Wednesday, August 14, 2013

Wishful Wednesday (21)

Setelah beberapa lama blog ini kutelantarkan sementara ber-asyik-asyik dengan dua blog lainya, kali ini ada sebuah buku incaran terbaru yang sukses bikin mupeng. Sudah pada tahu kan, kalau aku suka semua yang berbau ‘ancient Rome’? Nah, salah satu tokoh paling menarik dari era itu adalah pasangan Antony dan Cleopatra. Aku ikutkan buku ini di WW minggu ini, moga-moga dewi Fortuna dan dewa Rafflecopter mau berbaik hati padaku untuk mengirimkan buku ini! *ngemis Felix Felicis ke om Slughorn* :P

Antony & Cleopatra
By Colleen McCullough


Bisa beli di sini

Pengen wishlist-mu dikabulkan? Jangan ikutan ngemis Felix Felicis ya, ntar aku gak kebagian :P, ada cara yang lebih gampang kok, ikut saja Wishful Wednesday minggu ini, karena Astrid lagi bermurah hati mau mewujudkan keinginanmu jika kamu beruntung! Ikutnya? Ini caranya…


  • Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
  • Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku itu masuk dalam wishlist kalian ya!
  • Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
  • Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)


Wednesday, June 26, 2013

The Dante Club

If only Henry Wadsworth Longfellow did not find his passion towards Dante Alighieri’s beautiful poem: The Divine Comedy in around 1864, Matthew Pearl would have not written his fantastic historical-thriller which has captured my mind for more than a week. The Dante Club is a group of poets gathered in Longfellow’s home every Wednesday to perfecting the translation of Dante’s The Divine Comedy. Among these people, there are Oliver Wendell Holmes, Sr. and James Russell Lowell. It is believed that they are the first American who ever brought Dante’s poem to be translated in English. More than a hundred years later, an American novelist, Matthew Pearl, brought this exclusive literary club in his first published historical mystery novel: The Dante Club.

In the end of American Civil War era, a Chief Justice was found dead in a very mysterious way; his body has been eaten alive by thousands of maggots placed in his body, while a kind of flag was found near the body. This mysterious murder was followed soon by another horrifying murder scene of Reverend Talbot, who was buried head-down in a narrow pit while his feet, which were protruding from the ground, were burned out. When Oliver Wendell Holmes, who—besides a poet—is also a physician, observes Talbot’s corpse, he finds a perfect parallel between the murder scene and the punishment in Dante’s Inferno—the first part of The Divine Comedy which tells Dante’s journey to witness sinners being punished in Hell.

At the same time as these murders agitates Boston, the Dante Club is in the middle of translating Dante’s Inferno, which is annoying Harvard Corporation who believes bringing Dante into America would be ruining their reputation. So now the respectable literary men in Dante Club must leave the comfort of their book shelves to chase the murderer, and stop him from killing more people, only depends on their knowledge and passion of the poem.

Reading this book instantly after finishing Dante’s Inferno is proved to be my perfect decision. I could instantly recognize the similarity of the murder scenes and Dante’s contrapasso (punishment that fits the crime—in Inferno); and it was so exciting to match it with my Inferno’s summaries, and to find what kind of sin it punished, and to guess what the victim had done to receive such punishment. But not only that, what delighted me more is to read how those poets are so passionate about Dante’s poem. They can read and delve deep into the poem every Wednesday night, discuss what Dante means by every stanza; and they do it intently and wholeheartedly, just because they find the poem so beautiful and interesting. I don’t think I would ever be such passionately in appreciating any literary work, and I would really like to have leisure time to do that with friends who share my interest.

For a start, Matthew Pearl had done a great job with The Dante Club. It is engaging, thrilling, yet educating and entertaining; while the fast-pace plot and the exotic nineteenth century setting only add the pleasure of reading this book. I am also glad that Pearl picks literary theme for his first three historical novels (besides Dante Club, there are Poe Shadow and Last Dickens), and I truly hope he would continue to work on more respectable classics authors and/or works.

