Monday, August 13, 2012

Cleopatra’s Daughter – Selene


Nama Cleopatra sang Ratu Mesir pasti sudah pernah mampir ke telinga kita, namun jarang yang mengenal anak-anaknya. Dalam historical fiction yang kuulas ini, Michelle Moran mengisahkan sejarah Romawi dalam kurun waktu abad 31 SM hingga sekitar 26 SM. Abad 31 SM tercatat dalam sejarah sebagai kekalahan armada laut milik Markus Antonius dan Cleopatra yang saat itu memerintah Mesir terhadap pasukan Oktavianus. Oktavianus ini kelak kita kenal dengan nama Kaisar Augustus, yang sebelumnya bersama Markus Antonius dan Lepidus merupakan para pendukung Julius Caesar. Markus Antonius dan Ratu Cleopatra akhirnya harus menemui ajal dengan bunuh diri setelah kekalahan mereka, sementara tiga orang keturunan mereka: si kembar Cleopatra Selene dan Alexander Helios serta Ptolemeus dibawa Oktavianus ke Roma bersama harta benda Ratu Cleopatra.

Kisah ini dituturkan lewat sudut pandang Selene, seorang anak perempuan yang pada usia sebelas tahun telah memperlihatkan kecerdasannya berkat didikan ibunya di Mesir. Ketika tiba di Roma, Selene dan Alexander hanya tinggal berdua, karena Ptolemeus meninggal karena penyakit selama perjalanan di kapal. Meski keduanya tinggal bersama Oktavia—kakak perempuan Oktavianus yang saat itu menjadi Caesar Roma, yang juga istri pertama Markus Antonius sebelum memperistri Cleopatra—diperlakukan dengan sangat baik sebagai tamu keluarga. Selain Oktavia sendiri, ada putranya Marcellus yang menjadi kandidat kuat pewaris jabatan Caesar bersama dengan Tiberius, putra tiri Oktavianus (anak istrinya Livia dengan suami pertama). Marcellus yang gagah dan tampan segera menarik hati Selene, sayangnya Marcellus telah dijodohkan dengan Julia—putri Livia dengan Julius Caesar. Hingga saat ini anda tentu bingung membaca pertalian keluarga yang rumit ini, namun begitulah yang terjadi dalam sejarah, anda hanya harus terus membaca buku ini, dan lama kelamaan akan terbiasa juga.

Sebagai anak yang dibesarkan di Alexandria, ibu kota Mesir yang sangat tinggi peradabannya, penuh keanggunan dan kemewahan, Selene dan Alexander terkejut ketika melihat kerajaan Romawi yang kotanya carut marut dan moral penduduknya rendah. Di sepanjang kisah ini, Moran mengajak kita menyaksikan sejarah Romawi bergulir lewat sudut pandang Selene, terutama sejarah di seputar pemerintahan Oktavianus atau Kaisar Augustus.

Beberapa hal mencolok yang dapat kita catat dari Oktavianus adalah kepercayaannya pada peramal dan hal-hal gaib yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Memang saat itu sebelum diadakan sesuatu yang penting, peramal harus menyembelih hewan dan melihat isi perutnya untuk menentukan apakah dewa-dewa merestui rencana itu untuk dilaksanakan atau tidak. Namun yang sering aku baca di buku-buku tentang Romawi saat itu, ritual itu hanyalah sekedar formalitas belaka. Tapi hal itu tidak berlaku untuk Oktavianus, beliau benar-benar mempercayainya.

Hal lain yang menarik adalah timbulnya pergerakan menentang perbudakan. Ada seorang pemberontak yang menamakan dirinya Elang Merah (tambahan fiktif di novel ini) yang menjadi duri dalam daging kekuasaan Oktavianus. Meski Elang Merah hanya rekaan, namun dari tulisan-tulisan sejarah, terlihat bahwa gerakan menentang budaya perbudakan memang telah ada pada jaman itu. Selene, Alexander, Oktavia, Marcellus dan seorang budak bernama Gallia adalah beberapa yang memiliki keprihatinan terhadap kesemena-menaan terhadap kaum budak.

