berbagai sumber. Ajaran ayahnya, dongeng dari ibunya, pengalaman di alam bebas bersama Mamay (paman dari pihak ibunya). Singkatnya, setiap hal yang dilihat, didengar dan dialaminya selalu dicerna dengan kritis, mengapa A terjadi? Mengapa B melakukan C? Temujin bukan hanya merenungkan misteri-misteri itu, namun ia selalu menemukan jawabannya untuk dimasukkan ke dalam memorinya. Pendek kata, tak ada hal yang luput dari perhatiannya.

Ketika usianya baru 9 tahun, Temujin sudah akan ditunangkan dengan seorang anak perempuan berusia 10 tahun dari suku Olqunuud, bernama Borte. Saat Yesugei pulang dari mengantarkan Temujin ke ordu calon mertuanya, ia diracun oleh orang Tartar yang menjadi musuh kaum Mongol Kyat. Seharusnya, Temujin adalah pewaris Yesugei, dan berhak menjadi pemimpin suku mereka. Namun, karena rakyat merasa mereka menjadi lemah setelah kematian Yesugei, banyak pendukung Yesugei yang meninggalkan ordu. Bahkan kerabat Temujin. Salah satu yang masih setia pada Temujin adalah Yamuka. Yamuka telah menjadi sahabat Temujin sejak kecil, mereka tumbuh bersama-sama. Mereka berdua bahkan telah menjadi anda. Anda adalah dua orang yang bersumpah setia menjadi saudara.
Dari antara kaum nomad yang bergabung dengan Yesugei saat masih hidup, adalah kaum Taichut. Kaum Taichut merupakan nokhod (orang bebas yang bisa pergi kapan saja mereka mau). Begitu Yesugei meninggal, kaum Taichut mengambil alih ordu Yesugei yang seharusnya menjadi milik Temujin. Temujin terpaksa melarikan diri bersama ibu dan sedikit orang yang masih setia kepadanya. Dari sebuah ordu yang memiliki lima belas ribu kepala keluarga dan merupakan salah satu yang terkuat, tiba-tiba keluarga Temujin jatuh ke jurang kemiskinan yang amat dalam. Ini karena di stepa berlaku hukum, bila suatu klan memenangkan peperangan, ia berhak atas pampasan perang dari pihak yang dikalahkan, berupa ternak, harta benda, termasuk orang (kecuali tentu saja bagi yang melarikan diri). Saking miskinnya, keluarga Temujin bahkan tak bisa makan daging domba dan sapi yang menjadi makanan pokok orang Mongolia. Kekalahan dari kaum Taichut itu bukanlah akhir dari peperangan mereka. Karena beberapa tahun kemudian, tatkala Temujin sudah berusia empat belas tahun, kaum Taichut kembali memburu ordu Temujin. Perjalanan terjal pun kembali harus dilalui Temujin. Dalam keadaan terdesak, ia mampu menyelamatkan keluarganya meski ia sendiri akhirnya tertangkap kaum Taichut. Namun berkat kebaikan salah seorang mantan pengikut Yesugei, ia pun dapat melarikan diri.

