Showing posts with label Rome. Show all posts
Showing posts with label Rome. Show all posts

Tuesday, April 9, 2013

The Flames of Rome


Historical fiction yang ditulis oleh seorang sejarawan memang memberikan sensasi yang berbeda dibanding dengan karya penulis biasa. Karya-karya Paul L. Maier contohnya; aku telah mengagumi karya beliau lewat Pontius Pilatus yang nyaris sempurna dalam keakuratannya (karena menggunakan dua sumber, yakni kitab suci dan sejarah). Dan dari sanalah aku langsung tertarik membaca historical fiction bertema Romawi dan Kristiani ini: The Flames of Rome.

The Flames of Rome mengambil kisah sejarah mulai pemerintahan Claudius Caesar, seorang kaisar Romawi yang terkenal gagap (‘Clau-Clau-Claudius’, demikian ia sering dipanggil dalam olokan), dan selalu saja salah memilih istri yang di kemudian hari berambisi merebut tahtanya. Istrinya yang terakhir adalah Agrippina, yang berambisi menaikkan putranya Nero menjadi kaisar. Singkat kata Agrippina berhasil, dan Nero pun naik menjadi Kaisar pada tahun 54 di usia yang baru tujuhbelas.

Meski darah ibunya yang serakah dan tak bermoral mengaliri nadinya, Nero tak serta merta sesadis sang ibu, berkat didikan Seneca—seorang filsuf penganut aliran stoic yang menjadi tutor sang Kaisar—bersama Burrus—Kepala Prefek Roma. Di saat-saat awal pemerintahannya, Roma berharap banyak bahwa akhirnya mereka akan menikmati masa-masa sejahtera. Sayangnya, jerih payah Seneca untuk menjadikan Nero kaisar yang beradab dan berwawasan dimentahkan oleh pengaruh negatif kawan-kawan seumuran sang kaisar yang mengajaknya berbuat kriminal sehingga meresahkan rakyat. Ditambah dengan karakter Nero sendiri yang picik dan sangat ketakutan tahtanya akan direbut, maka akhirnya hasutan sahabat-sahabatnya makin membuat tingkah Nero brutal dan tak bermoral. Sekali lagi….Roma dibayang-bayangi keruntuhan moral yang membuat bangsa yang pernah dikatakan sebagai pusat dunia itu kini ditertawakan orang, Roma yang membangga-banggakan peradabannya, kini dipenuhi kebiadaban dan kemaksiatan.

Namun, pada saat-saat seperti itu, masih ada bangsawan Roma murni yang masih mempertahankan integritas dan hati nuraninya, seperti Aulus Plautius dan Titus Flavius Sabinus. Meski kisah ini ditulis dari sudut pandang orang ketiga, namun jelas bahwa Maier ingin meletakkan Sabinus sebagai pusat cerita. Pulang dari penaklukan Inggris bersama Claudius Caesar, Sabinus adalah anak buah Aulus Plautius. Pada hari penyambutan para pahlawan ini, mata Sabinus tertumbuk pada seorang gadis manis yang ternyata adalah Plautia, putri Plautius.

Kisah cinta Sabinus dan Plautia ini cukup memberi warna segar pada kisah sejarah yang menjijikkan dan penuh kekejaman ini. Rupanya, meski seorang sejarawan yang biasa menorehkan karya-karya serius, Maier cukup renyah membahas karakter Sabinus yang hangat, humoris, cakap menjalankan tugas sebagai negarawan, berani menentang kejahatan, teguh berpegang pada nilai-nilai kebenaran dan mau menggunakan hati nuraninya. Aku kagum pada Sabinus yang—ketika dipaksa oleh Ratu Agrippina berselingkuh—berani dengan tegas menolak ajakan sang Ratu, meski ia tahu konsekuensi berat menantinya saat sang Ratu akan membalas dendam atas penolakannya. Dan saat bencana itu datang, Sabinus dengan terus terang mengakui apa yang telah terjadi, yang menjadi sumber kemarahan sang Ratu. Benar-benar sosok yang berharga bagi Roma. Dan Sabinus pun akhirnya mendapatkan kepercayaan dari Nero, sebagai Prefek Kota, jabatan tertinggi di kota Roma sendiri.

Namun, meski Sabinus bersama Seneca selalu berusaha meredam sisi liar sang Kaisar, pengaruh buruk dari sahabat dan istrinya begitu kental pada Nero sehingga ia makin lama makin tak terkendali, terutama setelah ia membunuh semua orang yang berpotensi merebut kekuasaannya. Pada masa-masa itulah ‘sekte’ baru yang disebut Kristiani—atau pengikut nabi yang mati di salib di Yudea yang disebut Kristus—perlahan-lahan merembes memasuki kerajaan Romawi, bahkan di kota Roma sendiri, dan di istana Kaisar serta keluarga para Senator Roma. Maier mengajak kita mengenal Paulus, Petrus, Lukas dan Markus, juga warisan yang mereka tinggalkan bagi kita hingga saat ini.

Menarik juga membaca bagaimana—menurut analisa Maier yang masuk akal—Paulus menyebarkan Kekristenan terutama di Roma. Di sini dikisahkan juga pengadilan Paulus di depan Nero, di mana sang Kaisar terpukau oleh sikap dan tatapan mata Paulus—atau bisa jadi itu adalah karya Roh Kudus!—akhirnya membebaskan sang Rasul. Namun karena jemaat Kristiani pertama memang harus menanggung derita yang sangat hebat demi penyebarannya yang kelak mendunia, maka seperti yang telah tertoreh pada lembar sejarah, umat Kristen menjadi kambing hitam kepengecutan Nero.

Saat itu Roma dilanda kekeringan hebat, dan ketika salah satu rumah di kawasan kumuh nan sesak terbakar, dengan cepat angin Rococo menghembuskan bara api ke segala penjuru, dan akhirnya terjadilah kebakaran hebat yang bahkan membakar kawasan istana Nero. Ketika rakyat yang kelaparan mengharapkan kemurahan hati Kaisar, Nero malah merencanakan pendirian istananya yang super megah. Ini membuat rakyat marah, dan untuk meredam amarah mereka, orang-orang terdekat Nero menghembuskan ide untuk mencari ‘kambing hitam’. Ditambah dengan kecurigaan Roma dan kebencian kaum Yahudi selama itu, terjadilah pembantaian mengerikan terhadap jemaat Kristiani itu.

Maier dengan berani menyajikan kekejian itu tanpa ditutup-tutupi, karena betapapun buruknya, itu adalah kenyataan yang benar-benar terjadi. Dan kekejian itu nyatanya memang harus terjadi, karena sejak saat itulah justru kekristenan tumbuh makin pesat ke seluruh dunia, dan Roma-pun menjadi pusatnya. Sayangnya Maier tidak memberikan semacam catatan tentang keterkaitan antara Titus Fabinus Clemens (putra Sabinus) dengan Paus Clement. Ada yang mengatakan Paus Clement I adalah budak-yang-sudah-dibebaskan dari Clemens, namun tak ada catatan yang pasti. Kemungkinan, Clemens—putra Sabinus—akhirnya menjadi Kristen, hal yang tak mengherankan, sebab neneknya (ibu Plautia) sudah menjadi pengikut Kristus berkat ajaran Paulus. Dari buku ini aku pun menyadari bahwa Sabinus sebenarnya sangat “Kristen” meski ia tak memeluk agama itu, mengingat prinsip hidupnya yang tak segan berkorban bagi rakyat. 

Empat bintang untuk kisah ini, karena meski aku sangat menikmatinya, namun begitu banyaknya typo menyebabkan kenikmatan membaca sungguh ternoda…

Tuesday, October 30, 2012

I, Claudius


Tiberius Claudius Drusus Nero Germanicus memerintah Kerajaan Romawi pada tahun 41, menggantikan kemenakannya Caligula yang dibunuh oleh anak buahnya sendiri. Robert Graves menulis novel historical fiction tentangnya ini dalam bentuk memoir, seolah-olah Claudius sendiri—demikian ia dipanggil—mengisahkan segala yang ia lihat dan alami sepanjang hidupnya; setidaknya bagaimana ia, yang sejak lahir disepelekan orang, mampu mencapai tahta tertinggi Romawi, yang kala itu merupakan monarki terbesar di dunia.

Claudius adalah sosok yang berkarakter menarik, itu aku sadari hanya dengan membaca beberapa halaman pertama buku ini—kalau Robert Graves benar-benar dapat menangkap karakternya dengan tepat. Claudius dilahirkan sebagai anak yang sakit-sakitan. Ada yang tak beres dengan lututnya, meski kedua tangannya terbilang kuat. Ia juga sering gagap saat berbicara, terutama ketika gugup atau emosi. Pamannya, Kaisar Tiberius menjulukinya sebagai ‘Clau Clau Claudius’. Karena kekurangannya ini—kelak ditengarai Claudius menderita semacam polio—ia dijauhi oleh semua orang, termasuk ibunya yang menganggap Claudius idiot, dan neneknya Livia yang bahkan tak pernah mau makan semeja dengan Claudius yang dianggap menjijikkan.