Four and a half stars for The Dante Club, and a bunch of thanks for Astrid who lend me this book! ^__^

~~~~~~~~

*I read Ballantine Books (Random House) paperback edition for:*



Monday, May 6, 2013

My Rapid Fire Questions


Ini adalah semacam meme yang sedang marak beredar di kalangan BBI-ers [Blogger Buku Indonesia]. Kita ditantang untuk memilih satu dari dua pilihan untuk 15 pertanyaan yang, tentu saja, tidak jauh-jauh dari kehidupan seorang kutubuku :). Secara kebetulan, Bzee dan Ratri sama-sama men-tag aku, jadi aku akan kerjakan PR-nya bersamaan ya…

Pertanyaan wajib:

1. Nambah atau ngurangin timbunan? –Nambah dong, bukan karena aku serakah, tapi menambah timbunan berarti aku akan terus menimba ilmu kehidupan; sampai kapan? Pokoknya selama aku hidup! ;)

2. Pinjam atau beli buku? –Untuk buku-buku yang aku tahu pasti aku akan suka, aku ingin beli, terutama untuk penulis yang karya-karyanya ingin kukoleksi. Untuk buku yang cuma pengen baca sambil lalu atau yang belum yakin aku bakal suka, lebih baik pinjam saja.

3. Baca buku atau nonton film? –Baca buku! Nonton film hanya untuk mengobati kejenuhan saat membaca buku, atau kalau aku suka bintangnya, hehehe...

4. Beli buku online atau offline? –Online, karena bagiku yang terpenting adalah isi bukunya, yang toh bias dilihat dari sinopsis dan review-review orang lain.

5. Buku bajakan atau ori? –Ori dong pastinya!

6. Gratisan atau diskonan? –Kalau ada gratisan (apalagi kalau boleh pilih sendiri judulnya) pasti pilih ini, tapi kalaupun tak ada, diskon pun kadang menarik hati juga…

7. Beli pre-order atau menanti dengan sabar? –Aku hanya 2x saja beli pre-order, waktu Harry Potter 6 & 7 akan terbit, selebihnya aku sabar menanti kok. Lagipula, sekarang aku lebih banyak membaca novel-novel klasik, yang jelas tak ada pre-ordernya. Eh tapi pernah juga penasaran dengan edisi Penguin English Library yang covernya cantik, dan akhirnya pre-order (Hahaha…jawaban orang labil!!)

8. Buku asing (terjemahan) atau lokal? –Sebenarnya aku sekarang lebih banyak membaca buku asing dalam versi aslinya, tapi masih juga baca terjemahan sesekali (terutama yang sudah ada di timbunan), jadi jawabanku: terjemahan.

9. Pembatas buku penting atau biasa aja? –Penting sekali. Aku malah punya koleksi pembatas buku dari buku-buku yang sudah aku baca, juga yang terbaru, dari Book Depository.

10. Bookmark atau bungkus chiki? –Bookmark dong, seperti jawabanku di atas, aku sudah punya banyak koleksi, jadi tinggal comot salah satu saja tiap kali mulai membaca buku.

Sekarang pertanyaan tambahan dari Bzee:

11. Buku yang dipinjam kembali dalam keadaan rusak atau tidak kembali? –Selalu berharap buku dikembalikan utuh, tapi kalau yang terburuk harus terjadi, lebih baik dikembalikan dalam keadaan rusak. Tidak kembali itu berarti si peminjam tidak menghargai barang (dan perasaan) orang lain—kecuali ada alasan kuat, misal tasnya kecopetan :(

12. ebook gratis termasuk ereader-nya atau buku fisik diskon? –Eh, ada yang mau kasih ebook gratis TERMASUK e-reader-nya? Mauuuu!! #eh #salahfokus. Tapi tetap saja jawabannya itu kok, hehehe…

13. Goodreads atau bookdepository? –Hmm, ini bukannya dua kategori yang berbeda ya? Goodreads bagiku hanya untuk melihat penilaian orang tentang suatu buku, dan untuk me-manage buku dan jadwal membaca. Sedang Bookdepository hanya untuk belanja buku saja. Kebetulan, aku pakai 2-2nya.

14. Buckbeak atau Smaug? –Aku gak kenal Smaug, jadi Buckbeak aja :)

15. Ben atau Leo? (tanpa nama belakang, bisa siapa saja, hahaha) –Jelas Leo laah…Leonardo di Caprio!! *maaf fangirling bentar ya, gak nahan nih! :P*
 
Lagi nungguin bang Leo main di Great Gatsby nih... <3

Lanjut dengan pertanyaan dari Ratri:

16. Sejak kapan suka baca buku? –Sejak bisa membaca, kapan ya itu, sekitar kelas I SD mungkin? Waktu itu bacaanku sih majalah Bobo.

17. Sejauh ini apa yang paling disuka dari bergabung dengan BBI? –Bisa bertemu dengan orang-orang yang punya kecintaan sama denganku, baca buku dan ngeblog tentang buku.

18. Kalau beli buku, mana dulu yang dilihat (cover, pengarang, sinopsis)? –Pengarang yang aku sudah ‘kenal’ atau yang ingin kukenal bisa menjadi magnet pertama, tapi tetap saja keputusan terakhir beli buku adalah di sinopsis. Sebenarnya sih selain sinopsis, yang terpenting adalah review dari orang yang sudah membaca buku itu (lebih diutamakan yang seleranya mirip denganku).
  
