Showing posts with label 01st Century. Show all posts
Showing posts with label 01st Century. Show all posts

Tuesday, April 9, 2013

The Flames of Rome


Historical fiction yang ditulis oleh seorang sejarawan memang memberikan sensasi yang berbeda dibanding dengan karya penulis biasa. Karya-karya Paul L. Maier contohnya; aku telah mengagumi karya beliau lewat Pontius Pilatus yang nyaris sempurna dalam keakuratannya (karena menggunakan dua sumber, yakni kitab suci dan sejarah). Dan dari sanalah aku langsung tertarik membaca historical fiction bertema Romawi dan Kristiani ini: The Flames of Rome.

The Flames of Rome mengambil kisah sejarah mulai pemerintahan Claudius Caesar, seorang kaisar Romawi yang terkenal gagap (‘Clau-Clau-Claudius’, demikian ia sering dipanggil dalam olokan), dan selalu saja salah memilih istri yang di kemudian hari berambisi merebut tahtanya. Istrinya yang terakhir adalah Agrippina, yang berambisi menaikkan putranya Nero menjadi kaisar. Singkat kata Agrippina berhasil, dan Nero pun naik menjadi Kaisar pada tahun 54 di usia yang baru tujuhbelas.

Meski darah ibunya yang serakah dan tak bermoral mengaliri nadinya, Nero tak serta merta sesadis sang ibu, berkat didikan Seneca—seorang filsuf penganut aliran stoic yang menjadi tutor sang Kaisar—bersama Burrus—Kepala Prefek Roma. Di saat-saat awal pemerintahannya, Roma berharap banyak bahwa akhirnya mereka akan menikmati masa-masa sejahtera. Sayangnya, jerih payah Seneca untuk menjadikan Nero kaisar yang beradab dan berwawasan dimentahkan oleh pengaruh negatif kawan-kawan seumuran sang kaisar yang mengajaknya berbuat kriminal sehingga meresahkan rakyat. Ditambah dengan karakter Nero sendiri yang picik dan sangat ketakutan tahtanya akan direbut, maka akhirnya hasutan sahabat-sahabatnya makin membuat tingkah Nero brutal dan tak bermoral. Sekali lagi….Roma dibayang-bayangi keruntuhan moral yang membuat bangsa yang pernah dikatakan sebagai pusat dunia itu kini ditertawakan orang, Roma yang membangga-banggakan peradabannya, kini dipenuhi kebiadaban dan kemaksiatan.

Namun, pada saat-saat seperti itu, masih ada bangsawan Roma murni yang masih mempertahankan integritas dan hati nuraninya, seperti Aulus Plautius dan Titus Flavius Sabinus. Meski kisah ini ditulis dari sudut pandang orang ketiga, namun jelas bahwa Maier ingin meletakkan Sabinus sebagai pusat cerita. Pulang dari penaklukan Inggris bersama Claudius Caesar, Sabinus adalah anak buah Aulus Plautius. Pada hari penyambutan para pahlawan ini, mata Sabinus tertumbuk pada seorang gadis manis yang ternyata adalah Plautia, putri Plautius.

Kisah cinta Sabinus dan Plautia ini cukup memberi warna segar pada kisah sejarah yang menjijikkan dan penuh kekejaman ini. Rupanya, meski seorang sejarawan yang biasa menorehkan karya-karya serius, Maier cukup renyah membahas karakter Sabinus yang hangat, humoris, cakap menjalankan tugas sebagai negarawan, berani menentang kejahatan, teguh berpegang pada nilai-nilai kebenaran dan mau menggunakan hati nuraninya. Aku kagum pada Sabinus yang—ketika dipaksa oleh Ratu Agrippina berselingkuh—berani dengan tegas menolak ajakan sang Ratu, meski ia tahu konsekuensi berat menantinya saat sang Ratu akan membalas dendam atas penolakannya. Dan saat bencana itu datang, Sabinus dengan terus terang mengakui apa yang telah terjadi, yang menjadi sumber kemarahan sang Ratu. Benar-benar sosok yang berharga bagi Roma. Dan Sabinus pun akhirnya mendapatkan kepercayaan dari Nero, sebagai Prefek Kota, jabatan tertinggi di kota Roma sendiri.

Namun, meski Sabinus bersama Seneca selalu berusaha meredam sisi liar sang Kaisar, pengaruh buruk dari sahabat dan istrinya begitu kental pada Nero sehingga ia makin lama makin tak terkendali, terutama setelah ia membunuh semua orang yang berpotensi merebut kekuasaannya. Pada masa-masa itulah ‘sekte’ baru yang disebut Kristiani—atau pengikut nabi yang mati di salib di Yudea yang disebut Kristus—perlahan-lahan merembes memasuki kerajaan Romawi, bahkan di kota Roma sendiri, dan di istana Kaisar serta keluarga para Senator Roma. Maier mengajak kita mengenal Paulus, Petrus, Lukas dan Markus, juga warisan yang mereka tinggalkan bagi kita hingga saat ini.

Menarik juga membaca bagaimana—menurut analisa Maier yang masuk akal—Paulus menyebarkan Kekristenan terutama di Roma. Di sini dikisahkan juga pengadilan Paulus di depan Nero, di mana sang Kaisar terpukau oleh sikap dan tatapan mata Paulus—atau bisa jadi itu adalah karya Roh Kudus!—akhirnya membebaskan sang Rasul. Namun karena jemaat Kristiani pertama memang harus menanggung derita yang sangat hebat demi penyebarannya yang kelak mendunia, maka seperti yang telah tertoreh pada lembar sejarah, umat Kristen menjadi kambing hitam kepengecutan Nero.

Saat itu Roma dilanda kekeringan hebat, dan ketika salah satu rumah di kawasan kumuh nan sesak terbakar, dengan cepat angin Rococo menghembuskan bara api ke segala penjuru, dan akhirnya terjadilah kebakaran hebat yang bahkan membakar kawasan istana Nero. Ketika rakyat yang kelaparan mengharapkan kemurahan hati Kaisar, Nero malah merencanakan pendirian istananya yang super megah. Ini membuat rakyat marah, dan untuk meredam amarah mereka, orang-orang terdekat Nero menghembuskan ide untuk mencari ‘kambing hitam’. Ditambah dengan kecurigaan Roma dan kebencian kaum Yahudi selama itu, terjadilah pembantaian mengerikan terhadap jemaat Kristiani itu.

