Dulu ketika masih duduk di bangku sekolah, aku selalu terpesona setiap kali berada di dalam gereja dekat sekolahku. Gereja itu dibangun sejak jaman Belanda, merupakan bangunan kuno yang atapnya tinggi, dinding tebal, interiornya penuh ornamen relief, ada banyak kaca mosaik pada jendela yang tinggi, dan suaramu akan bergaung ketika berbicara di dalam sana. Berada di bangunan setinggi dan sebesar itu membuatku merasa begitu kecil. Ketika mendongak ke atas rasanya aku dapat merasakan kehadiran Tuhan jauh di atas sana…Memang itu adalah khayalan anak-anak, karena nyatanya Tuhan ada di mana-mana. Namun harus kuakui bahwa perasaan sakral dan agung itu lebih mudah muncul ketika aku berada di gereja yang besar dan tinggi daripada di sebuah ruangan kecil.
Mungkin seperti itu juga perasaan umat Katolik pada abad 12 di Inggris yang sangat menyukai katedral. Mungkin mereka juga mengalami perasaan terpukau dan sakral yang sama ketika beribadat di katedral. Tak heran, kota-kota di sana berlomba-lomba membangun katedral agar kotanya dilirik para peziarah, dan dengan demikian membuat kota mereka menjadi lebih makmur. Persis seperti kondisi yang melatar belakangi novel ini…
Tom Builder adalah seorang tukang batu yang memiliki ambisi membangun sebuah katedral. Tom bukan tukang batu biasa, ia memiliki kemampuan mendesain bangunan katedral dari nol, sekaligus meuangkan desain itu ke atas gambar (waktu itu belum ada ilmu arsitektur). Ia juga mampu membuat perkiraan biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk membangun katedralnya. Hanya satu masalahnya, Tom tak kunjung menemukan gereja yang akan menggunakan jasanya untuk membangun katedral, sementara ia dan keluarganya yang miskin tak memiliki uang untuk menyambung hidup.
Philip kehilangan orang tua sejak kecil, dan sejak itulah ia dibesarkan di biara, dan akhirnya menjadi biarawan. Dari mengepalai biara kecil akhirnya karirnya menanjak dan ia menjadi Kepala Biara di Kingsbridge. Semua itu dicapai karena prestasinya, namun keberaniannya untuk selalu menjalankan kebenaran juga turut memberikan andil. Ketika gerejanya terbakar, ia pun menemukan alasan untuk membangun sebuah katedral.
Bisa diduga, di titik itulah kisah Philip bersilang jalan dengan kisah Tom Builder. Tom lantas memboyong keluarganya untuk tinggal di biara Kingsbridge: si sulung Alfred, si kecil Martha, Ellen—istri keduanya serta Jack, putra Ellen. Di sisi lain, ada Aliena dan Richard—putra putri Earl Shiring yang earldom-nya direbut paksa oleh keluarga Hamleigh karena Aliena menolak lamaran William Hamleigh. Prior Philip lah yang juga menyediakan perlindungan dan mengentaskan mereka dari lembah kemelaratan.
Sementara itu Philip sendiri tengah berjuang untuk dapat membangun katedralnya. Sayangnya proses pembangunan katedral --yang pada dasarnya dibangun demi tujuan yang baik—tak dapat berjalan dengan lancar. Banyak masalah yang dihadapi Prior Philip, mulai dari masalah keuangan, rebutan lahan dengan bangsawan, hingga kebencian dan keserakahan uskup yang ingin membangun istana bagi dirinya sendiri. Larangan mengambil kayu, kekurangan pekerja, pembakaran kota hingga penyerangan, berkali-kali harus dialami Kingsbridge. Bahkan masalah ini pun sampai ke telinga raja yang turut campur tangan. Ternyata untuk mendirikan rumah Tuhan, kita tidak hanya berurusan dengan Tuhan, tapi yang jauh lebih ruwet justru berurusan dengan manusia.
Dalam setiap masalah, Philip selalu menemukan pemecahan yang terbaik bagi semua pihak. Ada saat ia menang, dan lawannya pun harus mengakui kecerdikannya, sehingga pembangunan katedral dapat berjalan lancar. Namun ada pula saat Philip kalah, maka pembangunan katedral tersendat, dan musuh pun tertawa senang.
