Pada tahun
738, Dinasti Tang sedang berkuasa di tanah China, lewat tangan Kaisar
Minghuang. Jaman itu merupakan salah satu jaman keemasan yang dinikmati rakyat.
Sang Kaisar memimpin dengan adil serta cakap, baik dalam mengelola kesejahteraan
rakyat maupun memelihara keamanan di dalam negeri. Namun, keamanan itu
nampaknya semu, karena justru di balik dinding-dinding tinggi istana kekaisaran
itu sendiri sedang muncul riak-riak pertama awal sebuah badai politik. Inilah
inti dari kisah The Court of the Lion yang dikisahkan oleh Eleanor Cooney
bersama Daniel Altieri.
Cerita
bermula dari kamar tidur Putri Wu, salah satu istri Kaisar yang—meski paling
banyak menyumbangkan keturunan bagi penerus tahta—namun bukan merupakan
kesayangan Kaisar yang menganggapnya terlalu subur. Justru Permaisurinya yang
cantik, ramping karena tak pernah bersalinlah yang memiliki tempat teristimewa
di hati Kaisar sebagai Istri Kesayangan. Dasar manusia yang serakah dan tak
pernah puas, segera tumbuh iri hati di antara keduanya karena tak memiliki
kelebihan yang tak dimiliki lainnya. Di titik ini, mulailah terjadi intrik
politik di istana para istri. Ya, para wanita ternyata memiliki cara tersendiri
dlam berpolitik di dalam istana!
Diawali
dengan munculnya bunga-bunga artifisial yang ternyata berisi puisi bernada
menghasut, dan disusul oleh munculnya penyihir yang konon berusia 100 tahun dan
tinggal di salah satu sudut istana. Lalu mulailah petaka datang. Awalnya
kematian putra mahkota, lalu disusul terbongkarnya rahasia Istri Kesayangan
yang menyebabkannya diasingkan dan akhirnya bunuh diri. Dua bencana susul
menyusul itu membuat Kaisar amat sedih lalu menjauhkan diri dari pemerintahan
untuk mengurung diri di kamarnya untuk bersedih. Sementara itu roda pemerintahan
sementara dikendalikan Perdana Menteri Li Lin-fu yang cerdik dan ambisius.
Melihat
Kaisar murung, Kepala Kasim Kao Li-shih tak tinggal diam. Meski ia “hanya”
seorang kasim, jangan dikira ia tak paham tentang politik. Justru karena ia
banyak beredar di istana, ia amat paham akan intrik dan politik yang diam-diam
terangkai di sekitarnya. Apalagi ketika seorang penyair istana hendak memberitahukan
sesuatu yang maha penting kepada Kao Li-shih, namun si penyair justru lenyap
tanpa bekas pada hari mereka seharusnya bertemu. Melihat Li Lin-fu yang makin
agresif, Kao Li-shih tiba pada kesimpulan, bahwa Kaisar Minghuang harus ‘dihidupkan’
kembali, sebelum dinasti ini jatuh ke tangan pemberontak. Namun apa yang mampu
membangkitkan sang Kaisar dari keterpurukan?
Kupikir,
hanya seorang Kepala Kasim lah yang akan mampu memikirkan (sekaligus
mengeksekusi dengan sempurna) sebuah rencana halus yang akan mengubah suasana
di istana…
Buku yang
kubaca ini adalah bagian pertama dari tiga buku, jadi mungkin wajar kalau di
awal cerita (terlalu) banyak penjelasan yang panjang lebar tentang
masing-masing tokoh yang akan mengambil peranan penting di keseluruhan cerita.
Tapi kadang-kadang aku tak merasa perlu untuk mendalami—misalnya—masa muda Kao
Li-shih hingga ia menjadi kasim. Kalau penjelasan itu singkat, hanya untuk
memberikan gambaran tentang karakter si Kasim, aku maklum. Namun menurutku
menjadikannya beberapa halaman sungguh tak perlu (aku melompati bagian ini dan toh
tak merasa terganggu membaca bagian berikutnya).
Sejauh ini,
The Court of the Lion menggambarkan intrik di dalam istana dengan cerita yang
berbelit dalam paragraf-paragraf panjang, tepat seperti bagaimana intrik itu
dijalankan—licin dan berbelit—sehingga mungkin saja orang luar tak pernah
menyadarinya. Cerita hanya berderap agak cepat ketika beralih ke tokoh An
Lu-shan, mantan budak yang moncer karir politiknya, sehingga direkrut oleh
Perdana Menteri Li Lin-fu untuk memperkuat militernya. Kelak di buku
berikutnya, aku percaya An Lu-shan akan mengambil peranan lebih banyak dan
penting daripada di buku pertama ini.
Kesan
keseluruhanku terhadap buku ini…lumayan melelahkan untuk dinikmati, tapi tetap
membuat penasaran juga… Tiga bintang untuk The Court of the Lion ini!
Judul: The
Court of the Lion (1)
Penulis: Eleanor
Cooney & Daniel Altieri
Penerjemah:
Fahmi Yamani
Penerbit:
Serambi
Terbit:
Februari 2012
Tebal: 585 hlm
covernya keren, Mbak.. reviewnya seperti biasa.. mantab. :D
ReplyDeletewahaha iya bener, terlalau bertele-tele dan bisa bosan bacanya. tp mungkin lewat situlah penulis ingin menunjukkan kepiawaiannya dalam menuliskan hal-hal yang berkenaan dengan sejarah kekaisaran di China
ReplyDelete