Maier dengan berani menyajikan kekejian itu tanpa ditutup-tutupi, karena betapapun buruknya, itu adalah kenyataan yang benar-benar terjadi. Dan kekejian itu nyatanya memang harus terjadi, karena sejak saat itulah justru kekristenan tumbuh makin pesat ke seluruh dunia, dan Roma-pun menjadi pusatnya. Sayangnya Maier tidak memberikan semacam catatan tentang keterkaitan antara Titus Fabinus Clemens (putra Sabinus) dengan Paus Clement. Ada yang mengatakan Paus Clement I adalah budak-yang-sudah-dibebaskan dari Clemens, namun tak ada catatan yang pasti. Kemungkinan, Clemens—putra Sabinus—akhirnya menjadi Kristen, hal yang tak mengherankan, sebab neneknya (ibu Plautia) sudah menjadi pengikut Kristus berkat ajaran Paulus. Dari buku ini aku pun menyadari bahwa Sabinus sebenarnya sangat “Kristen” meski ia tak memeluk agama itu, mengingat prinsip hidupnya yang tak segan berkorban bagi rakyat. 

Empat bintang untuk kisah ini, karena meski aku sangat menikmatinya, namun begitu banyaknya typo menyebabkan kenikmatan membaca sungguh ternoda…

Tuesday, October 30, 2012

I, Claudius


Tiberius Claudius Drusus Nero Germanicus memerintah Kerajaan Romawi pada tahun 41, menggantikan kemenakannya Caligula yang dibunuh oleh anak buahnya sendiri. Robert Graves menulis novel historical fiction tentangnya ini dalam bentuk memoir, seolah-olah Claudius sendiri—demikian ia dipanggil—mengisahkan segala yang ia lihat dan alami sepanjang hidupnya; setidaknya bagaimana ia, yang sejak lahir disepelekan orang, mampu mencapai tahta tertinggi Romawi, yang kala itu merupakan monarki terbesar di dunia.

Claudius adalah sosok yang berkarakter menarik, itu aku sadari hanya dengan membaca beberapa halaman pertama buku ini—kalau Robert Graves benar-benar dapat menangkap karakternya dengan tepat. Claudius dilahirkan sebagai anak yang sakit-sakitan. Ada yang tak beres dengan lututnya, meski kedua tangannya terbilang kuat. Ia juga sering gagap saat berbicara, terutama ketika gugup atau emosi. Pamannya, Kaisar Tiberius menjulukinya sebagai ‘Clau Clau Claudius’. Karena kekurangannya ini—kelak ditengarai Claudius menderita semacam polio—ia dijauhi oleh semua orang, termasuk ibunya yang menganggap Claudius idiot, dan neneknya Livia yang bahkan tak pernah mau makan semeja dengan Claudius yang dianggap menjijikkan.

Dari segi keturunan, Claudius adalah cucu dari Augustus dan Livia dari garis ayahnya Drusus (Drusus adalah putra Kaisar Tiberius—putra Livia dari suami pertama namun diadopsi oleh Augustus); juga cucu dari Marc Antony dan Octavia dari garis ibunya Antonia. Karena sejak awal telah dijauhkan dari politik oleh Augustus, Claudius menekuni sejarah dari para sejarawan yang tersohor saat itu. Kelak saat Claudius remaja, Augustus pernah tercengang ketika mendengarkan sang cucu berorasi dengan sangat baik (ia mendengarkan diam-diam dari balik tirai, karena jika Claudius mengetahui kehadiran Augustus, gagapnya akan langsung timbul).

Sepanjang hidupnya sebelum menjadi Kaisar, Claudius telah mengamati—dan merekamnya dalam tulisan-tulisannya—kiprah keluarga besarnya dalam politik yang kotor dan kejam. Kita dapat melihat bagaimana Kaisar Augustus sebenarnya didominasi oleh Livia yang ambisius dan banyak membunuh cabang-cabang keluarga mereka kalau dilihatnya orang tertentu akan menghalangi rencananya, yaitu agar garis keturunannya dapat menjadi Kaisar menggantikan Augustus. Setelah Augustus wafat, Tiberius menggantikannya, dan tetap dibayang-bayangi Livia, menjadikan Roma sebagai tempat jagal manusia, dengan tak terhitung banyaknya senator atau anggota keluarga diseret ke pengadilan dengan tuduhan palsu untuk dihukum mati.

Ketika Tiberius akhirnya meninggal, semua orang bersorak-sorak gembira menyambut penggantinya, Caligula (kemenakan Claudius). Tak banyak yang mengetahui perangai asli Caligula yang sadis dan angin-anginan. Claudius yang selama pemerintahan Tiberius berhasil ‘tetap hidup’ di tengah ramainya pengadilan palsu, justru makin menderita saat pemerintahan Caligula. Namun hebatnya, dengan berpura-pura bodoh, dan se-lemah yang dikira orang, Claudius berkali-kali berhasil menghindar dari maut. Hingga akhirnya para bawahan Caligula muak, lalu mereka berkonspirasi membunuh Caligula. Dan karena Claudius satu-satunya marga Julio-Claudian laki-laki yang masih hidup dan dalam usia untuk memerintah Roma, maka mereka memaksanya menjadi Kaisar.

Hingga di sinilah kisah ini berakhir; namun meski Graves tak mengisahkan bagaimana Claudius memerintah Roma, dari buku dan artikel yang kubaca, rupanya Claudius berhasil ‘membawa kembali Romawi ke jalan yang benar’, ia mengelola administratif pemerintahan dengan  tertib, dan rakyat pun kembali merasa aman. Claudius juga berhasil melebarkan ‘sayap’ penaklukan Romawi ke daerah lain, dan ekonomi negara pun berangsur-angsur pulih setelah dihambur-hamburkan dengan semena-mena oleh Caligula.