Dari segi keturunan, Claudius adalah cucu dari Augustus dan Livia dari garis ayahnya Drusus (Drusus adalah putra Kaisar Tiberius—putra Livia dari suami pertama namun diadopsi oleh Augustus); juga cucu dari Marc Antony dan Octavia dari garis ibunya Antonia. Karena sejak awal telah dijauhkan dari politik oleh Augustus, Claudius menekuni sejarah dari para sejarawan yang tersohor saat itu. Kelak saat Claudius remaja, Augustus pernah tercengang ketika mendengarkan sang cucu berorasi dengan sangat baik (ia mendengarkan diam-diam dari balik tirai, karena jika Claudius mengetahui kehadiran Augustus, gagapnya akan langsung timbul).

Sepanjang hidupnya sebelum menjadi Kaisar, Claudius telah mengamati—dan merekamnya dalam tulisan-tulisannya—kiprah keluarga besarnya dalam politik yang kotor dan kejam. Kita dapat melihat bagaimana Kaisar Augustus sebenarnya didominasi oleh Livia yang ambisius dan banyak membunuh cabang-cabang keluarga mereka kalau dilihatnya orang tertentu akan menghalangi rencananya, yaitu agar garis keturunannya dapat menjadi Kaisar menggantikan Augustus. Setelah Augustus wafat, Tiberius menggantikannya, dan tetap dibayang-bayangi Livia, menjadikan Roma sebagai tempat jagal manusia, dengan tak terhitung banyaknya senator atau anggota keluarga diseret ke pengadilan dengan tuduhan palsu untuk dihukum mati.

Ketika Tiberius akhirnya meninggal, semua orang bersorak-sorak gembira menyambut penggantinya, Caligula (kemenakan Claudius). Tak banyak yang mengetahui perangai asli Caligula yang sadis dan angin-anginan. Claudius yang selama pemerintahan Tiberius berhasil ‘tetap hidup’ di tengah ramainya pengadilan palsu, justru makin menderita saat pemerintahan Caligula. Namun hebatnya, dengan berpura-pura bodoh, dan se-lemah yang dikira orang, Claudius berkali-kali berhasil menghindar dari maut. Hingga akhirnya para bawahan Caligula muak, lalu mereka berkonspirasi membunuh Caligula. Dan karena Claudius satu-satunya marga Julio-Claudian laki-laki yang masih hidup dan dalam usia untuk memerintah Roma, maka mereka memaksanya menjadi Kaisar.

Hingga di sinilah kisah ini berakhir; namun meski Graves tak mengisahkan bagaimana Claudius memerintah Roma, dari buku dan artikel yang kubaca, rupanya Claudius berhasil ‘membawa kembali Romawi ke jalan yang benar’, ia mengelola administratif pemerintahan dengan  tertib, dan rakyat pun kembali merasa aman. Claudius juga berhasil melebarkan ‘sayap’ penaklukan Romawi ke daerah lain, dan ekonomi negara pun berangsur-angsur pulih setelah dihambur-hamburkan dengan semena-mena oleh Caligula.

Satu hal yang menarik tiap kali membaca novel-novel sejarah bertema Romawi, kita akan menemukan lebih banyak lagi kisah tentang tokoh-tokoh lainnya, sehingga setelah membaca banyak buku, lama-lama kita akan dapat membentuk ide tentang masing-masing tokoh, lebih lengkap daripada membaca novel tentangnya! :)

Sebagai kisah sejarah, buku ini termasuk ‘berat’, alih-alih berkonsentrasi pada kisah Claudius saja, Graves—menurutku—terlalu lebar mengisahkan tokoh-tokoh lain, misalnya mengikuti dengan detil kronologi perang Germanicus melawan Jerman. Akhirnya aku merasa bahwa Claudius terlalu banyak berada di balik layar, padahal ada banyak hal yang lebih ingin kuketahui tentang diri Claudius, misalnya bagaimana ia memperlakukan para pembunuh Caligula, atau apakah ia menepati sumpahnya pada Livia untuk menjadikannya Goddess, dan yang terutama bagaimana ia memerintah Romawi, apa saja sumbangsihnya bagi Roma, kecuali buku-buku sejarahnya. Sayang….semuanya terhenti di halaman terakhir.

Namun bagaimana pun juga, Graves telah berhasil membuka kisah salah satu Kaisar Romawi yang tak diperhitungkan orang, yang tak gagah perkasa, namun toh dapat membawa kerajaan terbesar di dunia itu ke sebuah era yang lebih makmur dan sejahtera.

Empat bintang untuk I, (Clau-Clau-) Claudius!

Judul: I, Claudius
Penulis: Robert Graves
Penerbit: Vintage Books
Tebal: 433 hlm

Wednesday, October 3, 2012

Pompeii


Pompeii adalah nama sebuah kota yang terletak di kekaisaran Romawi, yang hancur lebur akibat meletusnya Gunung Vesuvius pada tahun 79. Romawi, sebuah peradaban yang begitu maju di dunia saat itu—ditandai dengan sistem saluran air (aqueduct) terbesar dan tercanggih di dunia—ternyata tak siap menghadapi erupsi vulkanik Gunung Vesuvius, karena mereka tak pernah mengenal vulkanologi sebelumnya, sehingga tak menyadari tanda-tanda alam yang biasanya mengawali rangkaian pembentukan magma di perut sebuah gunung berapi. Lewat kisah historal fiction karya Robert Harris ini kita diajak untuk sedikit memperluas wawasan tentang vulkanologi, dan terutama tanda-tanda akan terjadinya letusan gunung berapi.

Salah satu tanda awal aktifnya gunung berapi adalah menurunnya debit air. Dan hal inilah yang terjadi di saat itu, sehingga seorang aquarius (insinyur yang bertanggung jawab di bidang perairan) muda bernama Attilius dikirim dari Roma untuk mencari sumber air baru di daerah Misenum. Attilius baru saja menjabat karena aquarius terdahulu telah menghilang selama dua minggu. Berkat intuisinya, Attilius segera menemukan sumber air, namun keanehan terjadi, air itu sepertinya bersembunyi dan terus menghilang ke dalam tanah. Belum lagi ia sempat memikirkannya, datang seorang gadis cantik bernama Corelia dan budaknya, meminta bantuan Attilius menyelamatkan pengurus ikan yang hendak dihukum mati majikannya karena dianggap menyebabkan ikan-ikan kesayangannya mati, padahal si pengurus ikan bersikeras kualitas air lah yang menjadi penyebabnya.

Dari kolam ikan di Vila Hortensia milik jutawan Ampliatus itulah, Attilius menemukan keanehan kedua: ada kandungan belerang di saluran air vila itu, yang menyebabkan ikan-ikan mati. Lalu keanehan itu disusul keanehan lainnya, debit air di kota Misenum terus menurun, dan di kota-kota tetangga air mulai berhenti mengalir. Maka Attilus harus bertindak cepat mencari titik kerusakan saluran air yang memanjang berkilo-kilometer itu. Untuk mempercepat perjalanan, ia meminjam kapal dan peralatan dari Laksamana Plinius (Pliny) yang—selain laksamana juga seorang pengamat ilmu pengetahuan yang menulis banyak buku tentang gejala-gejala alam.

Dalam misi penting itu—penting karena, bila saluran air yang melewati beberapa kota itu tak kunjung diperbaiki, akan terjadi huru hara—perjalanan Attilius diwarnai dengan berbagai halangan. Mulai dari mandor yang sangat membenci dirinya, sikap mencurigakan si jutawan Ampliatus, juga kenyataan bahwa keselamatan dirinya terancam oleh musuh yang ingin membunuhnya. Namun selama itu, ternyata Gunung Vesuvius semakin aktif bekerja. Dan puncaknya, pada tanggal 24 Agustus 79, Vesuvius memuntahkan isi perutnya.

Robert Harris mampu menggambarkan kedahsyatan erupsi itu dan porak-porandanya peradaban manusia yang hidup di sekitarnya dengan baik. Dari kisah ini kita belajar bahwa bahaya terbesar letusan gunung berapi bukan terletak pada hujan batu yang menyertai letusan pertama, namun justru hantaman awan panas yang dibawa angin, yang suhunya mencapai 200 derajat Celcius, yang hanya dalam sedetik mampu membinasakan apa saja—manusia maupun hewan—yang dilewatinya tanpa ampun. Di sinilah kita akan menyaksikan perjuangan manusia untuk melawan kemarahan alam, khususnya bagi Attilius yang demi cintanya bagi seorang gadis, harus jatuh bangun mengiringi kemarahan Vesuvius.

Seperti novel-novel Harris yang sudah pernah kubaca sebelumnya, terutama Imperium dan Conspirata, novel ini juga membawaku melanglang buana ke tanah Romawi, meski emosinya tak sedahsyat yang kurasakan dengan Imperium dan Conspirata. Bonus yang paling mengasyikkan adalah porsi ilmu pengetahuan tentang alam (terutama tentang vulkanologi) yang banyak tersisip di sini. Apalagi Harris banyak mengguakan metafora-metafora cantik di sana-sini. Dan terutama aku paling suka dengan sosok Attilius, seorang aquarius yang sangat menjiwai pekerjaannya. Tak melulu insinyur, Attilus benar-benar memiliki keterikatan pada alam, dan terutama pada air, sehingga saat mendengar aliran air, ia bisa merasa mendengar sebuah simfoni yang indah. Aku selalu kagum pada orang yang begitu mencintai pekerjaannya, yang mampu melihat hal-hal yang tak mampu dilihat orang lain, keindahan—sesuatu yang tak biasa—pada hal-hal yang biasa bagi orang lain.

Empat bintang untuk Pompeii!

