Entah
mengapa dan entah sejak kapan, aku memiliki perhatian khusus terhadap rokok.
Jangan salah paham, aku bukan perokok, dan sebenarnya ‘alergi’ pada perokok
karena mamaku penderita asma, dan aku sudah menyaksikan sendiri derita
penderita penyakit itu. Bukan, bukan rokoknya yang menarikku, tapi lebih pada
seluk beluk bisnisnya dan terutama… pada harum aroma tembakau dan cengkeh.
Berhubung aku bekerja di perusahaan yang beberapa konsumennya adalah pabrik
rokok, maka aku telah beberapa kali berkunjung ke pabrik rokok S**poern*, dan
aku selalu suka dengan aroma tembakau yang sudah tercium sejak memasuki gerbang
pabriknya. Karena kecintaanku pada aroma tembakau pula, aku sangat penasaran
ketika mendengar kabar bahwa salah seorang penulis anak negeri ini telah
menulis sebuah historical fiction yang bertema rokok kretek. Jadi, historical
fiction + rokok = dua kombinasi yang kucintai. Dan akhirnya…berkat
keberuntungan, aku pun berhasil mendapatkan buku Gadis Kretek karya Ratih
Kumala yang telah lama kunanti-nanti ini!
Kisah ini
dituturkan melalui sudut pandang Lebas, seorang pria muda putra pengusaha kaya
pemilik pabrik rokok besar: Rokok cap Djagad Raja. Lebas adalah putra bungsu
keluarga Soeraja [baca: suraya], pemilik pabrik rokok tersebut. Ia memiliki dua
kakak laki-laki: Tegar yang sulung, dan Karim yang nomor dua. Berbeda dengan
dua kakaknya, Lebas adalah yang paling bandel dan semau-gue, pernah dicoret
namanya dari daftar ahli waris, meski akhirnya ia kembali menjadi bagian dari
pabrik rokok keluarga Soeraja. Kisah dibuka dalam situasi kritis—romo [ayah] mereka
stroke, dan dalam keadaan kritis itu beliau sering memanggil-manggil sebuah
nama yang asing bagi ketiga putranya: Jeng Yah. Siapa Jeng Yah itu, yang
namanya membuat Ibu mereka seketika meradang? Seberapa pentingnya Jeng Yah bagi
romo mereka sehingga namanya terus dipanggil ketika beliau sekarat? Inilah
misteri yang hendak mereka ungkap. Meski Tegar dan Lebas hampir selalu
bertengkar, namun ketidak-akuran mereka terpaksa ditepis guna mencari sosok
misterius Jeng Yah ini demi memenuhi keinginan romo mereka, sebelum terlambat.
Maka
berangkatlah Lebas—dan kemudian disusul Tegar—ke kota Kudus, tempat terakhir
romonya bertemu dengan Jeng Yah. Pertemuan itu konon menurut cerita, diakhiri
dengan lemparan semprong ke jidat Pak Soeraja yang dilakukan Jeng Yah pada saat
pernikahan Soeraja dengan istrinya. Satu lagi yang menambah kemisteriusan sosok
Jeng Yah ini. Dan sementara Lebas dan Tegar melakukan perjalanan naik mobil,
kita pun diajak Ratih Kumala melakukan perjalanan melintasi waktu ke jaman
sebelum kemerdekaan Indonesia, pada waktu negara kita masih dijajah Belanda.
Adalah
seorang pemuda bernama Idroes Moeria, buruh linting klobot di sebuah kota kecil
M di Jawa Tengah. Meski hanya seorang buruh, namun Idroes muda sudah memiliki
impian untuk memproduksi klobotnya sendiri, dan sudah memikirkan cara-cara agar
klobotnya lebih sukses dari milik Pak Trisno—bosnya saat itu. Terutama karena
Idroes sedang naksir anak gadis Juru Tulis yang manis: Roemaisa, yang juga ditaksir
oleh teman masa kecil Idroes yang bernama Soedjagad. Idroes akhirnya berhasil
menyunting Roemaisa, namun sebagai ‘bonus’nya, ia pun mendapatkan seorang musuh
yang dendam kepadanya, yaitu Soedjagad yang—bukan hanya tak jadi mendapatkan
Roemaisa, namun juga—kalah mendapatkan stok tembakau Pak Trisno yang dijual
murah gara-gara kedatangan Jepang ke Indonesia. Tak perlu kujelaskan lagi,
pastilah Idroes yang mendapatkan tembakau itu, dan dengan demikian berhasil
memproduksi klobot lintingannya sendiri dengan kemasan yang ia idam-idamkan
dari dulu. Usaha Idroes mulai sukses setelah ia ganti memproduksi rokok kretek,
yang setelah kemerdekaan Indonesia mulai menjadi tren. Dan ia pun makin sukses setelah
anak perempuan sulungnya yang bernama Dasiyah ikut terlibat dalam usaha kretek
mereka. Bahkan karena tak sengaja menikmati lintingan Dasiyah sendiri yang
nikmat, mereka pun mengeluarkan formula kretek baru dengan merk dagang ‘Kretek
Gadis’.