Satu hal yang menarik tiap kali membaca novel-novel sejarah bertema Romawi, kita akan menemukan lebih banyak lagi kisah tentang tokoh-tokoh lainnya, sehingga setelah membaca banyak buku, lama-lama kita akan dapat membentuk ide tentang masing-masing tokoh, lebih lengkap daripada membaca novel tentangnya! :)

Sebagai kisah sejarah, buku ini termasuk ‘berat’, alih-alih berkonsentrasi pada kisah Claudius saja, Graves—menurutku—terlalu lebar mengisahkan tokoh-tokoh lain, misalnya mengikuti dengan detil kronologi perang Germanicus melawan Jerman. Akhirnya aku merasa bahwa Claudius terlalu banyak berada di balik layar, padahal ada banyak hal yang lebih ingin kuketahui tentang diri Claudius, misalnya bagaimana ia memperlakukan para pembunuh Caligula, atau apakah ia menepati sumpahnya pada Livia untuk menjadikannya Goddess, dan yang terutama bagaimana ia memerintah Romawi, apa saja sumbangsihnya bagi Roma, kecuali buku-buku sejarahnya. Sayang….semuanya terhenti di halaman terakhir.

Namun bagaimana pun juga, Graves telah berhasil membuka kisah salah satu Kaisar Romawi yang tak diperhitungkan orang, yang tak gagah perkasa, namun toh dapat membawa kerajaan terbesar di dunia itu ke sebuah era yang lebih makmur dan sejahtera.

Empat bintang untuk I, (Clau-Clau-) Claudius!

Judul: I, Claudius
Penulis: Robert Graves
Penerbit: Vintage Books
Tebal: 433 hlm

Wednesday, October 3, 2012

Pompeii


Pompeii adalah nama sebuah kota yang terletak di kekaisaran Romawi, yang hancur lebur akibat meletusnya Gunung Vesuvius pada tahun 79. Romawi, sebuah peradaban yang begitu maju di dunia saat itu—ditandai dengan sistem saluran air (aqueduct) terbesar dan tercanggih di dunia—ternyata tak siap menghadapi erupsi vulkanik Gunung Vesuvius, karena mereka tak pernah mengenal vulkanologi sebelumnya, sehingga tak menyadari tanda-tanda alam yang biasanya mengawali rangkaian pembentukan magma di perut sebuah gunung berapi. Lewat kisah historal fiction karya Robert Harris ini kita diajak untuk sedikit memperluas wawasan tentang vulkanologi, dan terutama tanda-tanda akan terjadinya letusan gunung berapi.

Salah satu tanda awal aktifnya gunung berapi adalah menurunnya debit air. Dan hal inilah yang terjadi di saat itu, sehingga seorang aquarius (insinyur yang bertanggung jawab di bidang perairan) muda bernama Attilius dikirim dari Roma untuk mencari sumber air baru di daerah Misenum. Attilius baru saja menjabat karena aquarius terdahulu telah menghilang selama dua minggu. Berkat intuisinya, Attilius segera menemukan sumber air, namun keanehan terjadi, air itu sepertinya bersembunyi dan terus menghilang ke dalam tanah. Belum lagi ia sempat memikirkannya, datang seorang gadis cantik bernama Corelia dan budaknya, meminta bantuan Attilius menyelamatkan pengurus ikan yang hendak dihukum mati majikannya karena dianggap menyebabkan ikan-ikan kesayangannya mati, padahal si pengurus ikan bersikeras kualitas air lah yang menjadi penyebabnya.

Dari kolam ikan di Vila Hortensia milik jutawan Ampliatus itulah, Attilius menemukan keanehan kedua: ada kandungan belerang di saluran air vila itu, yang menyebabkan ikan-ikan mati. Lalu keanehan itu disusul keanehan lainnya, debit air di kota Misenum terus menurun, dan di kota-kota tetangga air mulai berhenti mengalir. Maka Attilus harus bertindak cepat mencari titik kerusakan saluran air yang memanjang berkilo-kilometer itu. Untuk mempercepat perjalanan, ia meminjam kapal dan peralatan dari Laksamana Plinius (Pliny) yang—selain laksamana juga seorang pengamat ilmu pengetahuan yang menulis banyak buku tentang gejala-gejala alam.

Dalam misi penting itu—penting karena, bila saluran air yang melewati beberapa kota itu tak kunjung diperbaiki, akan terjadi huru hara—perjalanan Attilius diwarnai dengan berbagai halangan. Mulai dari mandor yang sangat membenci dirinya, sikap mencurigakan si jutawan Ampliatus, juga kenyataan bahwa keselamatan dirinya terancam oleh musuh yang ingin membunuhnya. Namun selama itu, ternyata Gunung Vesuvius semakin aktif bekerja. Dan puncaknya, pada tanggal 24 Agustus 79, Vesuvius memuntahkan isi perutnya.

Robert Harris mampu menggambarkan kedahsyatan erupsi itu dan porak-porandanya peradaban manusia yang hidup di sekitarnya dengan baik. Dari kisah ini kita belajar bahwa bahaya terbesar letusan gunung berapi bukan terletak pada hujan batu yang menyertai letusan pertama, namun justru hantaman awan panas yang dibawa angin, yang suhunya mencapai 200 derajat Celcius, yang hanya dalam sedetik mampu membinasakan apa saja—manusia maupun hewan—yang dilewatinya tanpa ampun. Di sinilah kita akan menyaksikan perjuangan manusia untuk melawan kemarahan alam, khususnya bagi Attilius yang demi cintanya bagi seorang gadis, harus jatuh bangun mengiringi kemarahan Vesuvius.

