Friday, July 29, 2011

The Day Of The Jackal

Kalau anda berkesempatan terbang ke Paris, Prancis, anda akan mendarat di bandara tersibuk no. 7 di dunia: Charles de Gaulle (menurut statistik tahun 2010), yang oleh orang Prancis disebut juga Roissy Airport. Aku pernah berkunjung ke Prancis (walau tidak lewat udara), dan saat itu aku tahu bahwa nama bandara yang terletak di utara kota Paris ini diambil dari nama presiden Prancis: Charles de Gaulle. Namun, baru setelah membaca buku The Day of The Jackal karya Frederick Forsyth inilah (ditambah beberapa riset di internet) aku mengetahui pula bahwa Presiden Charles de Gaule adalah pemimpin negara yang paling banyak mengalami percobaan pembunuhan, ada yang mencantumkan angka 31, ada pula yang bilang 32 kali. Dan salah satunya adalah yang dilakukan Jean Bastien-Thiry pada 22 Agustus 1962 di daerah pinggiran Prancis: Petit Clamart. Aksi Thiry ini kemudian muncul dalam kisah fiksi The Day of The Jackal ini. Forsyth kemudian menambahkan satu lagi percobaan pembunuhan terhadap Gaulle (fiktif tentunya), yang dilakukan oleh seorang pembunuh bayaran berkebangsaan Inggris dengan nama sandi: The Jackal.

Mengapa de Gaulle dibenci?

Charles de Gaulle merupakan pendiri Republik Prancis ke-5. Ia dapat berkuasa karena didukung oleh militer Prancis yang saat itu masih menduduki Aljazair. Namun, de Gaulle tiba-tiba mengubah kebijakannya, dan akhirnya memberikan kemerdekaan kepada Aljazair. Kaum militer kecewa dan marah atas keputusan itu, lalu mencoba membunuh de Gaulle dalam kudeta militer (Etoile Militaire), yang akhirnya gagal total bahkan sebelum rencana terbentuk, karena de Gaulle mampu mengembalikan simpati pasukan untuk mendukungnya. Setelah itu para jebolan militer ini membentuk gerakan bawah tanah yang disebut OAS, dengan misi membunuh de Gaulle. Salah satu aksinya adalah peristiwa Petit Clamart, ketika OAS dipimpin oleh Argoud. Setelah aksi itu ternyata gagal dan Argoud dibunuh, naiklah Rodin, wakilnya, menjadi pemimpin OAS. Dari Rodin lah timbul gagasan cemerlang untuk menyewa seorang pembunuh bayaran independen untuk membunuh de Gaulle, mengingat keamanan makin ditingkatkan oleh pemerintah setelah Petit Clamart, sehingga anggota OAS sendiri sulit untuk bergerak tanpa ketahuan. Setelah melakukan penyelidikan, didapatlah profil seorang pembunuh bayaran yang pas untuk misi ini: seorang Inggris bertubuh tinggi-atletis dan berambut pirang.

The Jackal

The Jackal (di dalam buku diterjemahkan menjadi Sang Jakal, yang menurutku tak perlu) adalah salah satu pembunuh bayaran terbaik di dunia. Tubuhnya tinggi, rambutnya pirang, pembawaannya ramah kalau memang diperlukan dalam penyamaran, namun dingin dan misterius saat menjadi dirinya sendiri. Jackal menjadi pembunuh yang “bersih” (tak meninggalkan jejak yang dapat dilacak) karena cara kerjanya yang teliti, metodis dengan perencanaan yang sangat cermat. Bagian pertama dari buku ini akan menjabarkan perencanaan ini secara detail, mulai dari riset mengenai karakter calon target, pengamatan terhadap lokasi pembunuhan, pembuatan senjata, hingga pemalsuan identitas dan penyamaran. Dalam pembuatan paspor misalnya, Jackal tak melulu memalsukan paspor saja, namun mencari sendiri “korban” yang akan ia curi identitasnya. Jackal suka bekerja sendiri, menentukan cara dan waktunya sendiri sehingga bahkan orang yang merekrutnya pun tak akan tahu ia sedang ada di mana atau menyamar menjadi siapa. Singkatnya, hanya Jackal sendirilah yang memegang rahasia tentang rencananya.

Namun, serapat-rapatnya rahasia itu ditutupi, tetap saja ada celah yang bisa disusupi. Berkat kejelian Kolonel Rolland, mereka yang berada di sekitar Presiden de Gaulle mengendus rencana pembunuhan itu, lalu diperintahkanlah Detektif Lebel untuk menemukan si Jackal ini. Tentu saja ini sebuah tugas sulit, bahkan nyaris mustahil bagi Lebel. Bagaimana tidak, ia harus menemukan seorang asing yang tak bernama, dan petunjuknya hanyalah nama sandinya: Jackal. Dalam upayanya ini, Lebel yang harus menghadapi tekanan besar dari para pejabat negara, ditambah dengan kekeras kepala-an sang Presiden sendiri yang tak mau pencarian itu dilakukan terang-terangan karena takut Prancis dinilai pengecut. Kedua hal itu membuat Lebel harus putar otak. Namun kerja kerasnya, yang juga melibatkan berbagai pihak di berbagai negara, terbayar ketika sedikit demi sedikit selubung misteri yang mengelilingi Jackal mulai menguak. Di sisi lain, rahasia misi pencarian itu juga bocor hingga Jackal pun mengetahui bahwa dirinya sedang dicari. Makin seru lah kisah perburuan sang pembunuh bayaran ini yang memenuhi bagian ke dua buku ini. Dan sementara itu, rencana untuk membunuh Presiden masih tetap berjalan….

