“Orang tolol sembrono mana pun bisa menjadi pahlawan jika tidak menghargai nyawanya sendiri, atau tidak cukup pintar untuk menyadari adanya bahaya. Tetapi, dengan memahami resiko, bahkan berjengit pada mulanya, tetapi kemudian menghimpun keberanian untuk menghadapinya—menurutku, itulah bentuk keberanian yang paling terpuji.”
Kurasa ungkapan di atas memang tepat untuk menggambarkan sosok seorang Marcus Tullius Cicero, senator, orator, konsul dan Bapak Negara Republik Romawi pada abad pertama sebelum Masehi. Perjuangan Cicero merangkak dari bawah hingga menduduki tempat tertinggi di pemerintahan negara, telah dengan apik dituturkan oleh Robert Harris di buku pertama dari sebuah trilogi, yaitu: Imperium. Dan kini, lewat bagian keduanya—Conspirata, anda akan dibawa melihat sendiri, mengapa aku merasa Cicero layak disebut pemberani, kalau bukan pahlawan, pada jamannya. Conspirata ini masih dituturkan dari sudut pandang Tiro, budak dan sekretaris Cicero.
Bagi anda yang telah membaca Imperium pasti telah mengerti, bahwa cita-cita Cicero adalah menjadi konsul, meraih kedudukan tertinggi di pemerintahan Republik Romawi (bagi yang belum membaca Imperium, wajib membaca dulu, sebelum membaca buku ini!). Namun ternyata, belum lagi upacara penobatannya sebagai konsul dilangsungkan, Cicero telah dihadapkan pada sebuah kejutan. Teka-teki mayat seorang anak lelaki, korban sebuah upacara ritual, muncul hanya dua hari sebelum ia resmi menjadi konsul. Dan jangan lupa, sebagaimana dikisahkan di Imperium, bahwa Julius Caesar, Crassus dan kroni-kroni mereka sedang memperjuangkan undang-undang untuk membagi-bagi tanah negara kepada rakyat miskin. Satu lagi PR besar bagi Cicero untuk menyelamatkan Republik.
Begitu memasuki periode sebagai konsul, Cicero langsung dihadapkan pada masalah-masalah serius. Tampaknya Caesar, musuh utamanya yang licik dan ambisius, langsung tancap gas. Di satu sisi ada fraksi patricius: Catulus, Hortensius dkk yang dihadapkan pada penuntutan seorang senator tua, di sisi lain ada kaum populis yang (dalihnya) membela kepentingan rakyat: Caesar, Crassus dan Pompeius, dengan undang-undang tanahnya. Ke mana Cicero harus memberikan dukungannya? Belum lagi kenyataan pahit yang harus dihadapinya, bahwa dirinya menjadi target pembunuhan oleh lawan-lawannya, yang disutradarai oleh…siapa lagi kalau bukan lawannya yang paling haus balas dendam: Catilina?
Satu persatu masalah dihadapi Cicero dengan berani. Seperti biasanya, menggunakan kepiawaian retorika, strategi yang jitu, serta kemampuan diplomasinya. Namun sebenarnya yang paling menarik dari karakter Cicero adalah keteguhannya untuk selalu taat pada idealisme yang diyakininya. Banyak negarawan atau politikus yang hanya di awal saja berkoar-koar tentang berjuang bersama rakyat dan demi bangsa. Namun setelah menjabat, mereka malah sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka tetap berjuang, namun berjuang untuk tetap menjabat, berjuang untuk tetap mendapat kehormatan, berjuang untuk menumpuk harta. Pendeknya, berjuang demi keuntungan diri sendiri.
Tidak begitu halnya dengan Cicero. Boleh dibilang, perjuangan yang ia lakukan adalah demi Republiknya yang ia cintai dengan sepenuh hati. Dua provinsi, yang semestinya menjadi ladang untuk menimbun kekayaan setelah selesai menjabat konsul, ia hibahkan pada konsul lain demi kompromi politik. Itu artinya, Cicero tak akan mendapat apa-apa setelah turun jabatan. Dan bukan itu saja, karena ia tidak “ikut arus”, ia menjadi lawan empuk musuh-musuhnya karena berjuang sendirian.
Paling tidak dua kali Caesar menawarkan koalisi pada Cicero, salah satunya adalah saat berusaha mengesahkan undang-undang tanah yang digagasnya. Untungnya, Cicero mampu melihat skema besar yang ada di benak Caesar dengan undang-undang itu, yaitu kejatuhan republik. Seperti yang kita ketahui dalam sejarah, Julius Caesar memang memiliki ambisi sangat besar untuk menguasai Romawi, dan memimpinnya dengan kediktatoran. Untunglah bagi Romawi saat itu, karena mereka memiliki negarawan yang berhati nurani ‘bersih’ seperti Cicero. Tak mau terlena dengan tawaran perlindungan penuh dari Caesar, Cicero maju menghadapi bahaya nyawanya sendiri, demi keselamatan republik, yang hendak dicabik-cabik lawan.
Sangat menegangkan ketika cerita bergulir pada usaha pembunuhan terhadap Cicero di rumahnya. Bagaimana seisi rumah menyewa para pengawal, bagaimana mereka memalang pintu rumah, dan mengganjalnya dengan perabot, bagaimana mereka menyiapkan karung juga air untuk mengantisipasi serangan pembakaran. Dan setelah akhirnya lolos dari lubang jarum, bukannya ketakutan dan memilih berkompromi dengan lawan, Cicero justru bangkit dan membuka borok konspirasi jahat untuk meruntuhkan Republik, ke hadapan senat dan rakyat. Dengan cara apalagi kalau bukan dengan orasi. Konspirasi digagalkan, dan tak ada jalan lain untuk menghancurkannya, selain dengan menghukum mati para pencetusnya. Cicero pun dielu-elukan rakyat, dan diangkat sebagai Bapak Bangsa karena dengan berani telah menyelamatkan Romawi. Setidaknya pada saat itu.
Karena ternyata, musuh-musuhnya [baca: Cicero dan republik] belumlah jera. Rasanya baru saja Cicero menghembuskan napas lega untuk menikmati kejayaannya, pada tarikan napas berikutnya, ia harus kembali berhadapan lagi dengan maneuver berbahaya Caesar. Khusus kepada Caesar, Cicero memiliki kesan antara jijik dan kagum. Komentarnya tentang Caesar: “Orang itu penjudi paling luar biasa yang pernah kutemui. Setiap kali kalah, dia hanya menggandakan taruhannya dan melempar dadu lagi.”
Namun, seperti yang sering terjadi pada kemurnian dan kebenaran, pesona kekuasaan begitu menggoda dan menarik banyak orang, sehingga akhirnya harus menghancurkan kemurnian. Hal yang sama terjadi pada Cicero. Teman-temannya, satu persatu menjauhinya, termasuk Pompeius Agung. Mereka yang dulu menjanjikan dukungan, kini bersatu dengan musuh dan seolah memalingkan muka dari si keras kepala yang bersikukuh mempertahankan republiknya.
Saat-saat itu adalah momen yang paling mengharukan di buku ini (tak pernah kusangka, aku akan menangis saat membaca kisah politik!). Sekaligus momen yang mencerminkan seperti apa Cicero yang sesungguhnya. Konon, kemurnian karakter manusia baru teruji saat dihadapkan pada tekanan berat. Tak ada ancaman yang dapat melemahkan Cicero, tak ada godaan yang dapat meluluhkannya. Tak ada kekecewaan yang sanggup menghancurkannya. Cicero hanya ingin memberikan yang terbaik bagi negaranya. Seperti yang dikatakannya dalam salah satu orasinya:
“Jangankan memimpin republik, menyelamatkannya pun sungguh pekerjaan tanpa penghargaan.”
Mungkin aku terkesan terlalu tinggi memuji Cicero. Toh sebagai negarawan, ia banyak melakukan kesalahan. Banyak pro dan kontra pada keputusan-keputusannya. Aku sendiri buta politik ataupun kenegaraan, namun dari penuturan Robert Harris yang cantik ini, aku bisa merasakan kegigihan seorang pahlawan dalam diri Cicero. Mungkin cara yang ia pakai salah, mungkin cita-citanya tak semurni yang seharusnya (hei..siapa sih yang mau bekerja keras kalau tak ada keuntungan sedikit pun baginya? Siapa sih yang tak ingin mendapat sesuatu dari jerih payahnya?), namun kalau saja ada sepuluh orang dengan hati bersih dan keberanian seperti Cicero di antara seratus yang ada di senat, pasti suatu negara akan lebih kuat. Mungkinkah itu? Ahh…sepertinya sosok seperti Cicero hanya ada satu setiap generasi (atau bahkan tak ada lagi?).
Dan jangan lupa, bahwa di luar pribadi Cicero atau prestasinya, kata-katanya terus menggema ke seluruh dunia, hingga dua ribu tahun setelahnya. Tak kurang dari dua orang mantan Presiden Amerika Serikat yang pernah terinspirasi atau tergugah oleh sumbangan pemikiran Cicero, yakni John Adams dan Thomas Jefferson. Inilah kata-kata John Adams tentang Cicero: “All ages of the world have not produced a greater statesman and philosopher combined.” Tak heran, bila ada pepatah yang mengatakan bahwa sebatang pena lebih dahsyat daripada sebilah pedang (the pen is mightier than sword). Sementara lawan-lawannya punya pasukan militer dan uang berlimpah, senjata Cicero satu-satunya adalah kata-katanya!
Di review ini aku sengaja tak membeberkan banyak tentang ceritanya, karena begitu serunya alur cerita, sampai aku bingung harus menuliskan bagian yang mana. Yang jelas, hanya satu kata yang tepat untuk menggambarkan Conspirata ini: Mengagumkan! Jadi, tak berlebihan kan kalau aku memberikan 5 bintang untuk buku ini? Sekali lagi… Bravo Cicero!
Judul: Conspirata
Penulis: Robert Harris
Penerjemah: Femmy Syahrani
Editor: Siska Yuanita
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Oktober 2011
Tebal: 504 hlm
No comments:
Post a Comment
Bagaimana pendapatmu?