Seperti novel-novel Harris yang sudah pernah kubaca sebelumnya, terutama Imperium dan Conspirata, novel ini juga membawaku melanglang buana ke tanah Romawi, meski emosinya tak sedahsyat yang kurasakan dengan Imperium dan Conspirata. Bonus yang paling mengasyikkan adalah porsi ilmu pengetahuan tentang alam (terutama tentang vulkanologi) yang banyak tersisip di sini. Apalagi Harris banyak mengguakan metafora-metafora cantik di sana-sini. Dan terutama aku paling suka dengan sosok Attilius, seorang aquarius yang sangat menjiwai pekerjaannya. Tak melulu insinyur, Attilus benar-benar memiliki keterikatan pada alam, dan terutama pada air, sehingga saat mendengar aliran air, ia bisa merasa mendengar sebuah simfoni yang indah. Aku selalu kagum pada orang yang begitu mencintai pekerjaannya, yang mampu melihat hal-hal yang tak mampu dilihat orang lain, keindahan—sesuatu yang tak biasa—pada hal-hal yang biasa bagi orang lain.

Empat bintang untuk Pompeii!

Judul: Pompeii
Penulis: Robert Harris
Penerjemah: Fahmy Yamani
Editor: Siska Yuanita
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Maret 2010
Tebal: 389

Monday, March 12, 2012

Pontius Pilatus

Kalau ada yang bertanya kepadaku, siapa di antara tokoh-tokoh Romawi yang namanya paling dikenang sepanjang masa? Julius Caesar? Jawabku: bukan, Pontius Pilatus! Bagi umat Katolik, nama orang-bukan orang-kudus yang paling banyak disebut-sebut pastinya Pontius Pilatus. Bayangkan, tiap kali kami mengucapkan kredo Aku Percaya, namanya selalu terselip:

“Aku percaya akan Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, dan akan Yesus Kristus PutraNya yang tunggal, (.....), yang menderita sengsara dalam pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, wafat dan dimakamkan…”

Dan kredo itu diucapkan setiap kali Misa di seluruh dunia, juga dalam doa-doa harian umat Katolik. Nama Pontius Pilatus juga tercetak di semua Alkitab di seluruh dunia. Meski peristiwa penyaliban Yesus
merupakan rencana Tuhan, tapi mau tak mau kami harus mengakui bahwa peran Pilatus dalam peristiwa yang mengubah sejarah itu memang sangat besar. Novel fiksi sejarah
Pontius Pilatus yang ditulis oleh seorang sejarawan bernama Paul L. Maier ini menjabarkan secara terperinci sosok Pontius Pilatus yang mendekati kenyataan, karena Maier menulis buku ini dengan pendekatan sejarah dan kitab suci.

Pada masa pemerintahan Kaisar Tiberius, Pontius Pilatus adalah seorang Tribun kohor praetorian pertama (pemimpin pasukan) di bawah Prefek (pemimpin pasukan elite pengawal kaisar) L. Aelius Sejanus. Saat itu Sejanus merupakan prefek yang tengah bersinar bintangnya, dan Pilatus sebagai bawahannya berharap turut menikmati kesuksesan dalam karirnya dengan selalu setia pada Sejanus—yang seperti dirinya juga berasal dari kaum equestrian (kalangan menengah di Roma). Suatu hari datanglah penugasan bagi Pilatus untuk menjadi Prefek atau Gubernur di wilayah jajahan Roma di Yudea. Saat itu Yudea adalah salah satu daerah yang paling sulit ditundukkan oleh Roma, karena disanalah tinggal kaum Yahudi yang sulit diatur dengan fanatisme agamanya yang amat kuat.

Singkat kata, Pilatus akhirnya berangkat juga bersama istri yang baru saja dinikahinya: Procula. Meski sebelumnya ia telah banyak belajar dan berkonsultasi dengan koleganya tentang Yudea dan kaum Yahudi, apa yang kelak akan dihadapinya sungguh-sungguh di luar dugaannya. Namun sebenarnya, bukan hanya masalah orang Yahudi saja yang harus dipikirkan Pilatus. Kita tahu bahwa Palestina saat itu merupakan negara jajahan Roma. Di satu sisi Pilatus harus mengakomodasi kehendak Roma agar Yudea taat dan tunduk pada Roma, namun di sisi lain ia harus dapat berkompromi dengan kaum Yahudi yang sangat kuat memegang tradisi keagamaannya hingga ke titik fanatik.

Beberapa kali Pilatus sempat bergesekan dengan para pejabat Sanhedrin (semacam dewan agama) dan Imam Agung dalam hal-hal sepele namun nyaris menimbulkan pemberontakan rakyat Yahudi. Begitulah posisi seorang gubernur yang ditempatkan di Yudea, selalu terjepit antara politik dan teologis. Sementara Pilatus berkutat dengan pekerjaannya di Yudea, pergolakan politik juga terkadi di Roma sendiri. Sejanus yang setia dan diperkirakan akan menggantikan Tiberius sebagai Kaisar, ternyata tak lebih daripada seorang oportunis kejam yang berambisi menjadi kaisar. Ketika Sejanus dan antek-anteknya dibasmi dari Roma, kedudukan Pilatus pun berada di ujung tanduk. Maka dalam tindakannya, selalu ada ketakutan bahwa ia akan membuat marah Kaisar, lalu ia dan keluarganya akan dipulangkan dan dibunuh.

Dalam kondisi seperti itulah tiba-tiba muncul di Galilea seorang nabi bernama Yesus dari Nazareth. Pilatus yang tidak percaya dewa-dewi Yunani dan skeptis terhadap hal-hal mistis dan keagamaan, awalnya menganggap enteng sang nabi yang tampaknya tak memiliki ambisi politik itu. Namun lama-kelamaan Yesus mulai masuk ke Yudea dan meresahkan orang Yahudi di sana karena dianggap menghujat Allah. Puncaknya terjadi saat menjelang Paskah di mana umat Yahudi berbondong-bondong ziarah ke Yerusalem.

"Inilah tahun yang mengubah arah sejarah manusia dan menjungkir-balikkan banyak lapisan di dalam kebudayaan dunia, sejak dari sistem penanggalan di bumi sampai dengan nilai-nilai filsafat dan agama yang mendalam. Namun tak ada seorang pun yang menduganya pada bulan-bulan pertama tahun 33. Tak ada seorang pun tahu bahwa pada suatu saat bukan Roma yang menentukan peristiwa-peristiwa dunia, dan tak seorang pun menduga bahwa Yerusalemlah yang menentukannya."