Judul: Pompeii
Penulis: Robert Harris
Penerjemah: Fahmy Yamani
Editor: Siska Yuanita
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Maret 2010
Tebal: 389

Monday, August 13, 2012

Cleopatra’s Daughter – Selene


Nama Cleopatra sang Ratu Mesir pasti sudah pernah mampir ke telinga kita, namun jarang yang mengenal anak-anaknya. Dalam historical fiction yang kuulas ini, Michelle Moran mengisahkan sejarah Romawi dalam kurun waktu abad 31 SM hingga sekitar 26 SM. Abad 31 SM tercatat dalam sejarah sebagai kekalahan armada laut milik Markus Antonius dan Cleopatra yang saat itu memerintah Mesir terhadap pasukan Oktavianus. Oktavianus ini kelak kita kenal dengan nama Kaisar Augustus, yang sebelumnya bersama Markus Antonius dan Lepidus merupakan para pendukung Julius Caesar. Markus Antonius dan Ratu Cleopatra akhirnya harus menemui ajal dengan bunuh diri setelah kekalahan mereka, sementara tiga orang keturunan mereka: si kembar Cleopatra Selene dan Alexander Helios serta Ptolemeus dibawa Oktavianus ke Roma bersama harta benda Ratu Cleopatra.

Kisah ini dituturkan lewat sudut pandang Selene, seorang anak perempuan yang pada usia sebelas tahun telah memperlihatkan kecerdasannya berkat didikan ibunya di Mesir. Ketika tiba di Roma, Selene dan Alexander hanya tinggal berdua, karena Ptolemeus meninggal karena penyakit selama perjalanan di kapal. Meski keduanya tinggal bersama Oktavia—kakak perempuan Oktavianus yang saat itu menjadi Caesar Roma, yang juga istri pertama Markus Antonius sebelum memperistri Cleopatra—diperlakukan dengan sangat baik sebagai tamu keluarga. Selain Oktavia sendiri, ada putranya Marcellus yang menjadi kandidat kuat pewaris jabatan Caesar bersama dengan Tiberius, putra tiri Oktavianus (anak istrinya Livia dengan suami pertama). Marcellus yang gagah dan tampan segera menarik hati Selene, sayangnya Marcellus telah dijodohkan dengan Julia—putri Livia dengan Julius Caesar. Hingga saat ini anda tentu bingung membaca pertalian keluarga yang rumit ini, namun begitulah yang terjadi dalam sejarah, anda hanya harus terus membaca buku ini, dan lama kelamaan akan terbiasa juga.

Sebagai anak yang dibesarkan di Alexandria, ibu kota Mesir yang sangat tinggi peradabannya, penuh keanggunan dan kemewahan, Selene dan Alexander terkejut ketika melihat kerajaan Romawi yang kotanya carut marut dan moral penduduknya rendah. Di sepanjang kisah ini, Moran mengajak kita menyaksikan sejarah Romawi bergulir lewat sudut pandang Selene, terutama sejarah di seputar pemerintahan Oktavianus atau Kaisar Augustus.

Beberapa hal mencolok yang dapat kita catat dari Oktavianus adalah kepercayaannya pada peramal dan hal-hal gaib yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Memang saat itu sebelum diadakan sesuatu yang penting, peramal harus menyembelih hewan dan melihat isi perutnya untuk menentukan apakah dewa-dewa merestui rencana itu untuk dilaksanakan atau tidak. Namun yang sering aku baca di buku-buku tentang Romawi saat itu, ritual itu hanyalah sekedar formalitas belaka. Tapi hal itu tidak berlaku untuk Oktavianus, beliau benar-benar mempercayainya.

Hal lain yang menarik adalah timbulnya pergerakan menentang perbudakan. Ada seorang pemberontak yang menamakan dirinya Elang Merah (tambahan fiktif di novel ini) yang menjadi duri dalam daging kekuasaan Oktavianus. Meski Elang Merah hanya rekaan, namun dari tulisan-tulisan sejarah, terlihat bahwa gerakan menentang budaya perbudakan memang telah ada pada jaman itu. Selene, Alexander, Oktavia, Marcellus dan seorang budak bernama Gallia adalah beberapa yang memiliki keprihatinan terhadap kesemena-menaan terhadap kaum budak.

Oktavianus juga dikenal sebagai kolektor barang-barang antik dan suka membangun gedung-gedung indah seperti halnya kebiasaan di Romawi saat itu. Selene kebetulan memiliki minat pada arsitektur—berkat pendidikannya di Mesir—dan sangat suka menggambar sketsa. Oktavianus menyetujui Selene untuk belajar arsitektur pada seorang guru saat itu, meskipun wanita yang berkecimpung dalam pembangunan gedung saat itu sangat langka.

Salah satu yang membuatku kagum adalah langkah yang diambil Oktavianus untuk mengukuhkan kekuasaannya secara mutlak. Tanpa tanda-tanda apapun, tiba-tiba suatu hari Oktavianus mengumumkan bahwa dirinya akan meletakkan jabatan sebagai Caesar. Kontan Senat dibuat panik, mereka membujuk Oktavianus untuk mengurungkan niatnya, karena Roma pasti akan hancur tanpa pemimpin yang memiliki wibawa. Sebenarnya Oktavianus sudah memperhitungkan langkahnya ini, ia tahu bahwa tak ada yang mampu memimpin Roma saat itu selain dirinya. Dan benar saja, dalam rangka membujuk Oktavianus, Senat menganugerahkan gelar Augustus kepadanya dan memberikan kuasa sepenuhnya selama sepuluh tahun ke depan yang tak dapat diambil darinya. Betapa penuh perhitungan sang Augustus ini, seorang pria kurus yang sakit-sakitan namun memiliki tekad dan hati sekuat baja.

Selene mengalami semuanya itu sementara dirinya sendiri tumbuh makin dewasa bersama Alexander, Julia dan Marcellus. Dari seorang anak kecil yang cerdas dan berkemauan kuat, kita akan diajak melihat Selene yang memiliki khasrisma yang memancar kuat dari dirinya. Suatu hal yang dikagumi oleh Marcellus—meski ia tetap mencintai Julia, dan menumbuhkan perasaan cinta di hati seorang pria yang selama ini seolah ada di balik layar, meski dari semula aku sudah menduga bahwa ada sesuatu dalam diri si pria yang membuatnya selalu melindungi Selene.

Kisah ini cukup menarik, hanya saja aku kurang merasakan kedekatan emosional saat aku membacanya. Aku hanya merasa seperti mengikuti kisah hidup Selene dan semua yang terlibat di sekitarnya dari jauh. Aku tak merasakan greget seperti saat aku membaca Imperium dan Conspirata, di mana aku merasa seolah aku sendiri terseret masuk ke jaman Cicero masih hidup di Roma. Sebenarnya aku mengharapkan lebih dari seorang Michelle Moran yang telah banyak menuliskan fiksi sejarah, namun itulah yang kudapati di kisah ini. Lumayan menarik namun hambar.

Tiga bintang untuk Selene!

Judul: Selene Putri Sang Cleopatra (judul asli: Cleopatra’s Daughter)
Penulis: Michelle Moran
Penerjemah: Sujatrini Liza
Penerbit: Esensi
Terbit: November 2009
Tebal: 499 hlm.

Friday, March 30, 2012

Pope Joan

Tahun 500-1000 tercatat dalam sejarah peradaban umat manusia sebagai Jaman Kegelapan, yaitu masa ketika kemerosotan besar-besaran terjadi dalam peradaban manusia. Baik kemerosotan pengetahuan, budaya, maupun moral. Jaman ini terjadi segera setelah--dan sebagai akibat dari--runtuhnya kekaisaran Romawi. Pada masa itu populasi penduduk di Eropa merosot, dan angka harapan hidup rendah (tidak sampai seperempat populasi dapat mencapai usia limapuluhan tahun), dan banyak penyakit berjangkit karena tingkat kebersihan rendah. Pendeknya, masa itu benar-benar masa kegelapan.

Khususnya di abad ke 9, lahir sebagai perempuan adalah hal paling tak diinginkan oleh manusia mana pun. Perempuan pada jaman itu dibenci dan dianggap tak berharga. Penyiksaan suami terhadap istri disahkan oleh hukum, dan hukuman bagi pemerkosaan sama ringannya dengan pencurian kecil. Di masa seperti itulah si kecil Joan dilahirkan oleh istri seorang kanon (semacam imam) di sebuah desa kecil. Sejak kecil sudah nampak keistimewaan Joan yang haus akan pengetahuan, selalu ingin tahu, dan lebih suka mencuri dengar waktu kakak lelakinya Matthew mendapat pengajaran di rumah daripada harus membantu ibunya mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Ayah Joan berambisi mengirim Mathew dan/atau John—putra kedua keluarga itu—ke pertapaan Fulda, tempat para imam mengenyam pendidikan. Sedang bagi Joan…yah…apakah pilihan yang tersisa selain apa yang diharapkan dari seorang perempuan pada masa itu: menjadi istri penurut dan pengurus anak serta rumah tangga.

Namun ternyata Joan berani menjalani hidup di luar kebiasaan. Semuanya dimulai ketika Matthew--yang digadang-gadang ayahnya untuk sekolah menjadi imam--meninggal dunia, sehingga John-lah yang kini menjadi tumpuan harapan sang kanon. Ketika Aesculapius--seorang imam yang menjadi kepala sekolah di schola (sekolah) milik Gereja--mengunjungi keluarga mereka, sang kanon mengharapkan John pergi bersama Aesculapius untuk masuk schola. Sang imam mengetes calon muridnya, dan mendapati John tak dapat diharapkan, justru Joan lah yang kecerdasannya bersinar karena Matthew sering mengajarnya membaca ketika masih hidup. Aesculapius adalah guru pertama Joan.