Dua kubu yang memiliki hasrat menggebu untuk mencapai tujuannya. Yang satu ingin menemukan dan menggagalkan pembunuhan. Yang lainnya ingin menghindar dan melaksanakan pembunuhan. Yang satu memiliki sumber daya tak terbatas yang melibatkan anggota kepolisian atau dinas rahasia negara-negara lain. Bahkan pada hari H di mana Presiden akan muncul di depan publik di alun-alun Place du 18 juin, ratusan ribu personel tumpah ruah di Paris, bisa jadi saat itu pasukan keamanannya lebih banyak dari pada penduduk sendiri! Bagaimana dengan pihak satunya? Ia tetap saja mengandalkan dirinya sendiri, bekerja dengan tenang, sesuai rencana yang telah dengan apik disusun, tak mempedulikan ratusan ribu orang yang sedang memburunya. Perburuan ini begitu menegangkan hingga aku tak mampu meletakkan buku ini pada halaman-halaman terakhir. Dan beberapa menit setelah aku menutup halaman terakhir pun, debaran jantungku masih tetap menggelora....

Place du 18 juin 1940--alun-alun tempat Presiden akan ditembak Jackal


Senapan ramping nan mematikan ala The Jackal

Salah satu hal yang kusukai dari kisah ini adalah ketelitian dan detail yang ditulis Forsyth, yang tidak mengherankan juga mengingat Forsyth pernah menjalani wajib militer sebagai pilot, dan menjadi koresponden dalam perang di Nigeria saat berkarir di bidang jurnalistik. Pengalaman itu mungkin yang menjadi modal kelebihannya dalam detail teknik yang mengagumkan saat menjabarkan tentang senjata ataupun pemalsuan identitas. Bahkan penjabaran tentang cara pemalsuan paspor di buku ini pernah dipraktekkan oleh pembacanya, dan akhirnya sukses! Tapi yang lebih "njelimet" lagi adalah penuturan tentang senapan yang didesain oleh The Jackal khusus untuk misi membunuh de Gaulle. Ia mendatangi seorang pembuat senjata profesional bernama Tuan Goosens, dan menguraikan konsep desain yang ia ciptakan sendiri. Tentu saja senapan itu belum pernah ada di dunia, dan butuh pembunuh bayaran dan pembuat senjata yang sama-sama profesional untuk mampu mewujudkannya.

Senapan itu harus ramping dan dapat dibongkar-pasang dalam waktu singkat. Ketika sudah dibongkar, senapan itu harus diletakkan di dalam tabung baja tipis dengan diameter sekecil mungkin, supaya tidak mencolok untuk dibawa oleh The Jackal. Tabung itu berbentuk khusus yang saat itu digambarkan oleh Jackal di atas kertas bagi Tuan Goosens, namun hanya di bab terakhirlah anda akan mengetahui seperti apa bentuk sebenarnya tabung itu. 7 halaman dihabiskan Forsyth untuk menjelaskan tentang mekanisme senapan ini, yang mungkin bagi sebagian pembaca membosankan, tapi bagiku justru mengasyikkan. Sesuatu yang belum pernah ada, tapi sepertinya masuk akal untuk dibuat. Bagi para teknisi mekanik, tentu bagian ini paling keren! Wawasanku tentang peluru berhulu ledak juga terbuka berkat buku ini. Ternyata sederhana saja membuatnya, dengan membuat lubang kecil sepanjang seperempat inci, lalu ke dalam celah itu diteteskan merkuri, lalu lubang ditutup dengan timah cair, lalu diamplas kembali sehingga kembali ke bentuk semula. Namun akibatnya….sangat mengerikan. Ketika ditembakkan, tetesan merkurinya akan menyentak ke belakang celah tempat ia diisikan. Begitu laju peluru terhambat ketika memasuki daging/tulang manusia, merkuri akan tersentak ke depan, mengoyakkan ujung peluru lalu menyemburkan timah ke jaringan tubuh. Akibatnya, syaraf dan selaput tubuh bagai dikoyak, dipotong, diiris oleh serpihan timah yang menyebar (hlm. 191-192). Tak heran, peluru jenis ini sangat mematikan!

seperti inilah kira-kira senapan ramping ala Jackal (diambil dari versi filmnya)


Siapa yang menang?

Kisah ini terbilang unik, karena kalau dalam kisah suspense biasanya tokoh utama adalah protagonis, Jackal di kisah ini adalah tokoh antagonis. Kalau biasanya sang "lakon" memburu pembunuh, kini justru kita seolah-olah berjalan bersama si pembunuh yang diburu. Empat bintang kusematkan untuk buku karya Frederick Forsyth ini. Siapa yang menang? Itu tak penting lagi rasanya. Bagiku, hanya sepersekian inci saja akhir kisah ini meleset dari harapanku, hanya gara-gara sebuah ciuman. Ciuman siapa? Apa yang meleset? Jawabannya tentu harus anda baca sendiri di bukunya. Yang jelas, setelah tamat membaca buku ini, anda pasti akan mengacungkan semua jempol yang anda miliki untuk kecerdikan si Jackal. Aku sendiri hanya bisa berandai-andai saja, ah....seandainya saja....

Judul: The Day Of The Jackal
Penulis: Frederick Forsyth
Penerbit: Serambi
Terbit: Juni 2011
Tebal: 607 hlm