Saat pengadilan bersejarah tanggal 3 April 33 itu, Pilatus--yang tak menemukan kesalahan apa pun pada Yesus--sebenarnya telah melakukan segalanya untuk membebaskan Yesus dari hukuman mati yang diajukan oleh Sanhedrin. Seharusnya tahanan dengan tuduhan agamis diadili sendiri oleh Sanhedrin, tapi demi menyenangkan Roma, Pilatus telah mengubah aturan itu dengan mengambil alih setiap keputusan hukuman mati di tangannya. Sanhedrin boleh mengadili, tapi Pilatus yang menjatuhkan hukuman mati. Untuk kasus Yesus, Pilatus memutuskan untuk ikut mengadili.

Terhitung 5 kali Pilatus mencari akal untuk tidak menjatuhkan hukuman mati. Awalnya Ia memindahkan kasusnya ke Herodes Antipas yang menguasai Galilea--yang kemudian mengembalikan kasus itu ke Pilatus lagi. Lalu Pilatus berusaha mengajukan solusi pembebasan tawanan tiap Paskah yang sudah menjadi tradisi. Kali ini ia mengajukan 2 pilihan saja: Bar-Abbas si perampok kejam, atau Yesus yang kesalahannya ringan. Bayangkan betapa terkejutnya Pilatus ketika rakyat memilih Bar-Abbas untuk dibebaskan, dan minta Yesus disalibkan! Mentok lagi. Ia lalu menyuruh Yesus didera sebagai hukuman, agar rakyat bersimpati. Gagal juga. Bahkan Pilatus berkata dengan nada memelas pada rakyat: "Ecce homo!" (lihatlah orang ini...), namun rakyat tak bergeming dan malah mengajukan tuduhan yang lebih berat.

Kembali Pilatus menanyai Yesus sendirian, di mana terlontar pertanyaan Pilatus yang terkenal itu: "Apa itu kebenaran?". Karena Yesus tak membela dirinya, Pilatus pun bingung. Dan akhirnya ancaman dari Sanhedrin untuk mengadukan Pilatus kepada Kaisar meruntuhkan hati nuraninya. Pilatus dipaksa untuk menjatuhkan hukuman mati itu, meski akhirnya ia cuci tangan.

Dengan membaca buku ini, kita akan diajak memahami peristiwa penyaliban Yesus dari sudut pandang Pilatus sebagai pejabat Roma. Kalau selama ini kita merasa bahwa Pilatus pengecut, namun dengan menyadari situasi saat itu, kita mungkin akan melakukan yang sama bila berada di tempatnya. Kita akan berusaha membantu orang yang tak bersalah, tapi kita pasti akan memikirkan keselamatan diri sendiri kalau bukan orang yang kita cintai. Dan ingat, saat itu Yesus hanya dianggap sebagai nabi biasa, bukan putra Allah!

Yang lebih menarik dari buku ini adalah kisah hidup dan karier Pilatus setelah peristiwa penyaliban itu, suatu hal yang tak pernah kita pikirkan. Apakah ia makin sukses dan kembali ke Roma? Apakah ia menyesali perbuatannya? Apakah ia akhirnya beriman Kristen? Hal-hal itulah yang menarik dari buku ini, selain juga kisah perkawinannya dengan Procula yang terjalin mesra selama sepuluh tahun. Cintanya kepada Procula lah yang menegarkan Pilatus ketika dipanggil menghadap Kaisar Tiberius yang mungkin merupakan hukuman mati baginya.

Dan akhirnya...seperti kata Saulus (Paulus)..

"Baik Pilatus maupun Kornelius (bawahan Pilatus) merupakan bagian dari rencana Allah yang Mahatinggi bagi umat manusia. Apa yang terjadi pada hari raya Paskah itu penting bagi seluruh alam. Seluruh sejarah akan berkisar pada peristiwa itu. Suatu ketika nanti Pilatus akan paham."

Yang jelas, aku menjadi lebih paham tentang peran seorang Pontius Pilatus dalam rencana Allah ini.

4 bintang aku berikan untuk buku ini yang dijadikan 2 bagian oleh Penerbit Dioma. Harusnya aku ingin memberikan 5 bintang, namun sayang banyak typo di sana-sini yang lumayan mengganggu. Catatan-catatan kaki dan penulisan sumber sejarah membuatku semakin menghargai kisah yang aku yakin telah ditulis dengan cermat oleh Paul L. Maier.

Judul: Pontius Pilatus
(buku 1: Dari Panglima Sampai Takhta Gubernur;
buku 2: Dari Pengadilan Kontroversial Sampai Kejatuhan)
Penulis: Paul L. Maier
Penerjemah: FX Bambang Kussriyanto
Penerbit: Dioma
Terbit: buku 1: September 2009; buku 2: Oktober 2009
Tebal: buku 1: 320 hlm; buku 2: 298 hlm

Friday, February 17, 2012

The Female (Wanita)

"..Sepanjang sejarah tak ada seorang wanita... pasti juga tak seorang lelaki pun... pernah melaksanakan seperti apa yang telah dilaksanakan Theodora: satu langkah naik yang begitu perkasa." ~hlm 521.

Pepatah mengatakan, kehidupan manusia itu seperti roda, sekarang kita berada di atas, lalu suatu hari kita pun akan berada di bawah. Namun kehidupan Theodora adalah contoh sebuah paradoks yang sempurna. Ia pernah mengalami kehidupan yang terbawah dari yang paling bawah, namun pernah juga ia berada di puncak dari segala kekuasaan. Ya, Theodora adalah wanita paling berpengaruh di kerajaan Romawi. Ia lah Maharani yang memerintah Kekaisaran Romawi (Byzantium) di abad 600, sekaligus istri Kaisar Justinianus I.