Oktavianus juga dikenal sebagai kolektor barang-barang antik dan suka membangun gedung-gedung indah seperti halnya kebiasaan di Romawi saat itu. Selene kebetulan memiliki minat pada arsitektur—berkat pendidikannya di Mesir—dan sangat suka menggambar sketsa. Oktavianus menyetujui Selene untuk belajar arsitektur pada seorang guru saat itu, meskipun wanita yang berkecimpung dalam pembangunan gedung saat itu sangat langka.

Salah satu yang membuatku kagum adalah langkah yang diambil Oktavianus untuk mengukuhkan kekuasaannya secara mutlak. Tanpa tanda-tanda apapun, tiba-tiba suatu hari Oktavianus mengumumkan bahwa dirinya akan meletakkan jabatan sebagai Caesar. Kontan Senat dibuat panik, mereka membujuk Oktavianus untuk mengurungkan niatnya, karena Roma pasti akan hancur tanpa pemimpin yang memiliki wibawa. Sebenarnya Oktavianus sudah memperhitungkan langkahnya ini, ia tahu bahwa tak ada yang mampu memimpin Roma saat itu selain dirinya. Dan benar saja, dalam rangka membujuk Oktavianus, Senat menganugerahkan gelar Augustus kepadanya dan memberikan kuasa sepenuhnya selama sepuluh tahun ke depan yang tak dapat diambil darinya. Betapa penuh perhitungan sang Augustus ini, seorang pria kurus yang sakit-sakitan namun memiliki tekad dan hati sekuat baja.

Selene mengalami semuanya itu sementara dirinya sendiri tumbuh makin dewasa bersama Alexander, Julia dan Marcellus. Dari seorang anak kecil yang cerdas dan berkemauan kuat, kita akan diajak melihat Selene yang memiliki khasrisma yang memancar kuat dari dirinya. Suatu hal yang dikagumi oleh Marcellus—meski ia tetap mencintai Julia, dan menumbuhkan perasaan cinta di hati seorang pria yang selama ini seolah ada di balik layar, meski dari semula aku sudah menduga bahwa ada sesuatu dalam diri si pria yang membuatnya selalu melindungi Selene.

Kisah ini cukup menarik, hanya saja aku kurang merasakan kedekatan emosional saat aku membacanya. Aku hanya merasa seperti mengikuti kisah hidup Selene dan semua yang terlibat di sekitarnya dari jauh. Aku tak merasakan greget seperti saat aku membaca Imperium dan Conspirata, di mana aku merasa seolah aku sendiri terseret masuk ke jaman Cicero masih hidup di Roma. Sebenarnya aku mengharapkan lebih dari seorang Michelle Moran yang telah banyak menuliskan fiksi sejarah, namun itulah yang kudapati di kisah ini. Lumayan menarik namun hambar.

Tiga bintang untuk Selene!

Judul: Selene Putri Sang Cleopatra (judul asli: Cleopatra’s Daughter)
Penulis: Michelle Moran
Penerjemah: Sujatrini Liza
Penerbit: Esensi
Terbit: November 2009
Tebal: 499 hlm.

3 comments:

  1. aku lebih suka yg Nefertari daripada dua putri Mesir lainnya dari karya Michelle Moran :)

    ReplyDelete
  2. gara gara buku ini jadi penasaran buku moran lainnya >_<

    ReplyDelete
  3. dua buku sebelumnya mba Moran emang gitu, mba. di nefertiti dan nefertari juga saya kurang merasakan sisi emosionalnya. seakan-akan kita cuma baca buku sejarahnya aja. di nefertari apalagi. rames ii udah digambarkan sebagai sosok firaun yang agung, dan dengan tambahan fakta kalau nefertari itu emang istri kesayangannya dia, tetep aja kurang gres. tapi salut, cara moran mendeskripsikan cerita sanggup bikin saya baca dua buku hanya dalam dua malam.

    ReplyDelete

Bagaimana pendapatmu?