19. Lebih suka numpuk buku di rumah atau disumbangkan ke perpustakaan terdekat? –Aku sekarang sudah jauh lebih selektif, hanya membeli buku-buku yang aku ingin koleksi, tapi kalaupun ada yang sudah tidak kukehendaki lagi, biasanya sih kujual, swap atau berikan ke orang lain. Gak pernah menyumbang ke perpustakaan, karena di daerahku gak ada perpustakaan—ada sih perpustakaan Gereja, tapi buku-bukuku gak cocok aja, hahaha...

20. Harry Potter atau Katniss Everdeen? –Gak suka dan gak tertarik baca Hunger Games (pernah baca awalnya doang, lalu gak lanjut), jadi pastinya…Harry Potter!

**Update** Dan ini yang terbaru, pertanyaan dari Yuniar:


21. 5 kriteria memilih buku untuk dibeli/dibaca, urut dari yg paling penting?
(1) Penulis
(2) Tema sentral
(3) Cerita
(4) Fisik buku (terutama saat beli buku second-hand)
(5) Jenis font (kalau terlalu kecil malas baca!)

22. Komik atau novel? –Novel; komik tidak bisa ‘menggali’ kisah atau karakter sedalam novel.

23. Buku terjemahan atau buku asli (bahasa asing)? –Buku versi asli, terjemahan seringkali tidak pas dengan maksud aslinya, lagipula dengan membaca versi asli, aku bisa merasakan gaya menulis langsung penulisnya. Membaca terjemahan seperti kita mendengarkan opini orang tapi yang disampaikan oleh orang lain, emosinya jadi beda kan?.

24. Scribbling notes di halaman2 buku atau buku bersih seperti baru? –Tergantung kebutuhan, kalau banyak kata-kata yang asing buatku, aku tuliskan di halaman buku, tapi kalau butuh menulis pemikiranku yang panjang, aku tulis di notes terpisah. Tapi kalau buku itu kertasnya lux, saying juga ditulis-in… :)

25. Baca fanfiction-turned-novel? –Never-ever!


Fiuhhh…akhirnya sudah terjawab semua. Dan sekarang waktunya pembalasan dendam, hohoho…. Meme ini akan kulempar ke: Listra, Tanzil, Maria, Annisa dan Helvry. Moga-moga belum pada nge-post meme ini…. Kalian ‘wajib’ mengerjakan yah (soalnya aku juga sudah jadi ‘korban’ pemaksaan, jadi sekarang mau balas dendam *ketawa jahat*). Kalian harus menjawab pertanyaan wajib di atas (no. 1-10) DITAMBAH dengan 5 pertanyaan khusus dariku (jadi total ada 15 pertanyaan).

Ini pertanyaan dariku:

1. Literary fiction atau popular fiction?
2. Kalau kalian hanya boleh mengkoleksi buku-buku dari 1 pengarang saja, pengarang siapa yang kalian pilih?
3. Saat membaca, suka membuat catatan atau tidak?
4. Baca 1 buku saja atau baca bersamaan beberapa buku?
5. Introductory di awal buku: baca sebelum atau sesudah baca cerita? Atau tidak pernah baca?

Itu saja dariku, selamat mengerjakan…. Oh ya, selain menjawab 15 pertanyaan itu, kalian harus meneruskan meme ini dengan men-tag 5 orang lagi, dan memberikan 5 pertanyaan dari kalian sendiri. Buat Bzee dan Ratri, terima kasih sudah bikinin alasan buat nge-update blog ini ya? Hahahah….

Tuesday, April 9, 2013

The Flames of Rome


Historical fiction yang ditulis oleh seorang sejarawan memang memberikan sensasi yang berbeda dibanding dengan karya penulis biasa. Karya-karya Paul L. Maier contohnya; aku telah mengagumi karya beliau lewat Pontius Pilatus yang nyaris sempurna dalam keakuratannya (karena menggunakan dua sumber, yakni kitab suci dan sejarah). Dan dari sanalah aku langsung tertarik membaca historical fiction bertema Romawi dan Kristiani ini: The Flames of Rome.

The Flames of Rome mengambil kisah sejarah mulai pemerintahan Claudius Caesar, seorang kaisar Romawi yang terkenal gagap (‘Clau-Clau-Claudius’, demikian ia sering dipanggil dalam olokan), dan selalu saja salah memilih istri yang di kemudian hari berambisi merebut tahtanya. Istrinya yang terakhir adalah Agrippina, yang berambisi menaikkan putranya Nero menjadi kaisar. Singkat kata Agrippina berhasil, dan Nero pun naik menjadi Kaisar pada tahun 54 di usia yang baru tujuhbelas.

Meski darah ibunya yang serakah dan tak bermoral mengaliri nadinya, Nero tak serta merta sesadis sang ibu, berkat didikan Seneca—seorang filsuf penganut aliran stoic yang menjadi tutor sang Kaisar—bersama Burrus—Kepala Prefek Roma. Di saat-saat awal pemerintahannya, Roma berharap banyak bahwa akhirnya mereka akan menikmati masa-masa sejahtera. Sayangnya, jerih payah Seneca untuk menjadikan Nero kaisar yang beradab dan berwawasan dimentahkan oleh pengaruh negatif kawan-kawan seumuran sang kaisar yang mengajaknya berbuat kriminal sehingga meresahkan rakyat. Ditambah dengan karakter Nero sendiri yang picik dan sangat ketakutan tahtanya akan direbut, maka akhirnya hasutan sahabat-sahabatnya makin membuat tingkah Nero brutal dan tak bermoral. Sekali lagi….Roma dibayang-bayangi keruntuhan moral yang membuat bangsa yang pernah dikatakan sebagai pusat dunia itu kini ditertawakan orang, Roma yang membangga-banggakan peradabannya, kini dipenuhi kebiadaban dan kemaksiatan.

