Nama
Cleopatra sang Ratu Mesir pasti sudah pernah mampir ke telinga kita, namun
jarang yang mengenal anak-anaknya. Dalam historical fiction yang kuulas ini,
Michelle Moran mengisahkan sejarah Romawi dalam kurun waktu abad 31 SM hingga sekitar
26 SM. Abad 31 SM tercatat dalam sejarah sebagai kekalahan armada laut milik
Markus Antonius dan Cleopatra yang saat itu memerintah Mesir terhadap pasukan
Oktavianus. Oktavianus ini kelak kita kenal dengan nama Kaisar Augustus, yang
sebelumnya bersama Markus Antonius dan Lepidus merupakan para pendukung Julius
Caesar. Markus Antonius dan Ratu Cleopatra akhirnya harus menemui ajal dengan
bunuh diri setelah kekalahan mereka, sementara tiga orang keturunan mereka: si
kembar Cleopatra Selene dan Alexander Helios serta Ptolemeus dibawa Oktavianus ke
Roma bersama harta benda Ratu Cleopatra.
Kisah ini
dituturkan lewat sudut pandang Selene, seorang anak perempuan yang pada usia
sebelas tahun telah memperlihatkan kecerdasannya berkat didikan ibunya di
Mesir. Ketika tiba di Roma, Selene dan Alexander hanya tinggal berdua, karena
Ptolemeus meninggal karena penyakit selama perjalanan di kapal. Meski keduanya
tinggal bersama Oktavia—kakak perempuan Oktavianus yang saat itu menjadi Caesar
Roma, yang juga istri pertama Markus Antonius sebelum memperistri
Cleopatra—diperlakukan dengan sangat baik sebagai tamu keluarga. Selain Oktavia
sendiri, ada putranya Marcellus yang menjadi kandidat kuat pewaris jabatan
Caesar bersama dengan Tiberius, putra tiri Oktavianus (anak istrinya Livia
dengan suami pertama). Marcellus yang gagah dan tampan segera menarik hati
Selene, sayangnya Marcellus telah dijodohkan dengan Julia—putri Livia dengan
Julius Caesar. Hingga saat ini anda tentu bingung membaca pertalian keluarga yang
rumit ini, namun begitulah yang terjadi dalam sejarah, anda hanya harus terus
membaca buku ini, dan lama kelamaan akan terbiasa juga.
Sebagai anak
yang dibesarkan di Alexandria, ibu kota Mesir yang sangat tinggi peradabannya,
penuh keanggunan dan kemewahan, Selene dan Alexander terkejut ketika melihat
kerajaan Romawi yang kotanya carut marut dan moral penduduknya rendah. Di
sepanjang kisah ini, Moran mengajak kita menyaksikan sejarah Romawi bergulir
lewat sudut pandang Selene, terutama sejarah di seputar pemerintahan Oktavianus
atau Kaisar Augustus.
Beberapa hal
mencolok yang dapat kita catat dari Oktavianus adalah kepercayaannya pada
peramal dan hal-hal gaib yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Memang saat
itu sebelum diadakan sesuatu yang penting, peramal harus menyembelih hewan dan
melihat isi perutnya untuk menentukan apakah dewa-dewa merestui rencana itu
untuk dilaksanakan atau tidak. Namun yang sering aku baca di buku-buku tentang
Romawi saat itu, ritual itu hanyalah sekedar formalitas belaka. Tapi hal itu tidak
berlaku untuk Oktavianus, beliau benar-benar mempercayainya.
Hal lain
yang menarik adalah timbulnya pergerakan menentang perbudakan. Ada seorang
pemberontak yang menamakan dirinya Elang Merah (tambahan fiktif di novel ini)
yang menjadi duri dalam daging kekuasaan Oktavianus. Meski Elang Merah hanya
rekaan, namun dari tulisan-tulisan sejarah, terlihat bahwa gerakan menentang
budaya perbudakan memang telah ada pada jaman itu. Selene, Alexander, Oktavia,
Marcellus dan seorang budak bernama Gallia adalah beberapa yang memiliki
keprihatinan terhadap kesemena-menaan terhadap kaum budak.
Oktavianus
juga dikenal sebagai kolektor barang-barang antik dan suka membangun
gedung-gedung indah seperti halnya kebiasaan di Romawi saat itu. Selene kebetulan
memiliki minat pada arsitektur—berkat pendidikannya di Mesir—dan sangat suka
menggambar sketsa. Oktavianus menyetujui Selene untuk belajar arsitektur pada
seorang guru saat itu, meskipun wanita yang berkecimpung dalam pembangunan
gedung saat itu sangat langka.
Salah satu
yang membuatku kagum adalah langkah yang diambil Oktavianus untuk mengukuhkan
kekuasaannya secara mutlak. Tanpa tanda-tanda apapun, tiba-tiba suatu hari
Oktavianus mengumumkan bahwa dirinya akan meletakkan jabatan sebagai Caesar.
Kontan Senat dibuat panik, mereka membujuk Oktavianus untuk mengurungkan
niatnya, karena Roma pasti akan hancur tanpa pemimpin yang memiliki wibawa.
Sebenarnya Oktavianus sudah memperhitungkan langkahnya ini, ia tahu bahwa tak
ada yang mampu memimpin Roma saat itu selain dirinya. Dan benar saja, dalam
rangka membujuk Oktavianus, Senat menganugerahkan gelar Augustus kepadanya dan
memberikan kuasa sepenuhnya selama sepuluh tahun ke depan yang tak dapat
diambil darinya. Betapa penuh perhitungan sang Augustus ini, seorang pria kurus
yang sakit-sakitan namun memiliki tekad dan hati sekuat baja.
Selene
mengalami semuanya itu sementara dirinya sendiri tumbuh makin dewasa bersama
Alexander, Julia dan Marcellus. Dari seorang anak kecil yang cerdas dan
berkemauan kuat, kita akan diajak melihat Selene yang memiliki khasrisma yang
memancar kuat dari dirinya. Suatu hal yang dikagumi oleh Marcellus—meski ia
tetap mencintai Julia, dan menumbuhkan perasaan cinta di hati seorang pria yang
selama ini seolah ada di balik layar, meski dari semula aku sudah menduga bahwa
ada sesuatu dalam diri si pria yang membuatnya selalu melindungi Selene.
Kisah ini
cukup menarik, hanya saja aku kurang merasakan kedekatan emosional saat aku
membacanya. Aku hanya merasa seperti mengikuti kisah hidup Selene dan semua
yang terlibat di sekitarnya dari jauh. Aku tak merasakan greget seperti saat
aku membaca Imperium dan Conspirata, di mana aku merasa seolah aku sendiri
terseret masuk ke jaman Cicero masih hidup di Roma. Sebenarnya aku mengharapkan
lebih dari seorang Michelle Moran yang telah banyak menuliskan fiksi sejarah,
namun itulah yang kudapati di kisah ini. Lumayan menarik namun hambar.
Tiga bintang
untuk Selene!
Judul:
Selene Putri Sang Cleopatra (judul asli: Cleopatra’s Daughter)
Penulis: Michelle
Moran
Penerjemah:
Sujatrini Liza
Penerbit:
Esensi
Terbit:
November 2009
Tebal: 499
hlm.
aku lebih suka yg Nefertari daripada dua putri Mesir lainnya dari karya Michelle Moran :)
ReplyDeletegara gara buku ini jadi penasaran buku moran lainnya >_<
ReplyDeletedua buku sebelumnya mba Moran emang gitu, mba. di nefertiti dan nefertari juga saya kurang merasakan sisi emosionalnya. seakan-akan kita cuma baca buku sejarahnya aja. di nefertari apalagi. rames ii udah digambarkan sebagai sosok firaun yang agung, dan dengan tambahan fakta kalau nefertari itu emang istri kesayangannya dia, tetep aja kurang gres. tapi salut, cara moran mendeskripsikan cerita sanggup bikin saya baca dua buku hanya dalam dua malam.
ReplyDelete