Setelah kembali kepada calon mertuanya dahulu, dan kali ini benar-benar mempersunting Borte, Temujin pun mulai berupaya mempersatukan kaum Mongolia, sebuah cita-cita yang diamanatkan oleh mendiang ayahnya. Sebuah usaha yang nampak sia-sia! Berjuang membangun ordu besar dari titik nol merupakan usaha luar biasa. Tapi untuk mempersatukan dataran Mongolia? Mustahil. Mungkin bagi sebagian besar orang, namun tidak bagi Temujin. Saat itu mungkin ia tak punya dukungan dan harta berlimpah, namun ia memiliki modal kuat yang tak dimiliki orang lain: Visi. Kalau pun anda-nya, Yamuka memiliki visi yang sama, namun ia hanya berhenti pada cita-cita itu saja. Sebaliknya, Temujin telah memikirkan langkah demi langkah yang harus dilakukannya untuk meraih cita-cita itu. Visi semata tidaklah cukup, orang harus memiliki visi yang jelas, dan tahu apa yang perlu dilakukannya, bagaimana cara terbaik untuk melakukannya, dan tentu saja yang terpenting: keberanian dan kesabaran untuk mewujudkannya. Itu semua dimiliki Temujin, dan dalam usia muda itu, ia segera melakukannya. Sedikit demi sedikit kehormatan dapat ia raih. Banyak orang yang dulu melarikan diri, kini kembali bergabung dengannya. Bahkan Toghrul Khan, pemimpin klan terbesar saat itu pun mengangkat Temujin menjadi anak angkatnya. Apakah dengan semua itu berarti ia telah sukses? Belum, perjalanan masih jauh. Temujin harus berkali-kali mengalami jatuh bangun, diserang, dan dikhianati. Kadang memenangi pertempuran, kadang juga dikalahkan. Bahkan Borte, istrinya, harus mengalami penculikan dan pemerkosaan ketika ordu mereka kalah. Semuanya itu hanya makin membuat semangat Temujin menggelora. Sayangnya kita belum dapat mengikuti kisah Temjujin dalam kiprahnya sehingga menjadi sang penakluk paling besar dan mashyur di dunia: Genghis Khan. Kisah ini harus berlanjut di buku kedua, sedang buku pertama ini memperlihatkan perjuangan dan jatuh bangun yang dialami Temujin dari sejak kecil.

Meski demikian, setelah membaca buku pertama inipun, aku jadi dapat melihat sosok Genghis Khan yang sebenarnya. Kalau orang menilainya kejam, sadis, bahkan barbar, menurutku itu karena kondisi pada saat itu yang mengharuskannya membunuh lawan-lawannya. Kita harus ingat, bahwa sebagian besar kaum nomad memang masih barbar saat itu. Untuk mempersatukan mereka, memang harus dengan jalan kekerasan. Kalau tidak, selamanya mereka takkan pernah bersatu, dan malah akan punah karena selalu terlibat konflik dengan sesama orang Mongolia sendiri. Toh meski harus membunuh lawan, ia melakukannya ketika perang atau bila orang tersebut akan membahayakan ordunya. Pada mantan musuh yang ia pandang akan setia, ia akan mengangkatnya menjadi anggota pasukannya.



Yang aku kagumi juga dari Temujin adalah perlakuannya terhadap para pengikutnya. Temujin menuntut kesetiaan mereka kepadanya, dan sebagai imbal baliknya ia memberikan keadilan dan perlakuan yang setara bagi semua orang. Bahkan ia sendiri mengenakan pakaian yang sama dan makan makanan yang sama seperti yang dimakan bahkan oleh penggembala lembu (yang termasuk warga paling rendah). Hal ini membuat pengikutnya memandang Temujin sebagai pemimpin yang adil dan mau berbela rasa, dan merupakan hal yang tak lazim, mengingat pemimpin lainnya pada saat itu hidup dalam kemewahan.

Akhirnya, dari buku pertama ini aku bisa memahami sudut pandang Temujin dalam keputusannya untuk menggunakan kekerasan dalam mempersatukan Mongolia. Seperti yang dikatakan oleh Sam Djang di awal tulisanku ini, memang sulit membuat penilaian yang adil terhadap fakta sejarah, jika tidak kita saksikan dengan mata kepala sendiri. Karena kita tak mungkin dapat kembali ke masa lampau, kita harus mengandalkan buku ini untuk membawa kita ke masa itu, ke salah satu masa sejarah paling keemasan di muka bumi ini. Salut pada Bentang yang telah menerjemahkannya dengan baik!

Judul: Genghis Khan 1: Sang Penakluk
Judul asli: Genghis Khan: World Conqueror, volume 1
Penulis: Sam Djang
Penerbit: Bentang Pustaka
Penerbit versi asli: New Horison Books, North Hills, 2010
Penerjemah: Reni Indardini
Terbit: April 2011
Tebal: 503 hlm