Kisah ini bersetting di Konstantinopel, pusat pemerintahan Kerajaan Romawi pada saat pemerintahan Raja Justinus. Theodora adalah putri seorang pelacur jalanan kelas terendah. Saat itu ada dua kelompok rakyat di Konstantinopel yang selalu berseberangan: kelompok Hijau dan Biru, yang masing-masing biasanya membela pihak yang berlawanan saat pertandingan gladiator di Hippodrome. Theodora kecil sudah akrab dengan kehidupan strata masyarakat terendah. Ia berkawan akrab dengan seorang pengemis lumpuh buruk rupa yang selalu duduk di atas keledai, bernama Hagg (keburukan penampilan Hagg mengingatkanku pada sosok Quasimodo di The Hunchback of Notredame). Hagg adalah Raja dari Persaudaraan Pengemis, kelompok yang memiliki sistem organisasi dan jalur komunikasi yang kuat.

Theodora kecil sering mengemis bersama Hagg di pintu gerbang Hippodrome, dan ia sering membantu Hagg melarikan diri ketika ada rombongan prajurit datang hendak mengusir para pengemis. Dari sinilah terjalin hubungan persahabatan abadi antara Theodora dan Hagg hingga maut memisahkan mereka. Saat usia dua belas tahun Theodora telah menjadi "budak" kakak perempuannya yang mulai menjalani profesi tertua di dunia: pelacur. Dan ketika keperawanannya direnggut oleh seorang budak pria, Theodora pun secara resmi memasuki karier sebagai seorang pelacur jalanan, mengikuti ibu dan kakaknya.

Di Konstantinopel ada sebuah jalan yang bernama Jalan Hawa, yang--dapat diduga dari namanya--selalu penuh dengan pelacur jalanan (pedanae) hingga para famosae (wanita penghibur yang pelanggannya adalah bangsawan dan orang-orang penting). Suatu hari saat Theodora terpaksa mencuri demi membiayai abortus untuk kehamilannya, seorang famosae paling terkenal saat itu—Macedonia menolongnya dari hajaran massa. Macedonia akhirnya mengangkat kehidupan Theodora dengan menjadikannya pembantu hingga mengajari Theodora segala keahlian untuk menjadi pelacur profesional. Maka di usia enam belas Theodora pun meretas jalan untuk menjadi delicatae (pelacur kelas menengah) di Jalan Hawa.

Ternyata, Theodora bukan saja cantik, namun ia memiliki kecerdasan, keanggunan dan bakat untuk mempengaruhi pria. Sedikit demi sedikit ia berusaha menapak jalan makin ke atas. Theodora memulainya dengan menjadi semacam pengelola resepsi bagi famosae paling berkuasa saat itu, yaitu Chione, yang menjadi gundik gubernur kota John Capadocia. Resepsi besar itu disiapkan Chione setelah ia berhasil menyingkirkan rival terberatnya: Macedonia—sahabat yang telah mengangkat Theodora dari kubang lumpur hina. Kali ini Theodora, yang memiliki kalung mewah hadiah seorang saudagar, berhasil menolong Macedonia yang ditelantarkan dan dibuang dari Konstantinopel. Di sisi lain, Theodora mulai menyusun strategi untuk balas dendam pada Chione di resepsi besarnya itu...

Nyatanya, resepsi-balas-dendam Theodora berakhir dengan sukses. Chione ia singkirkan dengan amat keji, dan sekaligus Theodora mulai mendapatkan reputasi di kalangan pria tingkat atas. Namun di sisi lain, ia jadi memiliki musuh baru, yakni John Capadocia—yang ditertawakan rekan-rekannya gara-gara kejatuhan Chione-nya. Demi menghindari bahaya yang mengancam, Theodora serta-merta menerima tawaran Hecebolus—guberbur baru untuk Cyrenaica (Syria)—untuk menjadi wanita simpanannya di daratan Afrika. Malang bagi Theodora, selama dua tahun Hecebolus memperlakukannya dengan buruk, bahkan kemudian membuangnya di gurun Sahara, lagi-lagi berkat hasutan John Capadocia.

Pantang menyerah, meski nyaris mati di padang pasir, Theodora berhasil dengan selamat keluar dari maut--lagi-lagi berkat persahabatannya dengan para pengemis yang memiliki kata sandi Mendici. Setelah terpuruk dan tak memiliki apa-apa, kini giliran Macedonia menolong (lagi) Theodora. Dengan beberapa baju, uang dan sebuah surat 'sakti' yang ditulis Macedonia, Theodora menantikan mukjijat sambil bekerja sebagai pengantih (pemintal). Jaman itu, menjadi pengantih adalah jalan yang diambil pelacur untuk keluar dari pelacuran dan menjalani hidup normal.

Lagi-lagi dengan bantuan sahabatnya Hagg, surat sakti Macedonia yang ternyata dialamatkan kepada Pangeran Justinianus—saat itu Pangeran pewaris tahta, kemenakan Kaisar Justinus--mulai menunjukkan "kesaktiannya". Sang Pangeran menjadi tertarik pada seorang pelacur bernama Theodora.... Sebuah langkah pertama Theodora menuju ke kekuasaan.

Mudah ditebak, Theodora berhasil memikat Justinianus sehingga—alih-alih hanya menjadi penghibur sehari semalam--Justinianus malah mengambil Theodora sebagai selir. Dan makin lama makin nampaklah kemampuan strategi Theodora yang beberapa kali berhasil menyelamatkan Romawi, ketika diaplikasikan oleh Justinianus. Sementara itu musuh bebuyutan Theodora—John Capadocia—yang juga mengincar tahta Kaisar, tak tinggal diam. Sebuah pemberontakan diam-diam dibangunnya demi menjungkalkan kesempatan Justinianus naik takhta, sekaligus membalas dendam pada Theodora.

mozaik yang menggambarkan Maharani Theodora

Apakah yang kemudian terjadi? Bagaimana bisa Theodora akhirnya menjadi Maharani, mengingat ia hanyalah seorang wanita, apalagi berasal dari pelacur rendahan? Akankah rakyat menerimanya? Mampukah ia, seorang wanita biasa yang fisiknya rapuh dan mungil memikirkan masalah-masalah besar negara? Dan apakah John Capadocia berhasil melancarkan balas dendam abadinya kepada Theodora?

