Friday, May 11, 2012

The Evolution of Calpurnia Tate


“Namaku Calpurnia Virginia Tate, tetapi semua orang memanggilku Callie Vee. Pada musim panas itu, umurku sebelas tahun dan aku satu-satunya anak perempuan dari tujuh bersaudara. Bisakah kau membayangkan situasi yang lebih buruk?” Jawabku: BISA! Sebenarnya lahir menjadi seorang perempuan tidaklah buruk kalau anda MAU menjalani hidup seperti yang diharapkan dari dan bagi seorang perempuan. Bagaimana kalau tidak? Nah, simaklah kisah evolusi si Calpurnia Tate alias Callie Vee ini…

Calpurnia memang berbeda dari anak perempuan lainnya. Saat yang lain puas bermain dengan gaun-gaun cantik dan boneka, Calpurnia menghabiskan waktunya dengan menenteng jaring penangkap kupu-kupu serta Buku Catatannya dan pergi ke pinggir sungai untuk mengumpulkan spesimen bersama kakeknya. Ya, Calpurnia bisa disebut seorang naturalis pemula. Alam, hewan dan tumbuhan rupanya telah menempati ruang istimewa dalam hati Calpurnia, semenjak sang kakek meminjaminya buku The Origin of Species karya Charles Darwin (bayangkan…dipinjami The Origin of Species?? Oh…seandainya aku punya kakek seperti kakek Calpurnia!).

Tapi, berhubung semua itu terjadi di penghujung abad 19—di mana perempuan “hanya” diharapkan belajar memasak dan merajut—maka Calpurnia menghadapi penolakan besar dari keluarganya (terutama dari ibunya, dan kecuali dari kakeknya—tentu saja..). Sesunguhnya inilah inti kisah The Evolution of Calpurnia Tate karya Jacqueline Kelly ini, yang dibingkai dengan kutipan-kutipan dari buku The Origin of Species, yang seolah mengantar kita mengikuti dua perjalanan evolusi, yaitu evolusi spesies dan evolusi seorang Calpurnia Tate.

Di tengah ketidaksukaan keluarganya akan kegiatan Calpurnia di bidang sains, Callie bersama kakeknya berhasil menemukan sebuah spesies tumbuhan yang sepertinya belum pernah tercatat di dunia. Maka dengan bersemangat, kedua naturalis beda generasi ini mengirimkan dan mendaftarkan hasil temuan mereka—yang sementara dinamai ‘Tumbuhan’—ke Smithsonian. Bagi ilmuwan, menemukan sesuatu yang baru adalah sebuah kebanggaan besar, apalagi mengingat bahwa temuan itu akan dinamai dengan nama sang penemu. Akankah Calpurnia, gadis belasan tahun dari kota kecil itu, menorehkan sebuah prestasi dalam sejarah? Akankah sang kakek yang telah membaktikan hidupnya setelah pensiun untuk menjadi naturalis, mampu mengubah sejarah sebelum hidupnya berakhir?

Namun sementara itu, sang Ibu ternyata telah mempersiapkan ‘evolusi’ bagi Calpurnia di bidang yang lain, lebih tepatnya di bidang yang seharusnya dikuasai seorang wanita, yaitu mengurus rumah tangga. Selain itu, sang Ibu mulai menyiapkan Calpurnia untuk memasuki “bursa” calon-istri-idaman. Bagian ini terasa absurd bagiku. Bagaimana wanita jaman itu menganggap sistem perjodohan dengan menggilir pemuda-pemuda setempat untuk datang ke rumah seorang gadis yang sudah layak “masuk bursa” adalah sebuah tindakan terhormat? Apakah mereka malah tidak melihat adanya kesamaan dengan ehm…maaf..pasar budak atau malah…ya sudahlah, terlalu kasar untuk ditulis disini… Tetap saja, aku melihat itu praktik yang menjijikkan, dan lebih menjijikkan lagi anggapan bahwa kalau seorang gadis tak mampu melalui tahap itu berarti ia “kurang terhormat”.

Sesuai dengan tokoh utamanya, The Evolution of Calpurnia Tate ini kisah yang segar sekaligus cerdas. Penuh dengan kekocakan, kisah ini dirangkai dengan bahasa yang ringan, dan banyak mengandung pengetahuan ilmiah. Salah satu yang aku sukai adalah Jacqueline Kelly menciptakan tokoh yang suka membaca kisah-kisah klasik (sama sepertiku). Bayangkan di usia belasan tahun buku klasik pertama Calpurnia adalah The Origin of Species! Selain itu ia telah melahap Great Expectations dan Oliver Twist-nya Dickens, lalu Tom Sawyer-nya Mark Twain dan Treasure Island. The Adventures of Sherlock Holmes pun disebut-sebut juga dalam buku ini.

Pada akhirnya, ini adalah kisah seorang anak perempuan yang sedang mencari jatidirinya sebagai seorang wanita dewasa dengan segala liku-likunya. Di satu sisi Calpurnia ingin menjadi ilmuwan, di sisi lain ia menyadari bahwa jalan yang akan ditempuhnya sangatlah terjal akibat stereotip yang sudah terpaku di pikiran orang jaman itu, seperti yang tercetus dalam kata-kata Lamar, adik lelaki Callie

“Anak perempuan tidak dibayar. Anak perempuan bahkan tidak boleh ikut pemungutan suara. Anak perempuan tidak dibayar. Anak perempuan tinggal di rumah.” ~hlm. 223.

Calpurnia tahu ia harus mendobrak stereotip itu, karena ia bukanlah perempuan biasa,

“Aku tidak pernah menyamakan diriku dengan anak-anak perempuan lain. Aku bukan bagian dari spesies mereka; aku berbeda. Aku tidak pernah berpikir bahwa masa depanku akan sama dengan mereka.” ~hlm. 245.

Sebab kalau tidak, ia akan menjalani hidup yang terkungkung sepanjang hidupnya, ‘seperti seekor anjing hutan yang kaki-kakinya terbelenggu perangkap.’ Sebuah ungkapan yang amat mengena.

Meski sangat sulit bagi Calpurnia untuk meraih cita-citanya, aku berharap (dan memilih untuk percaya) bahwa masih ada harapan bagi Calpurnia, seperti apa yang ia alami di pagi tahun baru 1900 itu…

“Ini adalah pagi pertama dari hari pertama dari abad yang baru. Salju menyelimuti tanah. Segalanya mungkin terjadi.” ~hlm. 380.

Meski ending kisah ini terasa mengambang, namun aku merasa ada kaitan antara apa yang dilihat Calpurnia di alam saat itu dengan kondisinya sendiri. Salju yang turun di Texas setelah berpuluh-puluh tahun, dan ketilang yang tidak pernah merasakan salju, semuanya mengarah pada sebuah perubahan, bahwa kalau suatu hal belum pernah terjadi, belum tentu ia tak mungkin terjadi. Sekali lagi aku percaya, bahwa segalanya mungkin terjadi…

Judul: The Evolution of Calpurnia Tate
Penulis: Jacqueline Kelly
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Penerbit: Matahati
Terbit: November 2010

Tebal: 381 hlm

1 comment:

  1. naskah aslinya terbit tahun berapa ini mbak?
    euforia evolusi kental sekali sepertinya.

    ReplyDelete

Bagaimana pendapatmu?