Namun, pada saat-saat seperti itu, masih ada bangsawan Roma murni yang masih mempertahankan integritas dan hati nuraninya, seperti Aulus Plautius dan Titus Flavius Sabinus. Meski kisah ini ditulis dari sudut pandang orang ketiga, namun jelas bahwa Maier ingin meletakkan Sabinus sebagai pusat cerita. Pulang dari penaklukan Inggris bersama Claudius Caesar, Sabinus adalah anak buah Aulus Plautius. Pada hari penyambutan para pahlawan ini, mata Sabinus tertumbuk pada seorang gadis manis yang ternyata adalah Plautia, putri Plautius.

Kisah cinta Sabinus dan Plautia ini cukup memberi warna segar pada kisah sejarah yang menjijikkan dan penuh kekejaman ini. Rupanya, meski seorang sejarawan yang biasa menorehkan karya-karya serius, Maier cukup renyah membahas karakter Sabinus yang hangat, humoris, cakap menjalankan tugas sebagai negarawan, berani menentang kejahatan, teguh berpegang pada nilai-nilai kebenaran dan mau menggunakan hati nuraninya. Aku kagum pada Sabinus yang—ketika dipaksa oleh Ratu Agrippina berselingkuh—berani dengan tegas menolak ajakan sang Ratu, meski ia tahu konsekuensi berat menantinya saat sang Ratu akan membalas dendam atas penolakannya. Dan saat bencana itu datang, Sabinus dengan terus terang mengakui apa yang telah terjadi, yang menjadi sumber kemarahan sang Ratu. Benar-benar sosok yang berharga bagi Roma. Dan Sabinus pun akhirnya mendapatkan kepercayaan dari Nero, sebagai Prefek Kota, jabatan tertinggi di kota Roma sendiri.

Namun, meski Sabinus bersama Seneca selalu berusaha meredam sisi liar sang Kaisar, pengaruh buruk dari sahabat dan istrinya begitu kental pada Nero sehingga ia makin lama makin tak terkendali, terutama setelah ia membunuh semua orang yang berpotensi merebut kekuasaannya. Pada masa-masa itulah ‘sekte’ baru yang disebut Kristiani—atau pengikut nabi yang mati di salib di Yudea yang disebut Kristus—perlahan-lahan merembes memasuki kerajaan Romawi, bahkan di kota Roma sendiri, dan di istana Kaisar serta keluarga para Senator Roma. Maier mengajak kita mengenal Paulus, Petrus, Lukas dan Markus, juga warisan yang mereka tinggalkan bagi kita hingga saat ini.

Menarik juga membaca bagaimana—menurut analisa Maier yang masuk akal—Paulus menyebarkan Kekristenan terutama di Roma. Di sini dikisahkan juga pengadilan Paulus di depan Nero, di mana sang Kaisar terpukau oleh sikap dan tatapan mata Paulus—atau bisa jadi itu adalah karya Roh Kudus!—akhirnya membebaskan sang Rasul. Namun karena jemaat Kristiani pertama memang harus menanggung derita yang sangat hebat demi penyebarannya yang kelak mendunia, maka seperti yang telah tertoreh pada lembar sejarah, umat Kristen menjadi kambing hitam kepengecutan Nero.

Saat itu Roma dilanda kekeringan hebat, dan ketika salah satu rumah di kawasan kumuh nan sesak terbakar, dengan cepat angin Rococo menghembuskan bara api ke segala penjuru, dan akhirnya terjadilah kebakaran hebat yang bahkan membakar kawasan istana Nero. Ketika rakyat yang kelaparan mengharapkan kemurahan hati Kaisar, Nero malah merencanakan pendirian istananya yang super megah. Ini membuat rakyat marah, dan untuk meredam amarah mereka, orang-orang terdekat Nero menghembuskan ide untuk mencari ‘kambing hitam’. Ditambah dengan kecurigaan Roma dan kebencian kaum Yahudi selama itu, terjadilah pembantaian mengerikan terhadap jemaat Kristiani itu.

Maier dengan berani menyajikan kekejian itu tanpa ditutup-tutupi, karena betapapun buruknya, itu adalah kenyataan yang benar-benar terjadi. Dan kekejian itu nyatanya memang harus terjadi, karena sejak saat itulah justru kekristenan tumbuh makin pesat ke seluruh dunia, dan Roma-pun menjadi pusatnya. Sayangnya Maier tidak memberikan semacam catatan tentang keterkaitan antara Titus Fabinus Clemens (putra Sabinus) dengan Paus Clement. Ada yang mengatakan Paus Clement I adalah budak-yang-sudah-dibebaskan dari Clemens, namun tak ada catatan yang pasti. Kemungkinan, Clemens—putra Sabinus—akhirnya menjadi Kristen, hal yang tak mengherankan, sebab neneknya (ibu Plautia) sudah menjadi pengikut Kristus berkat ajaran Paulus. Dari buku ini aku pun menyadari bahwa Sabinus sebenarnya sangat “Kristen” meski ia tak memeluk agama itu, mengingat prinsip hidupnya yang tak segan berkorban bagi rakyat. 