Sangat mengasyikkan membaca buku ini. Pertama, karena lengkap dan telitinya riset yang dilakukan Paul I. Wellman atas fakta sejarah, digabungkan dengan penuturan cerita yang menawan, membuatku hampir lupa bahwa kisah Theodora ini adalah kisah sejarah. Kedua, terjemahan yang tak kalah menawannya, berhasil menghadirkan nuansa sejarah dengan baik. The Female menyadarkan kita akan hakikat wanita sebagai seorang perempuan—kekuatan dan kelemahannya, dan bagaimana mereka seharusnya menggunakannya sebagai seorang penghuni dunia. Kini memang kita tahu bahwa wanita pun mampu memimpin negara, namun pada jaman Theodora hidup, wanita hanya berkutat pada soal kewanitaan saja. Maka kecerdasan, ketajaman pengamatan dan keberaniannya mengambil keputusan besar, merupakan prestasi gemilang yang patut dikenang.

Lima bintang untuk Wanita (judul terjemahan untuk The Female) ini!

Judul: Wanita
Judul asli: The Female
Penulis: Paul I. Wellman
Penerjemah: Alfons Taryadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Mei 2005
Tebal: 522 hlm

Tuesday, November 22, 2011

The Pilate's Wife

"Ketika Pilatus sedang duduk di kursi pengadilan, isterinya mengirim pesan kepadanya: "Jangan engkau mencampuri perkara orang benar itu, sebab karena Dia aku sangat menderita dalam mimpi tadi malam." (Mat 27:19)

Istri Pontius Pilatus mungkin saja takkan pernah dikenal dunia, kalau bukan karena campur tangannya dalam peristiwa penyaliban Yesus, meski perannya sangat kecil. Sejarah Claudia, nama sang istri Pilatus, juga tak banyak memberi kejelasan. Namanya pun hingga kini masih belum dipastikan, ada yang menyebutnya Claudia Procula, ada pula yang mencantumkan Claudia Procles. Dengan begitu minimnya data sejarah yang ada, memaksa Antoinette May--seorang jurnalis, untuk membuat tulisan mengenai Claudia sebagai karya fiksi bergenre historical fiction. Meski aku juga ragu apakah kadar sejarah dalam buku ini memang ada. Baiklah, kita mulai mengupasnya saja...

Kisah Istri Pilatus dimulai dari masa kecil Claudia di propinsi Galia. Ibu Claudia adalah sepupu Agrippina yang adalah cucu Kaisar Agustus. Agrippina menikah dengan Germanicus, seorang Panglima Tertinggi tentara Rhine, anak hasil adopsi kaisar yang saat itu memerintah, yaitu Tiberius (pada th. 16 Masehi). Ayah Claudia merupakan orang kedua di bawah Germanicus, sehingga keluarga Claudia pun harus hidup berpindah-pindah sesuai penugasan Germanicus. Sejak usia 10 tahun, Claudia telah menyadari bakatnya sebagai seorang peramal lewat media mimpi. Salah satu yang pernah hadir dalam mimpinya, adalah bahaya yang dihadapi Germanicus, paman yang amat disayanginya.

Sosok Germanicus dengan cepat menjadi pahlawan yang dicintai rakyat, dan semua orang pun yakin cepat atau lambat ia akan naik takhta menjadi kaisar berikutnya. Semua kecuali Tiberius, tentu saja. Sementara itu, Germanicus dan keluarga Claudia akhirnya masuk ke Roma. Suatu saat mereka semua pergi menonton pertunjukan gladiator di Circus Maximus bersama Tiberius. Saat itu Claudia berhasil menebak (atau dalam hal Claudia, meramal) pemenang pertandingan, yaitu seorang gladiator muda bekas budak bernama Holtan.

Lalu kisah pun bergulir mengenai sanak keluarga Claudia. Marcella--kakaknya tertangkap basah bercinta dengan Caligula, putra Germanicus, dan akhirnya dihukum oleh Ibu Suri Livia dengan menjadikannya Perawan Vesta. Caligula ini adalah salah seorang kaisar Romawi yang bengis dan setengah gila yang kita ketahui lewat sejarah. Kaisar Nero--yang melakukan pembakaran dan penyiksaan banyak umat Kristen di jaman Rasul Paulus, juga berasal dari keturunan Germanicus.

Bagaimana dengan Claudia? Di usianya yang beranjak dewasa, ia menemukan ketenangan dalam penyembahan dan pemujaan kepada Dewi Isis. Ia bahkan menjalani semacam 'tahbisan' sebagai pengikut Dewi Isis tanpa seijin orang tuanya. Pemujaannya ini agak menyimpang dari kebiasaan, karena dewi yang ia sembah adalah dewi Mesir. Selanjutnya, hingga ia dewasa, Claudia selalu menggantungkan dirinya pada pertolongan Isis, lewat benda bernama sistrum yang ia kenakan di lehernya sebagai semacam kalung jimat. Ada yang menarik saat Claudia pertama kali menginjakkan kaki ke kuil Isis. Di sana ia bertemu seorang pemuda misterius berusia 20 tahun yang matanya seolah mampu menembus jiwa. Pemuda itu memperkenalkan dirinya sebagai Yeshua, atau di Romawi disebut Yesus....

Saat tiba waktunya mencari jodoh, ia terpikat pada seorang pria muda yang karirnya sedang menanjak, bernama Pontius Pilatus. Saat itu Pilatus adalah centurion (perwira) yang baru mendapat kemenangan. Demi mendapatkan cinta Pilatus, Claudia pergi ke kuil Isis dan meminta semacam mantra dari pendetanya. Pilatus muda memang terpikat pada Claudia, namun jelas terlihat dari awal, bahwa itu bukan karena mantra. Ia mencintai Claudia karena keunikannya, karena pandangan-pandangannya yang ia hormati. Singkat kata, menikahlah Claudia dengan Pilatus.

Awalnya, hidup perkawinan mereka tampak indah dan sempurna. Namun tiba-tiba terjadi hal yang tak disangka-sangka. Germanicus tiba-tiba sakit keras, dan tak ada dokter yang bisa mengobati hingga ajalnya tiba. Desas-desus pun beredar bahwa Germanicus dikutuk. Pamor keluarga Claudia pun merosot karena berseberangan dengan sang kaisar. Saat itu Claudia mendapati dirinya hamil, namun sayangnya ia keguguran sehingga tak mampu memberikan putra yang didambakan Pilatus.

Entah karena itu, atau karena ambisinya, Pilatus segera saja memiliki beberapa kekasih, wanita-wanita berpengaruh di Roma. Meski pendeta Isis menenangkan Claudia, bahwa hanya dirinyalah yang dicintai Pilatus, Claudia menjadi tak bahagia. Di saat itulah, sang gladiator tampan dari masa remajanya, kembali memasuki hidupnya. Holtan segera menjadi kekasih gelapnya. Cinta Claudia kepada Pilatus pun segera pupus, bahkan putri yang akhirnya dilahirkan Claudia bagi suaminya, tak sanggup mengubah perasaan Claudia.

Kisah tentang kehidupan Claudia ini memenuhi hampir tiga perempat buku ini, sebelum peristiwa besar itu datang. Semuanya bermula ketika Pilatus ditugaskan Tiberius menjadi gubernur Romawi di Yudea. Di Yudea, Claudia bertemu dengan teman lamanya, seorang pelacur tingkat tinggi bernama Miriam dari Magdala. Kelak ia dikenal sebagai Maria Magdalena, pengikut Yesus yang setia.

Nah, bagian inilah yang membuatku kurang suka dengan karya Antoinette May ini. Miriam dikisahkan jatuh cinta, lalu menikah dengan Yesus di Cana. Aku sadar, bahwa karya ini adalah karya fiksi. Sama seperti karya-karya Dan Brown. Namun menurutku, May telah mengambil resiko terlalu besar. Dengan mengambil tema Istri Pilatus, tentu pembaca mengharapkan karya fiksi ini berhubungan dengan kisah Alkitab. Menurutku, jauh lebih baik bila May tetap mempertahankan kisah asli dari Alkitab, sambil menambahkan detail fiktif ke dalam karakter Claudia. Apalagi fakta yang ia ubah di sini sangatlah sensitif, yaitu mengenai Yesus. Entahlah, tapi bagiku pribadi, bagian ini sangat mengganggu keseluruhan kisah. Seorang penulis harusnya peka dalam menciptakan fiksi sejarah. Ada hal-h`l vital yang sebaiknya dibiarkan saja, dan menambahkan detail-detail yang kurang saja. Dengan cara yang ia ambil ini, May menjadi tak ubahnya (maaf) Dan Brown, yang mengumbar sensasi belaka ketimbang menyuguhkan historical fiction yang bermutu.

Kembali pada kisah Claudia, hasratnya pada Holtan makin menggebu hingga akhirnya ia pun selingkuh. Satu hal lagi yang rasanya aneh. Sejak awal Claudia lah yang 'ngebet' mendapatkan cinta Pilatus, sampai rela 'mengemis' mantra pada Isis. Pilatus akhirnya memhlih Claudia dan mencintainya sepenuh hati, namun tiba-tiba saja hati Claudia tertutup bagi Pilatus gara-gara godaan seorang gladiator. Terus terang saja, aku tak suka pada karakter Claudia yang plin plan sekaligus egois ini. Sepanjang kisah, terlihat bahwa Claudia sangat impulsif. Ia sering menempuh bahaya, hanya untuk memenuhi keinginannya. Bayangkan, seorang istri gubernur menerima Miriam yang pelacur di rumahnya, hanya karena Miriam sahabatnya. Atau ia nekad bertemu dengan selingkuhannya, Holtan, saat ia seharusnya mendampingi Pilatus dalam situasi kritis. Sungguh, Claudia itu wanita egois dan bodoh!

Memasuki seperempat terakhir buku ini, kisah memang meruncing, dan banyak bagian dari Alkitab dikisahkan di sini. Di antaranya pesta Herodes, di mana Salome--dipengaruhi Herodias ibunya, menari dan akhirnya meminta kepala Yohanes Pembaptis kepada Herodes yang tergiur pada kecantikan Salome. Masuknya Yesus menunggang keledai ke Yerusalem, dielu-elukan banyak orang yang membawa daun palem, juga diabadikan di sini. Dan akhirnya, penangkapan Yesus hingga dihadapkan pada pengadilan Pilatus. Claudia, yang sebelumnya sering mengalami mimpi mengerikan tentang pria bermahkota duri, segera menyadari nasib Yesus. Termasuk, bagaimana nasib Yesus itu juga akan mempengaruhi takdir Pilatus. Dalam mimpinya, ia melihat bahwa nama Pilatus akan terus bergema menjadi salah satu penyebab Yesus disalibkan. Karena itulah, ketika situasi makin genting, ketika rakyat berteriak-teriak minta Yesus disalibkan, Claudia pun mengirim pesan bersejarah itu kepada Pilatus.

Lukisan yang menggambarkan Yesus diadili oleh Pilatus

Tentu saja, akhirnya telah kita ketahui bersama. Tak mungkin seorang Antoinette May sanggup mengubah bagian 'yang ini'. Ada lagi bagian kecil yang membuatku muak juga, masih berkaitan dengan tokoh Miriam, setelah Yesus disalibkan. Mungkin sebaiknya tak kuungkap di sini, agar akhir kisah ini tetap terjaga, termasuk bagaimana keputusan Claudia untuk memberikan cintanya. Akankah ia berpaling pada Holtan, atau tetap bersama Pilatus?

Untuk semua alasan yang kuungkapkan di atas, tiga bintang kuberikan pada Istri Pilatus ini. Di luar kisahnya sendiri, penerbit Gramedia telah menyuguhkan sebuah kisah sejarah ber-setting Romawi dengan terjemahan yang bersih, dan desain cover yang menawan.

Judul: Istri Pilatus (Pilate's Wife)
Penulis: Antoinette May
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno
Desain cover: Marcel A.W.
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Juli 2011
Tebal: 544 hlm