Dasiyah—yang
kini dipanggil Jeng Yah—jatuh cinta pada pemuda bernama Soeraja. Dasiyah
mengentaskan Soeraja dari kehidupan tanpa masa depan, menjadi kepala mandor dan
orang kepercayaan Idroes Moeria di pabrik kreteknya. Sayangnya, Soeraja
kemudian terlibat dengan organisasi terlarang PKI, dan harus melarikan diri ke
kota Kudus demi menyelamatkan diri. Maka pernikahannya dan Jeng Yah yang telah
disusun rapipun terpaksa bubar….
Nah, kini
pertanyaan yang tersisa, mengapa kelak Jeng Yah sampai membuat keributan di
pesta perkawinan Soeraja? Apakah karena cemburu? Lalu bagaimana pula Soeraja
akhirnya bisa menjadi jutawan dengan Rokok cap Djagad Raja-nya? Misteri inilah
yang hendak dikuak oleh trio Tegar-Karim-Legas dengan penelusuran jejak Jeng
Yah hingga ke kota M. Dan di dalam pencarian itu, sedikit demi sedikit selubung
yang menaungi rahasia masa lalu perselisihan keluarga dan bisnis rokok kretek
di kota M itupun akan terkuak.
Ratih Kumala
membawa kita menikmati seluruh kisah ini bak menikmati sebatang rokok kretek
lewat tiap isapan dan hembusan asapnya. Kenikmatan itu sudah terasa sejak awal,
dan seperti perokok yang ingin rokoknya tak kunjung habis, seperti itu jugalah
perasaanku saat menjelang akhir kisah ini. Rasanya tak ingin aku melepaskan
aroma tembakau yang kucintai itu, yang bak menguar di tiap halaman kisah ini.
Gadis Kretek adalah kisah tentang perjuangan, baik perjuangan melawan penjajah—yang
disinggung sedikit melatar belakangi kisah utamanya—maupun perjuangan
tokoh-tokohnya dalam membangun industri rokok kretek yang di kemudian hari
menjadi denyut nadi kehidupan penduduk kota itu. Gadis Kretek juga kisah
tentang cinta dan kepercayaan, yang melingkupi dan membumbui industri kretek
yang biasanya merupakan bisnis keluarga. Dan yang jelas, Gadis Kretek adalah
kisah tentang benda kecil bernama rokok kretek—sejarah kelahirannya dan
bagaimana ia menjadi bagian penting dari budaya kehidupan di jaman itu.
Empat
linting kretek kusulut untuk Gadis Kretek ini, yang semakin unik berkat cover
cantik yang sangat pas menggambarkan Kretek Gadis sekaligus Gadis Kretek. Belum
lagi bonus gambar-gambar bungkus rokok yang terdapat di halaman dalam cover
depan dan belakang—yang aku sendiri tak tahu pasti apakah itu rekaan atau
memang pernah ada. Terus terang, ini historical fiction pertama karya penulis lokal
yang pernah kucicipi, dan aku suka, karena Gadis Kretek menyajikan cerita yang
manis, tanpa mau menggurui pembaca dengan detil sejarah. Itulah yang
menjadikannya historical fiction, bukan novel sejarah. Dialog dan gaya bahasa
Jawa yang disisipkan oleh Ratih juga menambah ‘gurih’ Gadis Kretek ini.
Kalau ada
kekurangannya, itu terletak pada typo yang (terlalu) banyak bertebaran di 275
halaman buku ini. Sangat disayangkan kisah yang unik ini harus dinodai dengan
kesalahan ejaan dan penulisan. Semoga di edisi berikutnya Gadis Kretek sudah
bisa tampil lebih bersih dan lebih gurih!
Judul: Gadis
Kretek
Penulis:
Ratih Kumala
Penyunting:
Mirna Yulistianti
Penerbit: PT
Gramedia Pustaka Utama
Terbit:
Maret 2012
Tebal: 275
hlm
Tumben, Gramedia banyak typonya yah?
ReplyDeleteNah itu dia, aku sendiri juga heran. Tiap menemui typo, dalam hatiku: kok tumben banyak banget?
DeleteBuku Life Without Limits nya Nick Vujicic juga bertabur typo #doh
DeleteMbaaaak, aku baca revie ini di fb. Suka deh sama ceritanya. Udah lama banget aku ga baca cerita model begini. Jadi inget karya Eyang NH. Dini ^^
ReplyDelete