Empat bintang untuk kisah ini, karena meski aku sangat menikmatinya, namun begitu banyaknya typo menyebabkan kenikmatan membaca sungguh ternoda…

Wednesday, February 27, 2013

Wishful Wednesday (19)


Tak terasa Wishful Wednesday sudah memasuki usia 1 tahun! Aku masih ingat, waktu itu seingatku aku bersama Astrid ingin membuat blog hop khusus untuk blogger di Indonesia, karena selama itu kami hanya menemukan blog hop yang dibuat blog-blog luar negeri. Akhirnya pada minggu yang sama, kami pun meluncurkan blog hop kami masing-masing; aku dengan Character Thursday, dan Astrid dengan Wishful Wednesday, yang hari ini berulang tahun yang pertama! Yayyy…happy birthday Wishful Wednesday! Dan meskipun aku “hanya” sempat ikut pada 18 kesempatan, sudah ada beberapa buku yang dapat kucoret dari wishlist, entah itu dari hadiah, beli sendiri, atau...ehm…pinjem.. :P.

Dan di momen istimewa ini, mari memutar memori ke 52 minggu lalu, dan merunutnya hingga kini, kedelapan belas Wishful Wednesday-ku. Ini dia….

#1 – Gadis Kretek (beli)
#4 – Burung-Burung Manyar (pinjam Astrid - dan belum dibaca sampai sekarang! X_X)
#6 – The Paris Wife 
#9 – Catatan Ichiyo 
#13 – Barnaby Rudge 
#14 – A Tale of Two Cities (hadiah dari Astrid di salah 1 giveaway-nya)
#16 – The Orchardist 
#17 – The Flames of Rome (beli)

Dari list itu, wishful yang belum sempat terealisasi, dan yang paling ingin kudapatkan (hemm….sebenarnya sih pengen semua, tapi kita gak boleh serakah dong! :P), adalah….


By Irving Stone



Mengapa buku yang satu ini, yang kalau dilihat covernya tak terlalu menarik? Karena aku sudah terlanjur jatuh cinta pada tulisan Irving Stone lewat bukunya yang lain: Lust For Life. Kalau Stone telah mampu mengobrak-abrik emosiku lewat kisah Vincent Van Gogh-nya, aku penasaran, bagaimana ia akan mengembangkan imajinasiku bersama sang maestro Michelangelo? Hmmm…. Sekarang marilah berdoa agar aku akhirnya dapat membawa pulang lukisan Michelangelo…eh…maksudku buku tentang Michelangelo ini!

Ingin jugakah kamu mewujudkan buku incaranmu? Ikut aja Wishful Wednesday!



Caranya:

  • Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
  • Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku itu masuk dalam wishlist kalian ya!
  • Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
  • Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)


Friday, January 4, 2013

Historical Fiction Challenge 2013-2015




Setelah tahun lalu (2012) aku mengikuti challenge yang di-host oleh Maria ini—menggebu-gebu di awal tapi mendadak bak balon, mengempis, di akhir :D—tahun ini aku mencoba ikut lagi challenge yang sama, dengan sedikit perubahan. Challenge ini dirancang untuk berlangsung selama 3 tahun; dan meski aku masih belum bisa membayangkan arah bacaanku di tahun-tahun mendatang, paling tidak masih ada beberapa historical fiction yang rencananya aku selesaikan tahun ini (limpahan dari tahun lalu yang gagal sih…). Maka aku memberanikan diri ikut di challenge ini lagi. Entah dengan tahun depan, mari kita khawatirkan tahun depan saja… :P

Aku mengambil level:

Collector : 5 – 10 book/year

Meski aku masih tak mengerti mengapa levelnya dibuat per tahun kalau challenge ini dirancang untuk 3 tahun? :D

Buku-buku yang akan kubaca untuk challenge ini:

2013
Richard III – William Shakespeare
The Flames of Rome – Paul L. Maier
The Three Musketeers - Alexandre Dumas
A Tree Grows in Brooklyn – Betty Smith
The Dante Club – Matthew Pearl

2014
Empress – San Sha
The Help – Kathryn Stockett
True History of the Kelly Gang - Peter Carey
World Without End - Ken Follett


All The President’s Men: Third Level Inquiry