Segera terlihat bahwa kecerdasan dan kemampuan Joan berdebat sangat mengagumkan. Meski dihalang-halangi dengan berbagai cara (termasuk siksaan ayahnya), Joan tetap keras kepala untuk dapat sekolah. Ia akhirnya melarikan diri dari rumah untuk menemani John masuk ke schola di Dorstadt yang dikepalai seorang Uskup. Di sanalah ia berjumpa dengan seorang ksatria bernama Gerold, yang langsung mengambil Joan sebagai anak angkatnya untuk menemani putri-putrinya sendiri.

Bisa bersekolah bukan berarti kemerdekaan bagi Joan. Seperti hampir semua orang pada jaman itu yang membenci wanita yang ingin menuntut ilmu, Joan pun diperlakukan sangat tidak adil selama sekolah di schola. Semua penderitaan itu ia telan saja, karena toh dari kecil pun Joan telah kenyang dengan siksaan dari ayahnya. Ketekunan dan impiannya membuat Joan berani dan makin kuat. Hanya Gerold lah satu-satunya laki-laki yang memperlakukan Joan sederajat. Namun justru karena itulah, percik-percik romansa mulai menghiasi hati keduanya. Perasaan cinta itu makin lama makin kuat seiring semakin matangnya usia Joan, dan semakin dekat hubungan mereka karena saling pengertian yang tumbuh di antara mereka. Hingga pada suatu hari istri Gerold mendengar kesaksian dari seseorang yang telah melihat mereka berciuman.

Untuk mendinginkan perasaan cinta terlarangnya, Gerold sengaja menunaikan tugas dari Kaisar untuk berperang di tempat lain. Dan saat itulah istri Gerold bersiasat untuk menikahkan Joan dengan seorang pria. Tepat pada hari pernikahannya, datanglah kaum Viking yang masih barbar menyerang katedral di Dorstadt itu, membunuh semua orang, termasuk keluarga Gerold serta John kakaknya! Joan yang beruntung dapat bersembunyi selama pembantaian itu, tiba-tiba menemukan jalan menuju kebebasan. Ia dapat "meminjam" identitas John. Joan merasa Gerold tak menginginkan dirinya lagi maka ia pergi jauh, sehingga Joan pun mengeraskan hati untuk melupakan cintanya, demi menggapai harapan yang membentang di depannya. Maka pada hari itu, dari pintu katedral yang hancur, keluarlah seorang pemuda--satu-satunya korban yang selamat--yang dengan langkah pasti menuju ke biara Fulda untuk menjadi imam di sana...

John Anglicus, nama baru Joan sebagai laki-laki, akhirnya menjadi seorang imam yang dikenal cerdas. Imam tua yang menjadi tabib mengajarinya untuk menyembuhkan penyakit. Dari sana pamor John Anglicus ini semakin cemerlang--yang membuat hidupnya semakin menderita karena banyak orang iri dan dendam padanya, hingga akhirnya takdir menyeretnya hingga ke Roma, ke istana Kepausan. Ia tiba di Roma ketika Paus Sergius sedang berkuasa. Dari kegiatannya merawat Paus inilah, Joan jadi mengenal intrik politik kotor di sekeliling Paus. Dan alangkah terkejutnya Gerold yang tengah mendampingi Kaisar Lothar mengunjungi Paus Sergius, ketika ia mendapati imam yang bernama John Anglicus itu tak lain tak bukan adalah Joan--permatanya--yang ia kira telah mati dibantai kaum Viking!

"Sungguh aneh apa yang terjadi pada hati manusia. Orang dapat saja terus hidup selama bertahun-tahun, terbiasa kehilangan, serta berdamai dengannya, tetapi kemudian, dalam sekejap saja, rasa sakit itu muncul kembali bersama rasa pedih dan perih seperti luka yang masih baru." ~hlm. 495. Seperti itulah perasaan Joan yang meski berusaha melupakan Gerold, namun pria itu tetap terpatri di hatinya.

Dan Joan pun kini terbelah antara keinginan untuk melarikan diri dari Roma, untuk bersatu sekali dan selamanya dengan pria yang dicintainya, atau mengabdi pada umat dan Gereja dengan segenap kemampuannya. Sebelum mampu mengambil keputusan, tiba-tiba saja datang kabar itu: umat telah memilihnya sebagai Paus berikutnya, ketika Paus yang berkuasa saat itu mangkat. Tiba-tiba saja Joan memegang tampuk kekuasaan tertinggi di Roma. Padahal di sisi lain ada sebuah keluarga yang amat berambisi menjadikan salah satu putranya untuk menjadi Paus. Begitu ambisiusnya, sehingga mereka rela melakukan apa saja. Berhasilkah mereka mencongkel posisi Joan? Dan setelah menjadi Paus, bagaimana kah hubungan Joan dengan Gerold? Bagaimana akhirnya identitas asli Joan bisa terungkap?

Donna Woolfolk Cross telah berhasil merangkai kisah ini dengan cantiknya! Dari fakta sejarah yang cuma sedikit itu (karena keberadaan Pope Joan telah dihapus dari dokumen Gereja Katolik), digabungkan dengan kisah fiktif, menghasilkan kisah yang seru, mendebarkan sekaligus mengaduk-aduk emosi. Mulai miris melihat penderitaan perempuan jaman itu, ngeri akan pembantaian manusia yang kejam, jijik akan politik vulgar para petinggi Gereja, hingga terbuai oleh cinta yang kuat di antara Joan dan Gerold. Membaca kisah ini membuatku dapat melihat bahwa saat-saat itu benar-benar Jaman Kegelapan. Bagi umat manusia, terutama bagi kaum wanita. Tak heran bila pada jaman itu ada beberapa wanita pemberani yang terpaksa menyamar menjadi laki-laki demi melepaskan diri dari kehidupan tanpa harapan itu.

Aku memberikan 5 bintang untuk Pope Joan. Entah bagaimana, emosiku begitu terlibat selama membaca buku ini. Mungkin, itu karena aku melihat diriku sendiri pada sosok Joan, seorang wanita yang merasa dirinya tak sama dengan wanita pada umumnya, yang memiliki keteguhan untuk menjadi penguasa atas hidupnya sendiri, dan meski mencintai seorang pria, namun ia tak pernah bisa menyerahkan dirinya kepada seorang laki-laki seutuhnya. Meski kisah Joan terjadi lebih dari satu milenium yang lalu, namun menurutku hingga kapan pun perempuan akan tetap berada sedikit di bawah laki-laki. Itulah kodrat perempuan, dan hanya ada dua pilihan untuk menghadapinya, berkompromi atau menolak.

Akhirnya kita semua tak pernah tahu apakah kisah Pope Joan ini benar-benar nyata, ataukah hanya sebuah legenda? Namun mana pun yang benar, kisah keberanian Joan untuk mendobrak ketidakadilan terhadap kaumnya memberikan pencerahan bagi kaum perempuan masa kini.

"Terangnya harapan yang dipantikkan oleh para perempuan tersebut hanya serupa kelap-kelip cahaya kecil di samudra kegelapan, tetapi nyalanya tidak pernah sepenuhnya padam. Kesempatan selalu ada dan tersedia bagi kaum perempuan yang cukup kuat untuk bermimpi. Pope Joan adalah kisah dari salah satu pemimpi itu." ~hlm. 732.

Judul: Pope Joan
Penulis: Donna Woolfolk Cross
Penerjemah: FX Dono Sunardi
Penyunting: Vitri Mayastuti
Penerbit: Serambi
Terbit: Januari 2007
Tebal: 736 hlm

Monday, March 12, 2012

Pontius Pilatus

Kalau ada yang bertanya kepadaku, siapa di antara tokoh-tokoh Romawi yang namanya paling dikenang sepanjang masa? Julius Caesar? Jawabku: bukan, Pontius Pilatus! Bagi umat Katolik, nama orang-bukan orang-kudus yang paling banyak disebut-sebut pastinya Pontius Pilatus. Bayangkan, tiap kali kami mengucapkan kredo Aku Percaya, namanya selalu terselip:

“Aku percaya akan Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, dan akan Yesus Kristus PutraNya yang tunggal, (.....), yang menderita sengsara dalam pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, wafat dan dimakamkan…”

Dan kredo itu diucapkan setiap kali Misa di seluruh dunia, juga dalam doa-doa harian umat Katolik. Nama Pontius Pilatus juga tercetak di semua Alkitab di seluruh dunia. Meski peristiwa penyaliban Yesus
merupakan rencana Tuhan, tapi mau tak mau kami harus mengakui bahwa peran Pilatus dalam peristiwa yang mengubah sejarah itu memang sangat besar. Novel fiksi sejarah
Pontius Pilatus yang ditulis oleh seorang sejarawan bernama Paul L. Maier ini menjabarkan secara terperinci sosok Pontius Pilatus yang mendekati kenyataan, karena Maier menulis buku ini dengan pendekatan sejarah dan kitab suci.

Pada masa pemerintahan Kaisar Tiberius, Pontius Pilatus adalah seorang Tribun kohor praetorian pertama (pemimpin pasukan) di bawah Prefek (pemimpin pasukan elite pengawal kaisar) L. Aelius Sejanus. Saat itu Sejanus merupakan prefek yang tengah bersinar bintangnya, dan Pilatus sebagai bawahannya berharap turut menikmati kesuksesan dalam karirnya dengan selalu setia pada Sejanus—yang seperti dirinya juga berasal dari kaum equestrian (kalangan menengah di Roma). Suatu hari datanglah penugasan bagi Pilatus untuk menjadi Prefek atau Gubernur di wilayah jajahan Roma di Yudea. Saat itu Yudea adalah salah satu daerah yang paling sulit ditundukkan oleh Roma, karena disanalah tinggal kaum Yahudi yang sulit diatur dengan fanatisme agamanya yang amat kuat.

Singkat kata, Pilatus akhirnya berangkat juga bersama istri yang baru saja dinikahinya: Procula. Meski sebelumnya ia telah banyak belajar dan berkonsultasi dengan koleganya tentang Yudea dan kaum Yahudi, apa yang kelak akan dihadapinya sungguh-sungguh di luar dugaannya. Namun sebenarnya, bukan hanya masalah orang Yahudi saja yang harus dipikirkan Pilatus. Kita tahu bahwa Palestina saat itu merupakan negara jajahan Roma. Di satu sisi Pilatus harus mengakomodasi kehendak Roma agar Yudea taat dan tunduk pada Roma, namun di sisi lain ia harus dapat berkompromi dengan kaum Yahudi yang sangat kuat memegang tradisi keagamaannya hingga ke titik fanatik.

Beberapa kali Pilatus sempat bergesekan dengan para pejabat Sanhedrin (semacam dewan agama) dan Imam Agung dalam hal-hal sepele namun nyaris menimbulkan pemberontakan rakyat Yahudi. Begitulah posisi seorang gubernur yang ditempatkan di Yudea, selalu terjepit antara politik dan teologis. Sementara Pilatus berkutat dengan pekerjaannya di Yudea, pergolakan politik juga terkadi di Roma sendiri. Sejanus yang setia dan diperkirakan akan menggantikan Tiberius sebagai Kaisar, ternyata tak lebih daripada seorang oportunis kejam yang berambisi menjadi kaisar. Ketika Sejanus dan antek-anteknya dibasmi dari Roma, kedudukan Pilatus pun berada di ujung tanduk. Maka dalam tindakannya, selalu ada ketakutan bahwa ia akan membuat marah Kaisar, lalu ia dan keluarganya akan dipulangkan dan dibunuh.

Dalam kondisi seperti itulah tiba-tiba muncul di Galilea seorang nabi bernama Yesus dari Nazareth. Pilatus yang tidak percaya dewa-dewi Yunani dan skeptis terhadap hal-hal mistis dan keagamaan, awalnya menganggap enteng sang nabi yang tampaknya tak memiliki ambisi politik itu. Namun lama-kelamaan Yesus mulai masuk ke Yudea dan meresahkan orang Yahudi di sana karena dianggap menghujat Allah. Puncaknya terjadi saat menjelang Paskah di mana umat Yahudi berbondong-bondong ziarah ke Yerusalem.

"Inilah tahun yang mengubah arah sejarah manusia dan menjungkir-balikkan banyak lapisan di dalam kebudayaan dunia, sejak dari sistem penanggalan di bumi sampai dengan nilai-nilai filsafat dan agama yang mendalam. Namun tak ada seorang pun yang menduganya pada bulan-bulan pertama tahun 33. Tak ada seorang pun tahu bahwa pada suatu saat bukan Roma yang menentukan peristiwa-peristiwa dunia, dan tak seorang pun menduga bahwa Yerusalemlah yang menentukannya."

Saat pengadilan bersejarah tanggal 3 April 33 itu, Pilatus--yang tak menemukan kesalahan apa pun pada Yesus--sebenarnya telah melakukan segalanya untuk membebaskan Yesus dari hukuman mati yang diajukan oleh Sanhedrin. Seharusnya tahanan dengan tuduhan agamis diadili sendiri oleh Sanhedrin, tapi demi menyenangkan Roma, Pilatus telah mengubah aturan itu dengan mengambil alih setiap keputusan hukuman mati di tangannya. Sanhedrin boleh mengadili, tapi Pilatus yang menjatuhkan hukuman mati. Untuk kasus Yesus, Pilatus memutuskan untuk ikut mengadili.

Terhitung 5 kali Pilatus mencari akal untuk tidak menjatuhkan hukuman mati. Awalnya Ia memindahkan kasusnya ke Herodes Antipas yang menguasai Galilea--yang kemudian mengembalikan kasus itu ke Pilatus lagi. Lalu Pilatus berusaha mengajukan solusi pembebasan tawanan tiap Paskah yang sudah menjadi tradisi. Kali ini ia mengajukan 2 pilihan saja: Bar-Abbas si perampok kejam, atau Yesus yang kesalahannya ringan. Bayangkan betapa terkejutnya Pilatus ketika rakyat memilih Bar-Abbas untuk dibebaskan, dan minta Yesus disalibkan! Mentok lagi. Ia lalu menyuruh Yesus didera sebagai hukuman, agar rakyat bersimpati. Gagal juga. Bahkan Pilatus berkata dengan nada memelas pada rakyat: "Ecce homo!" (lihatlah orang ini...), namun rakyat tak bergeming dan malah mengajukan tuduhan yang lebih berat.

Kembali Pilatus menanyai Yesus sendirian, di mana terlontar pertanyaan Pilatus yang terkenal itu: "Apa itu kebenaran?". Karena Yesus tak membela dirinya, Pilatus pun bingung. Dan akhirnya ancaman dari Sanhedrin untuk mengadukan Pilatus kepada Kaisar meruntuhkan hati nuraninya. Pilatus dipaksa untuk menjatuhkan hukuman mati itu, meski akhirnya ia cuci tangan.

Dengan membaca buku ini, kita akan diajak memahami peristiwa penyaliban Yesus dari sudut pandang Pilatus sebagai pejabat Roma. Kalau selama ini kita merasa bahwa Pilatus pengecut, namun dengan menyadari situasi saat itu, kita mungkin akan melakukan yang sama bila berada di tempatnya. Kita akan berusaha membantu orang yang tak bersalah, tapi kita pasti akan memikirkan keselamatan diri sendiri kalau bukan orang yang kita cintai. Dan ingat, saat itu Yesus hanya dianggap sebagai nabi biasa, bukan putra Allah!

Yang lebih menarik dari buku ini adalah kisah hidup dan karier Pilatus setelah peristiwa penyaliban itu, suatu hal yang tak pernah kita pikirkan. Apakah ia makin sukses dan kembali ke Roma? Apakah ia menyesali perbuatannya? Apakah ia akhirnya beriman Kristen? Hal-hal itulah yang menarik dari buku ini, selain juga kisah perkawinannya dengan Procula yang terjalin mesra selama sepuluh tahun. Cintanya kepada Procula lah yang menegarkan Pilatus ketika dipanggil menghadap Kaisar Tiberius yang mungkin merupakan hukuman mati baginya.

Dan akhirnya...seperti kata Saulus (Paulus)..

"Baik Pilatus maupun Kornelius (bawahan Pilatus) merupakan bagian dari rencana Allah yang Mahatinggi bagi umat manusia. Apa yang terjadi pada hari raya Paskah itu penting bagi seluruh alam. Seluruh sejarah akan berkisar pada peristiwa itu. Suatu ketika nanti Pilatus akan paham."

Yang jelas, aku menjadi lebih paham tentang peran seorang Pontius Pilatus dalam rencana Allah ini.

4 bintang aku berikan untuk buku ini yang dijadikan 2 bagian oleh Penerbit Dioma. Harusnya aku ingin memberikan 5 bintang, namun sayang banyak typo di sana-sini yang lumayan mengganggu. Catatan-catatan kaki dan penulisan sumber sejarah membuatku semakin menghargai kisah yang aku yakin telah ditulis dengan cermat oleh Paul L. Maier.

Judul: Pontius Pilatus
(buku 1: Dari Panglima Sampai Takhta Gubernur;
buku 2: Dari Pengadilan Kontroversial Sampai Kejatuhan)
Penulis: Paul L. Maier
Penerjemah: FX Bambang Kussriyanto
Penerbit: Dioma
Terbit: buku 1: September 2009; buku 2: Oktober 2009
Tebal: buku 1: 320 hlm; buku 2: 298 hlm

Tuesday, November 22, 2011

The Pilate's Wife

"Ketika Pilatus sedang duduk di kursi pengadilan, isterinya mengirim pesan kepadanya: "Jangan engkau mencampuri perkara orang benar itu, sebab karena Dia aku sangat menderita dalam mimpi tadi malam." (Mat 27:19)

Istri Pontius Pilatus mungkin saja takkan pernah dikenal dunia, kalau bukan karena campur tangannya dalam peristiwa penyaliban Yesus, meski perannya sangat kecil. Sejarah Claudia, nama sang istri Pilatus, juga tak banyak memberi kejelasan. Namanya pun hingga kini masih belum dipastikan, ada yang menyebutnya Claudia Procula, ada pula yang mencantumkan Claudia Procles. Dengan begitu minimnya data sejarah yang ada, memaksa Antoinette May--seorang jurnalis, untuk membuat tulisan mengenai Claudia sebagai karya fiksi bergenre historical fiction. Meski aku juga ragu apakah kadar sejarah dalam buku ini memang ada. Baiklah, kita mulai mengupasnya saja...

Kisah Istri Pilatus dimulai dari masa kecil Claudia di propinsi Galia. Ibu Claudia adalah sepupu Agrippina yang adalah cucu Kaisar Agustus. Agrippina menikah dengan Germanicus, seorang Panglima Tertinggi tentara Rhine, anak hasil adopsi kaisar yang saat itu memerintah, yaitu Tiberius (pada th. 16 Masehi). Ayah Claudia merupakan orang kedua di bawah Germanicus, sehingga keluarga Claudia pun harus hidup berpindah-pindah sesuai penugasan Germanicus. Sejak usia 10 tahun, Claudia telah menyadari bakatnya sebagai seorang peramal lewat media mimpi. Salah satu yang pernah hadir dalam mimpinya, adalah bahaya yang dihadapi Germanicus, paman yang amat disayanginya.

Sosok Germanicus dengan cepat menjadi pahlawan yang dicintai rakyat, dan semua orang pun yakin cepat atau lambat ia akan naik takhta menjadi kaisar berikutnya. Semua kecuali Tiberius, tentu saja. Sementara itu, Germanicus dan keluarga Claudia akhirnya masuk ke Roma. Suatu saat mereka semua pergi menonton pertunjukan gladiator di Circus Maximus bersama Tiberius. Saat itu Claudia berhasil menebak (atau dalam hal Claudia, meramal) pemenang pertandingan, yaitu seorang gladiator muda bekas budak bernama Holtan.

Lalu kisah pun bergulir mengenai sanak keluarga Claudia. Marcella--kakaknya tertangkap basah bercinta dengan Caligula, putra Germanicus, dan akhirnya dihukum oleh Ibu Suri Livia dengan menjadikannya Perawan Vesta. Caligula ini adalah salah seorang kaisar Romawi yang bengis dan setengah gila yang kita ketahui lewat sejarah. Kaisar Nero--yang melakukan pembakaran dan penyiksaan banyak umat Kristen di jaman Rasul Paulus, juga berasal dari keturunan Germanicus.

Bagaimana dengan Claudia? Di usianya yang beranjak dewasa, ia menemukan ketenangan dalam penyembahan dan pemujaan kepada Dewi Isis. Ia bahkan menjalani semacam 'tahbisan' sebagai pengikut Dewi Isis tanpa seijin orang tuanya. Pemujaannya ini agak menyimpang dari kebiasaan, karena dewi yang ia sembah adalah dewi Mesir. Selanjutnya, hingga ia dewasa, Claudia selalu menggantungkan dirinya pada pertolongan Isis, lewat benda bernama sistrum yang ia kenakan di lehernya sebagai semacam kalung jimat. Ada yang menarik saat Claudia pertama kali menginjakkan kaki ke kuil Isis. Di sana ia bertemu seorang pemuda misterius berusia 20 tahun yang matanya seolah mampu menembus jiwa. Pemuda itu memperkenalkan dirinya sebagai Yeshua, atau di Romawi disebut Yesus....

Saat tiba waktunya mencari jodoh, ia terpikat pada seorang pria muda yang karirnya sedang menanjak, bernama Pontius Pilatus. Saat itu Pilatus adalah centurion (perwira) yang baru mendapat kemenangan. Demi mendapatkan cinta Pilatus, Claudia pergi ke kuil Isis dan meminta semacam mantra dari pendetanya. Pilatus muda memang terpikat pada Claudia, namun jelas terlihat dari awal, bahwa itu bukan karena mantra. Ia mencintai Claudia karena keunikannya, karena pandangan-pandangannya yang ia hormati. Singkat kata, menikahlah Claudia dengan Pilatus.

Awalnya, hidup perkawinan mereka tampak indah dan sempurna. Namun tiba-tiba terjadi hal yang tak disangka-sangka. Germanicus tiba-tiba sakit keras, dan tak ada dokter yang bisa mengobati hingga ajalnya tiba. Desas-desus pun beredar bahwa Germanicus dikutuk. Pamor keluarga Claudia pun merosot karena berseberangan dengan sang kaisar. Saat itu Claudia mendapati dirinya hamil, namun sayangnya ia keguguran sehingga tak mampu memberikan putra yang didambakan Pilatus.

Entah karena itu, atau karena ambisinya, Pilatus segera saja memiliki beberapa kekasih, wanita-wanita berpengaruh di Roma. Meski pendeta Isis menenangkan Claudia, bahwa hanya dirinyalah yang dicintai Pilatus, Claudia menjadi tak bahagia. Di saat itulah, sang gladiator tampan dari masa remajanya, kembali memasuki hidupnya. Holtan segera menjadi kekasih gelapnya. Cinta Claudia kepada Pilatus pun segera pupus, bahkan putri yang akhirnya dilahirkan Claudia bagi suaminya, tak sanggup mengubah perasaan Claudia.

Kisah tentang kehidupan Claudia ini memenuhi hampir tiga perempat buku ini, sebelum peristiwa besar itu datang. Semuanya bermula ketika Pilatus ditugaskan Tiberius menjadi gubernur Romawi di Yudea. Di Yudea, Claudia bertemu dengan teman lamanya, seorang pelacur tingkat tinggi bernama Miriam dari Magdala. Kelak ia dikenal sebagai Maria Magdalena, pengikut Yesus yang setia.

Nah, bagian inilah yang membuatku kurang suka dengan karya Antoinette May ini. Miriam dikisahkan jatuh cinta, lalu menikah dengan Yesus di Cana. Aku sadar, bahwa karya ini adalah karya fiksi. Sama seperti karya-karya Dan Brown. Namun menurutku, May telah mengambil resiko terlalu besar. Dengan mengambil tema Istri Pilatus, tentu pembaca mengharapkan karya fiksi ini berhubungan dengan kisah Alkitab. Menurutku, jauh lebih baik bila May tetap mempertahankan kisah asli dari Alkitab, sambil menambahkan detail fiktif ke dalam karakter Claudia. Apalagi fakta yang ia ubah di sini sangatlah sensitif, yaitu mengenai Yesus. Entahlah, tapi bagiku pribadi, bagian ini sangat mengganggu keseluruhan kisah. Seorang penulis harusnya peka dalam menciptakan fiksi sejarah. Ada hal-h`l vital yang sebaiknya dibiarkan saja, dan menambahkan detail-detail yang kurang saja. Dengan cara yang ia ambil ini, May menjadi tak ubahnya (maaf) Dan Brown, yang mengumbar sensasi belaka ketimbang menyuguhkan historical fiction yang bermutu.

Kembali pada kisah Claudia, hasratnya pada Holtan makin menggebu hingga akhirnya ia pun selingkuh. Satu hal lagi yang rasanya aneh. Sejak awal Claudia lah yang 'ngebet' mendapatkan cinta Pilatus, sampai rela 'mengemis' mantra pada Isis. Pilatus akhirnya memhlih Claudia dan mencintainya sepenuh hati, namun tiba-tiba saja hati Claudia tertutup bagi Pilatus gara-gara godaan seorang gladiator. Terus terang saja, aku tak suka pada karakter Claudia yang plin plan sekaligus egois ini. Sepanjang kisah, terlihat bahwa Claudia sangat impulsif. Ia sering menempuh bahaya, hanya untuk memenuhi keinginannya. Bayangkan, seorang istri gubernur menerima Miriam yang pelacur di rumahnya, hanya karena Miriam sahabatnya. Atau ia nekad bertemu dengan selingkuhannya, Holtan, saat ia seharusnya mendampingi Pilatus dalam situasi kritis. Sungguh, Claudia itu wanita egois dan bodoh!

Memasuki seperempat terakhir buku ini, kisah memang meruncing, dan banyak bagian dari Alkitab dikisahkan di sini. Di antaranya pesta Herodes, di mana Salome--dipengaruhi Herodias ibunya, menari dan akhirnya meminta kepala Yohanes Pembaptis kepada Herodes yang tergiur pada kecantikan Salome. Masuknya Yesus menunggang keledai ke Yerusalem, dielu-elukan banyak orang yang membawa daun palem, juga diabadikan di sini. Dan akhirnya, penangkapan Yesus hingga dihadapkan pada pengadilan Pilatus. Claudia, yang sebelumnya sering mengalami mimpi mengerikan tentang pria bermahkota duri, segera menyadari nasib Yesus. Termasuk, bagaimana nasib Yesus itu juga akan mempengaruhi takdir Pilatus. Dalam mimpinya, ia melihat bahwa nama Pilatus akan terus bergema menjadi salah satu penyebab Yesus disalibkan. Karena itulah, ketika situasi makin genting, ketika rakyat berteriak-teriak minta Yesus disalibkan, Claudia pun mengirim pesan bersejarah itu kepada Pilatus.

Lukisan yang menggambarkan Yesus diadili oleh Pilatus

Tentu saja, akhirnya telah kita ketahui bersama. Tak mungkin seorang Antoinette May sanggup mengubah bagian 'yang ini'. Ada lagi bagian kecil yang membuatku muak juga, masih berkaitan dengan tokoh Miriam, setelah Yesus disalibkan. Mungkin sebaiknya tak kuungkap di sini, agar akhir kisah ini tetap terjaga, termasuk bagaimana keputusan Claudia untuk memberikan cintanya. Akankah ia berpaling pada Holtan, atau tetap bersama Pilatus?

Untuk semua alasan yang kuungkapkan di atas, tiga bintang kuberikan pada Istri Pilatus ini. Di luar kisahnya sendiri, penerbit Gramedia telah menyuguhkan sebuah kisah sejarah ber-setting Romawi dengan terjemahan yang bersih, dan desain cover yang menawan.

Judul: Istri Pilatus (Pilate's Wife)
Penulis: Antoinette May
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno
Desain cover: Marcel A.W.
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Juli 2011
Tebal: 544 hlm

Thursday, November 17, 2011

Conspirata

Orang tolol sembrono mana pun bisa menjadi pahlawan jika tidak menghargai nyawanya sendiri, atau tidak cukup pintar untuk menyadari adanya bahaya. Tetapi, dengan memahami resiko, bahkan berjengit pada mulanya, tetapi kemudian menghimpun keberanian untuk menghadapinya—menurutku, itulah bentuk keberanian yang paling terpuji.

Kurasa ungkapan di atas memang tepat untuk menggambarkan sosok seorang Marcus Tullius Cicero, senator, orator, konsul dan Bapak Negara Republik Romawi pada abad pertama sebelum Masehi. Perjuangan Cicero merangkak dari bawah hingga menduduki tempat tertinggi di pemerintahan negara, telah dengan apik dituturkan oleh Robert Harris di buku pertama dari sebuah trilogi, yaitu: Imperium. Dan kini, lewat bagian keduanya—Conspirata, anda akan dibawa melihat sendiri, mengapa aku merasa Cicero layak disebut pemberani, kalau bukan pahlawan, pada jamannya. Conspirata ini masih dituturkan dari sudut pandang Tiro, budak dan sekretaris Cicero.

Bagi anda yang telah membaca Imperium pasti telah mengerti, bahwa cita-cita Cicero adalah menjadi konsul, meraih kedudukan tertinggi di pemerintahan Republik Romawi (bagi yang belum membaca Imperium, wajib membaca dulu, sebelum membaca buku ini!). Namun ternyata, belum lagi upacara penobatannya sebagai konsul dilangsungkan, Cicero telah dihadapkan pada sebuah kejutan. Teka-teki mayat seorang anak lelaki, korban sebuah upacara ritual, muncul hanya dua hari sebelum ia resmi menjadi konsul. Dan jangan lupa, sebagaimana dikisahkan di Imperium, bahwa Julius Caesar, Crassus dan kroni-kroni mereka sedang memperjuangkan undang-undang untuk membagi-bagi tanah negara kepada rakyat miskin. Satu lagi PR besar bagi Cicero untuk menyelamatkan Republik.

Begitu memasuki periode sebagai konsul, Cicero langsung dihadapkan pada masalah-masalah serius. Tampaknya Caesar, musuh utamanya yang licik dan ambisius, langsung tancap gas. Di satu sisi ada fraksi patricius: Catulus, Hortensius dkk yang dihadapkan pada penuntutan seorang senator tua, di sisi lain ada kaum populis yang (dalihnya) membela kepentingan rakyat: Caesar, Crassus dan Pompeius, dengan undang-undang tanahnya. Ke mana Cicero harus memberikan dukungannya? Belum lagi kenyataan pahit yang harus dihadapinya, bahwa dirinya menjadi target pembunuhan oleh lawan-lawannya, yang disutradarai oleh…siapa lagi kalau bukan lawannya yang paling haus balas dendam: Catilina?

Satu persatu masalah dihadapi Cicero dengan berani. Seperti biasanya, menggunakan kepiawaian retorika, strategi yang jitu, serta kemampuan diplomasinya. Namun sebenarnya yang paling menarik dari karakter Cicero adalah keteguhannya untuk selalu taat pada idealisme yang diyakininya. Banyak negarawan atau politikus yang hanya di awal saja berkoar-koar tentang berjuang bersama rakyat dan demi bangsa. Namun setelah menjabat, mereka malah sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka tetap berjuang, namun berjuang untuk tetap menjabat, berjuang untuk tetap mendapat kehormatan, berjuang untuk menumpuk harta. Pendeknya, berjuang demi keuntungan diri sendiri.

Tidak begitu halnya dengan Cicero. Boleh dibilang, perjuangan yang ia lakukan adalah demi Republiknya yang ia cintai dengan sepenuh hati. Dua provinsi, yang semestinya menjadi ladang untuk menimbun kekayaan setelah selesai menjabat konsul, ia hibahkan pada konsul lain demi kompromi politik. Itu artinya, Cicero tak akan mendapat apa-apa setelah turun jabatan. Dan bukan itu saja, karena ia tidak “ikut arus”, ia menjadi lawan empuk musuh-musuhnya karena berjuang sendirian.

Paling tidak dua kali Caesar menawarkan koalisi pada Cicero, salah satunya adalah saat berusaha mengesahkan undang-undang tanah yang digagasnya. Untungnya, Cicero mampu melihat skema besar yang ada di benak Caesar dengan undang-undang itu, yaitu kejatuhan republik. Seperti yang kita ketahui dalam sejarah, Julius Caesar memang memiliki ambisi sangat besar untuk menguasai Romawi, dan memimpinnya dengan kediktatoran. Untunglah bagi Romawi saat itu, karena mereka memiliki negarawan yang berhati nurani ‘bersih’ seperti Cicero. Tak mau terlena dengan tawaran perlindungan penuh dari Caesar, Cicero maju menghadapi bahaya nyawanya sendiri, demi keselamatan republik, yang hendak dicabik-cabik lawan.

Sangat menegangkan ketika cerita bergulir pada usaha pembunuhan terhadap Cicero di rumahnya. Bagaimana seisi rumah menyewa para pengawal, bagaimana mereka memalang pintu rumah, dan mengganjalnya dengan perabot, bagaimana mereka menyiapkan karung juga air untuk mengantisipasi serangan pembakaran. Dan setelah akhirnya lolos dari lubang jarum, bukannya ketakutan dan memilih berkompromi dengan lawan, Cicero justru bangkit dan membuka borok konspirasi jahat untuk meruntuhkan Republik, ke hadapan senat dan rakyat. Dengan cara apalagi kalau bukan dengan orasi. Konspirasi digagalkan, dan tak ada jalan lain untuk menghancurkannya, selain dengan menghukum mati para pencetusnya. Cicero pun dielu-elukan rakyat, dan diangkat sebagai Bapak Bangsa karena dengan berani telah menyelamatkan Romawi. Setidaknya pada saat itu.

Karena ternyata, musuh-musuhnya [baca: Cicero dan republik] belumlah jera. Rasanya baru saja Cicero menghembuskan napas lega untuk menikmati kejayaannya, pada tarikan napas berikutnya, ia harus kembali berhadapan lagi dengan maneuver berbahaya Caesar. Khusus kepada Caesar, Cicero memiliki kesan antara jijik dan kagum. Komentarnya tentang Caesar: “Orang itu penjudi paling luar biasa yang pernah kutemui. Setiap kali kalah, dia hanya menggandakan taruhannya dan melempar dadu lagi.

Namun, seperti yang sering terjadi pada kemurnian dan kebenaran, pesona kekuasaan begitu menggoda dan menarik banyak orang, sehingga akhirnya harus menghancurkan kemurnian. Hal yang sama terjadi pada Cicero. Teman-temannya, satu persatu menjauhinya, termasuk Pompeius Agung. Mereka yang dulu menjanjikan dukungan, kini bersatu dengan musuh dan seolah memalingkan muka dari si keras kepala yang bersikukuh mempertahankan republiknya.

Saat-saat itu adalah momen yang paling mengharukan di buku ini (tak pernah kusangka, aku akan menangis saat membaca kisah politik!). Sekaligus momen yang mencerminkan seperti apa Cicero yang sesungguhnya. Konon, kemurnian karakter manusia baru teruji saat dihadapkan pada tekanan berat. Tak ada ancaman yang dapat melemahkan Cicero, tak ada godaan yang dapat meluluhkannya. Tak ada kekecewaan yang sanggup menghancurkannya. Cicero hanya ingin memberikan yang terbaik bagi negaranya. Seperti yang dikatakannya dalam salah satu orasinya:

“Jangankan memimpin republik, menyelamatkannya pun sungguh pekerjaan tanpa penghargaan.”

Mungkin aku terkesan terlalu tinggi memuji Cicero. Toh sebagai negarawan, ia banyak melakukan kesalahan. Banyak pro dan kontra pada keputusan-keputusannya. Aku sendiri buta politik ataupun kenegaraan, namun dari penuturan Robert Harris yang cantik ini, aku bisa merasakan kegigihan seorang pahlawan dalam diri Cicero. Mungkin cara yang ia pakai salah, mungkin cita-citanya tak semurni yang seharusnya (hei..siapa sih yang mau bekerja keras kalau tak ada keuntungan sedikit pun baginya? Siapa sih yang tak ingin mendapat sesuatu dari jerih payahnya?), namun kalau saja ada sepuluh orang dengan hati bersih dan keberanian seperti Cicero di antara seratus yang ada di senat, pasti suatu negara akan lebih kuat. Mungkinkah itu? Ahh…sepertinya sosok seperti Cicero hanya ada satu setiap generasi (atau bahkan tak ada lagi?).

Dan jangan lupa, bahwa di luar pribadi Cicero atau prestasinya, kata-katanya terus menggema ke seluruh dunia, hingga dua ribu tahun setelahnya. Tak kurang dari dua orang mantan Presiden Amerika Serikat yang pernah terinspirasi atau tergugah oleh sumbangan pemikiran Cicero, yakni John Adams dan Thomas Jefferson. Inilah kata-kata John Adams tentang Cicero: “All ages of the world have not produced a greater statesman and philosopher combined.” Tak heran, bila ada pepatah yang mengatakan bahwa sebatang pena lebih dahsyat daripada sebilah pedang (the pen is mightier than sword). Sementara lawan-lawannya punya pasukan militer dan uang berlimpah, senjata Cicero satu-satunya adalah kata-katanya!

Di review ini aku sengaja tak membeberkan banyak tentang ceritanya, karena begitu serunya alur cerita, sampai aku bingung harus menuliskan bagian yang mana. Yang jelas, hanya satu kata yang tepat untuk menggambarkan Conspirata ini: Mengagumkan! Jadi, tak berlebihan kan kalau aku memberikan 5 bintang untuk buku ini? Sekali lagi… Bravo Cicero!

Judul: Conspirata
Penulis: Robert Harris
Penerjemah: Femmy Syahrani
Editor: Siska Yuanita
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Oktober 2011
Tebal: 504 hlm

Friday, October 28, 2011

Imperium

Ini adalah kisah anak manusia dengan segala kekurangannya, menapaki jenjang karier dari bawah, tanpa kelimpahan harta, tanpa kecurangan, tanpa dukungan kelas sosial. Hanya dengan suara dan tekadnya. Inilah kisah Marcus Tullius Cicero, sang orator terbesar pada jaman Romawi kuno, 2000 tahun yang lalu….

Imperium merupakan fiksi sejarah karya Robert Harris yang ditulis seolah sebagai sebuah memoar dari seorang negarawan jaman Romawi, dengan Tiro sebagai naratornya. Tiro sendiri awalnya adalah seorang budak rumahan milik ayah Cicero, yang lalu menjadi pengurus perpustakaan. Cicero meminjamnya untuk dijadikan sekretaris pribadinya. Pekerjaannya menjadi juru tulis seorang orator memaksa Tiro menulis secepat curahan kata-kata Cicero. Akhirnya Tiro menciptakan sistem penulisan cepat dengan simbol-simbol untuk mewakili kata atau frase tertentu. Sistem ini kelak disempurnakan dan dikenal sebagai sistem stenografi. Ada yang bilang, Tiro lah penemu sistem ini.

Aku dulu kuliah di fakultas kesekretariatan, dan pernah belajar steno, meski sekarang sama sekali kulupakan. Takjub juga ketika aku "berkenalan" dengan sang pencipta steno sendiri lewat buku ini. Inilah sistem steno yang dulu kupelajari di bangku kuliah.

Steno system Groote yang aku pelajari di bangku kuliah

Kembali ke kisah Cicero. Lahir di Arpinum dari keluarga menengah yang cukup berada (equestrian), Cicero menjadi pengacara muda bersuara serak dan kadang gagap pada usia 27 tahun. Bahkan pada saat itupun Cicero memiliki ambisi besar, dengan meminjam motto Achilles di epic Yunani karya Homer: "Far to excel, out-topping all the rest" ( Jauh mengungguli semua yang lain). Karena itu, Cicero berangkat ke Yunani untuk belajar filsafat (di Akademi Plato di Athena) dan seni retorika bersama Tiro. Meski Tiro adalah budak, Cicero mengajaknya belajar bersama, dan selama karirnya Cicero sangat menghargai Tiro sebagai asisten pribadi yang banyak berjasa bagi kesuksesan Cicero.

Guru yang paling berjasa dalam mengolah kemampuan Cicero berorasi adalah Apollonius Molon. Menarik untuk menyimak metode pengajaran Molon bagi para orator, yakni lewat olah tubuh dalam rangka memperkuat suara dan pernapasan. Karena menurut Molon yang terpenting dalam orasi bukanlah semata-mata isi atau tema orasinya, melainkan: penyampaian, penyampaian, dan penyampaian. Dan memang, kelak Cicero membuktikannya dalam banyak kesempatan.

ilustrasi gaya Cicero ketika berorasi

Untuk menjadi senator di Roma (sama seperti di republik kita tercinta ini), seseorang membutuhkan uang, paling tidak sejuta sestertius. Karena Cicero tak memiliki uang, ia lalu menikahi "uang" bernama Terentia, putri keluarga aristokrat. Maka Cicero pun segera menjadi senator, dan langsung menjadi senator terbaik kedua di Roma setelah Hortensius. Saat itu karir seorang negarawan menanjak lewat banyak jalan. Ada yang lewat jalan aristokrasi seperti Mettelus dan Hortensius, ada yang lewat kekayaan berlimpah seperti Crassus, ada juga yang lewat kekuatan militer seperti Pompeius dan Julius Caesar. Tak memiliki ketiganya, Cicero pun meretas jalan kesuksesan lewat jalur karir hukum.

Gara-gara dinas wajib di Sisilia sebelum resmi menjadi senat di Roma, Cicero memiliki hubungan baik dengan warga Sisilia. Hal ini kelak membantunya dalam sebuah kasus yang menjadi titik penting yang membuat Cicero mulai diperhitungkan dalam percaturan politik di Roma. Kasus itu adalah penjarahan dan suap besar-besaran yang dilakukan oleh Gubernur Sisilia bernama Gaius Verres, diawali oleh pengaduan Sthenius. Dalam kasus ini Cicero membuktikan bahwa ia mampu melawan kekuasaan dan kekayaan hanya dengan kata-kata yang dipadu dengan kecerdikan, tekad dan keberanian.

"Tidak ada satu hal pun yang tak dapat diciptakan atau dihancurkan atau diperbaiki dengan kata-kata." (Cicero) ~hlm 286.

Maka, dari jabatan quaestor (magistratus paling yunior), pelan-pelan ia menanjak menjadi aedilis, lalu praetor dan akhirnya maju dalam pemilihan umum untuk menjadi konsul. Tentu saja jalan yang harus dilaluinya begitu terjal dan penuh tantangan. Boleh dibilang Cicero adalah senator yang paling dibenci anggota senat lainnya. Banyak negarawan yang pernah menjadi "korban"nya, dan tentu saja menghalalkan segala cara untuk menghalangi jalannya untuk meniti karir tertinggi yang menjadi ambisinya.

ilustrasi Cicero dalam orasi maki-makiannya yang terkenal: In toga candida, saat ia mencaci-maki Catilina dan Antonius, lawannya (saat pemilihan konsul)

Menggabungkan filosofi dengan politik, kurasa Cicero adalah senator paling cerdas di Roma saat itu. Ditambah lagi, Cicero adalah negarawan yang "cinta rakyat". Dalam banyak kesempatan, ia menekankan bahwa suara rakyat adalah penentu jalannya pemerintahan. Ia pun piawai dalam berkampanye dan dalam pencitraan diri. Kedua hal itu menjadikan Cicero makin dicintai rakyat, karena dianggap berani melawan para aristokrat sombong yang tak memperhatikan kepentingan rakyat.

Seperti banyak pria "besar" yang berpengaruh, hampir selalu ada peran wanita di baliknya. Dalam hal Cicero, Terentia adalah sosok yang menyemangati dan seringkali memberikan solusi saat Cicero kehabisan akal. Paling tidak, dalam kasus korupsi Verres dan ketika Cicero menemukan konspirasi Crassus-Caesar untuk menjadi penguasa Romawi lewat suap besar-besaran, Cicero pun memakai ide dari Terentia yang terbukti mumpuni.

Di buku ini, anda juga akan menikmati kemunculan awal Julius Caesar muda. Di sini Caesar digambarkan sebagai politikus licik dan playboy. Ia berselingkuh dengan istri kawannya, dan bahkan Tiro pernah memergoki Caesar sedang bercinta dengan istri seorang imperator saat itu.

Membaca Imperium, aku jadi merasakan campuran antara ketegangan, kekecewaan, kegeraman, juga sukacita kemenangan, berganti-ganti sepanjang buku ini. Lewat Imperium, kita bisa lebih memahami tentang republik Romawi dengan keunikannya. Misalnya sistem dua konsul yang berbagi kekuasaan, menghindari kediktatoran. Lalu pengaruh status aristokrat yang sangat kuat dalam pemerintahan. Juga adanya tribunus (semacam DPR) yang mewakili rakyat dan bertugas mengesahkan undang-undang. Kita juga diajak melihat betapa licik dan busuknya konspirasi politik. Lawan bisa menjadi kawan, dan kawan bisa menjadi lawan. Robert Harris membuat novel bernuansa politik yang harusnya membosankan menjadi hidup. Saat orasi Cicero misalnya, aku bahkan bisa membayangkan suasananya, sekaligus orasinya yang kadang menghentak namun kadang menyentuh. Luar biasa!

Dan akhirnya, tentu saja kita jadi dapat mengenal sosok Cicero secara lebih pribadi dan manusiawi berkat penuturan Robert Harris lewat narasi Tiro. Ada perasaan haru menyeruak di dada ketika aku boleh mengenal sang orator terbesar, salah seorang berpengaruh di kerajaan terbesar yang pernah ada di bumi: Romawi. Tentu saja, mengenalnya lewat buku ini. Bravo Robert Harris! Dan aku pun tak sabar menunggu bagian kedua buku ini yang berjudul Conspirata. Siapa lagi yang akan menerbitkannya, kalau bukan Gramedia, yang telah menyajikan buku ini bagi kita lewat penerjemahan yang apik dan boleh dibilang "bersih". Empat bintang untuk Imperium!

Judul: Imperium
Penulis: Robert Harris
Penerjemah: Femmy Syahrani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Mei 2008
Tebal: 413 hlm