Maka boleh dibilang, pembangunan katedral sama dengan perjalanan hidup manusia. Meski seumur hidup kita berjuang selalu berbuat baik, dan tak henti berdoa, ada saat tertentu kita menang dan mendapatkan apa yang kita inginkan, namun ada juga saat kita harus menahan derita sakitnya dikalahkan dengan kejam. Semua tokoh di kisah ini pun mengalami hal yang sama, dan Ken Follett telah menjalin kisah mereka semua dengan sangat menawan. Anda akan dibuat emosional dengan menangis, tertawa, marah, bersedih, gembira dan tegang, berganti-ganti dari awal hingga akhir. Sekaligus anda akan mendapatkan wawasan tentang arsitektur katedral era Romanesque atau Gothik, sejarah abad pertengahan, serta indahnya kasih yang bersumber pada Sang Pencipta.
Tentang Katedral
Pada abad ke 12, waktu yang dibutuhkan untuk membangun sebuah katedral rata-rata adalah tiga puluh tahun. Kisah ini bertaburan dengan banyak istilah dan penjelasan mengenai struktur bangunan katedral dan pembuatannya. Agar memudahkan untuk memiliki gambaran yang lebih hidup selama membaca buku ini, aku telah menelusuri istilah-istilah arsitektur jaman abad pertengahan, khususnya untuk katedral Gothic/Romanesque. Jadi seperti inilah layout sebuah katedral (dilihat dari atas) yang berbentuk salib:
1. Chancel = bagian utama, tempat misa dilangsungkan, tempat altar, tabernakel, tempat duduk imam dan mimbar berada. Singkatnya, bagian utama katedral.
Bagian Chancel di Katedral Salisbury, meja yang berwarna hijau adalah altarnya
2. Nave = tempat diletakkan bangku-bangku umat, menghadap ke arah chancel.
Bagian nave Katedral Salisbury -- mengarah ke Chancel
3. Transept = sayap kiri dan kanan dari bentuk salib.
4. Cloister = lapangan rumput atau lapangan terbuka berbentuk segi empat di samping katedral yang memisahkan kehidupan katedral/biara dari tempat tinggal para pekerja biara yang non biarawan. Tempat tinggal para pekerja ini berada di luar atau di sekeliling cloister.
5. Narthex = semacam foyer, bagian terdepan katedral di antara pintu masuk dan nave.
Pemandangan salah satu sudut cloister (diambil dari Katedral Salisbury)
Sementara itu, struktur bangunan katedral bila dilihat secara vertikal kira-kira seperti ini:
Arcade = bagian terbawah dari katedral.
Galeri = bagian yang memisahkan arcade dan bagian teratas katedral (clerestory).
Clerestory = bagian paling atas katedral yang biasanya diisi jendela untuk memasukkan cahaya matahari. Kacanya biasa dihiasi kaca mosaik warna-warni yang menampilkan gambar-gambar dari kisah alkitab.
Selain itu ada istilah “bay”, yaitu bagian-bagian dari tembok katedral di masing-masing sisi nave, biasanya berada di antara dua pilar, di mana biasanya terpasang 1 jendela. Sebuah nave terdiri dari lebih dari 1 bay, misalnya 7 bay.
Katedral Kingsbridge adalah bangunan fiksional, namun Ken Follett menggunakan Katedral Salisbury sebagai dasar arsitektur yang ditulisnya di buku ini. Gambar-gambar diatas juga diambil dari Katedral Salisbury, yang tampak luarnya seperti ini:
Katedral Salisbury, Inggris
Tentang Philip
Philip adalah tokoh yang paling kukagumi di kisah ini. Philip adalah biarawan sejati yang bersahaja, setia pada hidup selibat, baik hati dan pemaaf, namun memiliki kecerdasan dan kemampuan untuk memimpin. Banyak yang menganggapnya kolot dan keras, misalnya sanggup membuat dua insan yang saling mencintai harus hidup terpisah karena belum dapat menikah secara gereja. Namun sebenarnya ia hanya bertindak tegas karena menjunjung tinggi hukum Gereja dan hukum Allah. Bila dapat, ia mau berkompromi untuk membahagiakan umatnya.
Kalau pun ada kelemahannya, Philip seringkali dihinggapi kesombongan dan ambisi mengenai katedralnya. Namun hampir setiap kali, ia pun akan segera sadar bahwa katedral itu dibangun untuk kepentingan Tuhan dan gereja, bukan demi ambisinya dan bukan pula karena kepandaiannya semata. Tangan Tuhan lah, ia sadar, yang membuat katedral itu dapat atau tidak dapat dibangun dengan sempurna.
Meski Philip dibenci, disakiti, bahkan dikhianati, Philip selalu pemaaf. Adegan yang membuatku terisak haru adalah ketika ia berjumpa biarawan yang telah mengkhianatinya serta menyebabkan kekalahan mutlak bagi Philip. Biarawan itu kini menjadi gelandangan yang mengenaskan. Melihat itu, Philip mengulurkan makanan, minuman, namun di atas itu…pengampunan. Philip mengajak si biarawan untuk kembali ke biaranya untuk bertobat. Dan apa yang dilakukan Philip ketika sang biarawan menerima undangannya? Philip memberikan kudanya bagi si biarawan pengkhianat, sementara ia sendiri berjalan kaki.
Ketika bawahannya keheranan, inilah jawaban Philip: “Yesus bersabda: 'Demikian juga akan ada sukacita di surga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita karena 99 orang benar yang tidak memerlukan pertobatan'". Dan inilah yang Philip pikirkan saat itu: "Aku kalah dalam pengadilan, tapi itu hanyalah masalah batu. Yang kuperoleh sebagai gantinya jelas jauh lebih berharga. Hari ini, aku memenangkan jiwa seorang manusia." ~hlm. 1019. Maka kekalahan duniawi mungkin saja hanyalah sarana bagi kemenangan ilahi, bukankah begitu?
Di mata dunia Philip memang lemah, miskin, tak punya kuasa apapun. Wibawa, kekayaan dan kekuatannya, semua datang dari Tuhan. Inilah hal yang sulit dipahami oleh*dunia, yang terungkap dalam keheranan salah satu musuh bebuyutan Philip: "..Dalam kedua kasus itu, kelemahan dan ketidakberdayaan justru berhasil mengalahkan kekuasaan dan kekejaman. William benar-benar tidak mengerti." ~hlm. 1053.
Oh…betapa bahagianya aku bila bisa mendapatkan seorang gembala seperti Philip!
Pilar-Pilar Bumi
Apa yang ingin disampaikan Ken Follett kepada kita dengan kisah ini? Kupikir, ia ingin menunjukkan kesamaan antara bangunan katedral dan bangunan besar yang kita sebut sebagai negara atau (pada jaman itu) kerajaan. Katedral Kingsbridge yang akhirnya akan berdiri megah dengan menara menjulang tinggi, mampu bertahan dari serangan angin karena ditopang oleh pilar-pilar ramping dari bawah. Begitu juga dengan negara. Bukanlah kekuasaan mutlak dan kekejaman yang membuat sebuah wilayah menjadi makmur dan semakin besar. Sebaliknya, kepemimpinan yang adil seperti yang dikehendaki Tuhan lah yang bisa menjadikan rakyatnya hidup dalam damai. Jadi sebenarnya...siapa atau apakah pilar-pilar bumi itu? Dengan membaca buku ini mungkin anda akan bisa menjawabnya...
Lima dari lima bintang kuanugerahkan kepada The Pillars of The Earth, Ken Follett dan penerjemahan yang baik dari penerbit Gramedia. Begitu rinci Follett mengupas karakter dari masing-masing tokoh, begitu kompleks ia menjalin konflik antara mereka, dan begitu menguras emosi setiap kejadian yang ia tuturkan. Dan akhirnya, pada tahun 1174, di antara cinta, dendam, intrik politik, keserakahan dan kekuasaan, berdirilah sebuah katedral nan megah...
Judul: The Pillars of The Earth (Pilar)
Penulis: Ken Follett
Penerjemah: Monica Dwi Chresnayani & Diniarty Pandia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Februari 2006;/div>
Tebal: 1131 hlm
Catatan:
Setelah membaca buku ini dan selama melakukan riset kecil-kecilan untuk penulisan review ini, aku jadi ingin mengunjungi sebuah katedral. Sepertinya, setelah ini aku takkan pernah dapat memasuki katedral tanpa berpikir dalam hati: “Arcade-nya tinggi juga” atau “Tempat duduk di transept ternyata sudah penuh”. Atau kalau orang yang pergi bersamaku mengajakku duduk di bangku deretan agak belakang, aku akan mengatakan: “Mending duduk sedekat mungkin dengan chancel aja”. Yah….buku memang kadang menyentuh dan mengubah bagian kecil dari hidupmu, dan kupikir buku ini pun juga begitu bagiku, bagaimana denganmu?
No comments:
Post a Comment
Bagaimana pendapatmu?