This post serves as well as my final review for this book. All The President’s Men is a history of political journalism which covered the fall of Richard M. Nixon in one of the most humiliating political scandals in White House. Carl Bernstein and Bob Woodward were two reporters in Washington Post, they were appointed to cover a case of breaking-in and tapping at the Democratic headquarter in Watergate by five people. This soon turned out as extraordinary news, since it involved several men from President Nixon’s Committee for Re-election of The President (CRP) team. Interviews being made, and slowly but surely, Bernstein and Woodward unveiled organized illegal intelligence activities with the aim to win Nixon as a President. Not only both reporters, but Washington Post as a whole institution must suffer a lot in its fight to reveal the truth, but—as we all know—by the help of inside sources and honorable intentions of its crews, Washington Post had helped people of America to finally force its President to resign.

From the series of news published in Washington Post, Bernstein and Woodward then arranged them into this chronologically crafted history book. It becomes sort of political detective story, but the fact that this is a true story, made this book stands out from any other similar themed books. Four stars for All The President’s Men! And following the first and second level of inquiries for my The Well-Educated Mind Project, this is my analysis for the third level inquiry.

Dustin Hoffman & Robert Redford in the movie adaptation


Rhetoric-Stage Reading

What is the purpose of this history?

The main purpose is to show how people of America were proud of and respected honesty and honor in their blood; that when the sacred of White House was corrupted, there are brave people who sacrificed their career—and often their lives too—to reveal the truth. From the fall, this history also teaches us about how the conspiracy had been built.

What does it mean to be human?

Carl Bernstein and Bob Woodward showed us that we as human have the responsibility to correct the error in all aspects of life; and we must do it with the right and honest ways, with persistence and commitment.

Why do things go wrong?

Greediness and arrogance—I think—that had corrupted the White House at that time. Nixon was in his second period of presidential, he and his men must have thought that because they had put every other institutions—FBI, CIA, Ministry of Justice—under their control, their illegal activities won’t be revealed. Hunt, one of the President’s men, even blackmailed the President because he had some evidence about Watergate. The moral corruption of President and his men had been in the lowest level when they knew they would surely win.

What place does free will have?

In their fight to reveal the truth, both reporters and the Washington Post must face a lot of trials. Bernstein and Woodward were summoned to the court because they have tried to interview the jury. White House had openly attacked Washington Post’s reputation, and the newspaper’s stock had been crashed down to 50% in the stock market. At one time the two reporters were warned that their office and houses might have been tapped, and their lives were in danger. However—from the reporters, the senior redactors, to the owner—Washington Post had persistently kept their intention to supply honest investigations to its readers and to help the nation to know the whole truth; they fought to the end.

What is the end of this history?

When Bernstein and Woodward started their coverage for Watergate case, I believe they never thought where this would have ended; a breaking-in to Watergate was not unusual anyway. However, when they found that a huge amount of fund and someone from the closest circle of CRP were involved, they knew that this would be a delicate case. From then on they always looked at the higher level to see who was actually in control. Both reporters ended this history book when House of Representatives finally opened investigation to impeach President Nixon, and the law process began. Six months after this book first published, Richard M. Nixon resigned from his office after the Republican announced that they had been ready to the verdict against Nixon.

If at first the President and his men still arrogantly challenged their ‘enemies’—Washington Post was their biggest target—at the end President’s men fought each others, raced to reveal evidences, to get a chance to put the blame on the others. Nixon was under his men’s control and forced to sacrifice one of his assistants, and at the end his closest friends fell with him too. In a way Washington Post helped America to clean up their corrupt government by their journalism. The end of this history opened a new hope of a better presidential (Nixon was succeeded by Gerald Ford).


