Showing posts with label Yudhi Herwibowo. Show all posts
Showing posts with label Yudhi Herwibowo. Show all posts

Thursday, February 27, 2014

Untung Surapati

nuli bakal lair
sawijining manungsa kang linuwih, kapilih
kang miwiti uripe nyarira batur najis
nanging ing titiwancine piyambake
bakal madeg raja tinresnan
kang bakal kalebu  ati marang kawulane
nganti salawase

[dan kelak akan lahir | satu manusia yang dipilih | yang mengawali kehidupannya sebagai budak hina | namun, kemudian menjadi raja | yang dikenang sepanjang waktu]


Itulah rangkuman singkat perjalanan seorang Untung Surapati, pahlawan Nasional Indonesia, yang namanya sudah sangat familiar bagiku, namun yang masih aku ingat hingga sebelum membaca buku ini, hanyalah bahwa beliau orang Bali. :)

Suatu hari di tahun 1664, karena sebuah pemberontakan, seorang Raja Bali bernama I Gusti Ngurah Jelantik terpaksa melarikan diri demi menyelamatkan diri dan keluarganya. Sayangnya, di malam berkabut itu, putranya yang masih berusia 4 tahun hilang tanpa jejak. Sang putra inilah yang diyakini kelak sebagai Untung Surapati. Namun perjalanan panjang penuh perjuangan harus dilalui si bocah sebelum akhirnya menjadi seorang Raja. Perjalanan itulah yang dikisahkan kembali oleh Yudhi Herwibowo dalam fiksi sejarah ini, termasuk perjuangannya yang gagah berani melawan penjajah yang notabene jauh lebih kuat darinya.

Singkatnya, si bocah malang ditemukan orang dan dijual sebagai budak. Di usia sangat muda si bocah yang—karena tubuhnya sangat kurus—lantas dipanggil si Kurus, harus mengalami siksaan berat layaknya para budak yang diperlakukan tak manusiawi. Nasib baik membawanya ke Mijnheer Moor, seorang pedagang VOC di Batavia, yang membesarkan si Kurus untuk menemani putrinya yang bernama Suzanne. Karena kehadirannya banyak mendatangkan keberuntungan bagi sang mijnheer, si Kurus pun berganti nama panggilan menjadi si Untung.

Untung tumbuh dewasa dengan berguru ilmu bela diri dari seorang pendekar, sementara hatinya tertambat pada Suzanne, yang tak menolak cintanya. Mijnheer Moor tentu saja murka karena si mantan budak pribumi berani merayu putrinya, maka Untung pun melarikan diri bersama sekelompok begal (perampok) yang disekap bersamanya di penjara rumah Mijnheer Moor. Bersama-sama mereka melarikan diri dan bersembunyi di hutan. Di sini, tersulut nasib buruk, merekahlah kebencian di hati mereka terhadap VOC dan penjajahannya terhadap bumi nusantara. Maka kelompok yang jumlahnya sedikit itu berikrar untuk menjadi gerilyawan melawan VOC dengan si Untung menjadi pemimpin mereka. Lambat laun kelompok yang awalnya adalah kawanan begal namun akhirnya menjadi pendekar tangguh ini ternyata menjadi duri dalam daging bagi VOC.

Untung sempat (terpaksa) bergabung dengan VOC, dan di situlah ia mendapat pangkat Letnan. Namun jiwa pribuminya akhirnya membuatnya kembali melarikan diri dan menjadi buronan nomor satu VOC. Ia akhirnya menjadi seorang Tumenggung di Kartasura, dan mendapatkan nama keduanya: Surapati. Dari seorang budak hingga akhirnya menjadi Raja, Untung Surapati tetap memegang teguh prinsipnya untuk memerangi VOC hingga titik darah penghabisan, yang ia tumpahkan di benteng Bangil, Pasuruan, kala ia dikepung oleh gabungan pasukan VOC, Kartasura, Madura dan Surabaya. Uniknya, bahkan setelah kematiannya, Untung Surapati tetap tak mau menyerah. Ia berwasiat untuk merahasiakan kematiannya pada VOC, sehingga pengikutnya menggotong-gotong tandu yang seolah-olah ditumpangi Untung Surapati yang sedang terluka kesana kemari, padahal jasadnya sudah lama dikuburkan di tanah yang diratakan.

Salah satu keuntungan belajar sejarah dari novel fiksi-sejarah adalah karena kita diajak mengenal secara pribadi si pahlawan, alih-alih menghafalkan nama-waktu-tempat-peristiwa saja. Seperti pada Untung Surapati, kita merasa bahwa Untung adalah manusia biasa yang pernah merasakan jatuh cinta, sering merasakan gundah dan tak berdaya saat melihat musuh yang jauh lebih digdaya, bahkan pada banyak pertempuran awalnya, ia banyak dibantu oleh gurunya. Sedang pada buku pelajaran sejarah, Untung Surapati hanya akan menjadi seorang pahlawan, yang di benak kita seolah manusia super yang hidupnya hanya untuk menjadi pejuang semata.

Bravo untuk Yudhi yang mau mengisi ranah fiksi sejarah Indonesia yang masih sepi ini. Hanya saja, muatan fakta sejarah yang disisipkan terasa terlalu berat. Kupikir, cukuplah kita belajar sejarah secara detail hanya lewat kisah si tokoh saja, sehingga kita tidak merasa digurui, atau seolah dipaksa (lagi) membaca buku pelajaran sejarah. Itulah kelemahan novel ini, sementara yang sangat aku sukai adalah kesan dan nubuat yang mendahului banyak bab di buku ini.

Kesan membantu kita merasakan suasana yang mendahului suatu peristiwa, seolah-olah kita melihatnya dari mata orang lain, alih-alih disetir oleh narasi pengarang. Kalau dalam film, fenomena ini seperti saat kamera menyorot sehelai daun yang tertiup angin dan terbang melayang sampai jauh, hingga akhirnya jatuh ke tubuh sang tokoh utama, alih-alih langsung mengarahkannya pada sang tokoh begitu saja. Sedangkan nubuat adalah unsur yang paling aku suka, karena mengingatkanku pada kisah-kisah Romawi kuno, yang adalah favoritku :), atau kisah-kisah kepahlawanan Yunani. Nubuat atau ramalan itu membuat sebuah kisah menjadi terkesan epik, apalagi karena hal itu memang menjadi keyakinan pada jaman itu.

Momen favoritku adalah di Jembatan China, saat pohon yang tak pernah berdaun itu tiba-tiba menjatuhkan sehelai daunnya di pundak Untung Surapati ….kehidupan selalu saja bermula! Penggambaran yang sempurna untuk memperlihatkan kebangkitan seorang Untung. Ya, pahlawan bukanlah manusia yang hatinya terbuat dari besi, ia pernah merasa sakit hati, namun bedanya, ia tak lama meratapi nasib, dan dengan semangat baru bangkit dari keterpurukan, sambil terus berusaha mengobati luka hatinya, karena ada hal lebih besar yang harus ia lakukan demi negaranya.

Empat bintang untuk Untung Suropati, dan Yudhi Herwibowo….

~~~~~~~~~~

I read Metamind paperback edition

This book is counted as:

February theme of Baca Bareng #BBI: Historical Fiction Indonesia