~~~~~


*I read translated version in Bahasa Indonesia by Penerbit Serambi*

Read and posted for:


Wednesday, January 2, 2013

All The President’s Men: First and Second Level Inquiry

These are the first and second level inquiries for completing tasks of my The Well-Educated Mind Self-Project. The third one would be posted separately.


Grammar-Stage Reading


Who is this story about? What challenge did they face?

Carl Bernstein and Bob Woodward are two Washington Post’s reporters who covered news of Watergate scandal that forced President Richard M. Nixon to resign his office. They wanted to reveal the truth—who, why, how—behind the breaking-in and tapping of the Democratic headquarter.

Who or what causes this challenge?

Watergate seemed to be controlled by President Nixon’s Committee for Re-election of The President (CRP) team. Of course, White House denied and covered up any inquiries from reporters that had any chance to put them in dangerous position.

What happened to the two reporters?

Confronted with the absolute power of high level executives, the two reporters had bravely submitted direct inquiries to powerful people, sometimes attacking them through their news—while kept maintaining the newspaper’s integrity by never reporting something they were not 100% sure of the accuracy —in order to reveal the truth.
  


Logic-State Reading


Look for the reporters major assertions

Since this story was previously written as series of reports in newspaper, Carl Bernstein and Bob Woodward published this book also as a chronological series of reports; and therefore I could not find the explicit major assertions within the history. However, I think the reporters wanted to highlight that it is the nation’s and people’s responsible to seek the truth about their government, even if it might have been conducted by the highest levels of authorities. We must always look at and thoroughly work on all possibilities and chances; that nothing is impossible.

What questions are the reporters asking?

They knew that Watergate had something to do with the high levels in White House; the question was how far the moral corruption had infected White House. Did the President involve in this, did he know about it, or was it merely his men’s action?

What sources do the reporters use to answer them?

They dug every news—new and old ones, every comment from interviews with so many people--but they had also a valuable secret source that seemed to know everything and involved in the case. This source—nicknamed Deep Throat—has guided the reporters to find the truth, without revealing his own identity. They also consulted their lawyer for legal aspects of interviewing, quoting comments and reporting it for the newspaper.

Does the evidence support the connection between questions and answers?

In their reports, the two reporters always followed journalism ethics by cross-examining and reconfirming news with other sources, and provided the subject chances to deny or confirm the news. So, I think they always used a respectable evidence to answer their questions.


~~~~~



Read and posted for: