Bila di buku pertama kita diajak melihat rekam jejak Temujin kecil hingga bagaimana ia
mulai merealisasikan cita-cita mempersatukan Dataran Mongolia, maka di bagian
kedua ini kita akan menelusuri berdirinya Imperium Mongol—imperium terbesar
yang pernah ada dalam sejarah manusia—dan bagaimana sepak terjang Genghis
Khan—sang Ka-Khan yang dulunya bernama Temujin—melakukan ekspansi hingga ke
Eropa dan Afrika.
Di akhir
buku pertama Temujin telah melakukan aliansi dengan Wang Khan dan memenangkan
beberapa pertempuran, yang membuat semua klan-klan di dataran Mongolia waspada.
Salah satunya Jamuka, anda Temujin
yang memiliki satu visi namun beda pandangan pada cara pencapaiannya. Jamuka
mulai mencari dukungan klan-klan lain untuk mengenyahkan Temujin sebelum ia
semakin hebat. Salah satu caranya dengan memutuskan hubungan baik Wang Khan dan
Temujin lewat putra Wang Khan—Nilka Senggum—yang iri karena Temujin dijadikan
urutan pertama calon penerus sang ayah.
Namun bagi
Temujin, untuk memenangkan pertempuran, kau tidak harus memiliki jumlah
prajurit sama dengan atau lebih besar daripada lawan. Bahkan dengan jumlah
prajurit seperempat dari lawan, kau bisa menang jika menerapkan strategi yang
tepat. Ketika henda menyerang China dan berhadapan dengan Tembok Besar nan
perkasa, Genghis Khan berkata dalam hati: “Tidakkah
mereka tahu bahwa tembok pelindung sejati semestinya dibangun di dalam benak
mereka?” Dan memang dalam ratusan perang yang dijalani bangsa Mongol di
bawah pimpinan Genghis Khan, mereka bukan saja mempraktekkan aneka strategi
yang cerdik, namun juga menciptakan banyak alat dan teknologi baru untuk perang
pada jaman itu, salah satunya adalah meriam.
Kembali pada
perseteruan Temujin vs Jamuka, kita tentu tahu siapa yang akhirnya menang.
Setelah banyak peperangan dan pengkhianatan yang ia hadapi, Temujin akhirnya
dapat mendeklarasikan Imperium Mongol yang mempersatukan banyak klan yang
tadinya tersebar dan saling bermusuhan, kini menjadi sebuah kekuatan yang
menakutkan. Ketika Jamuka akhirnya tertangkap dan dihadapkan ke Temujin—yang tetap
menganggapnya sahabat masa kecil yang disayanginya—Jamuka mengakui apa yang
menyebabkan kegagalannya. Menariknya, Jamuka ternyata menyadari bahwa kurangnya
kasih sayang di masa kecilnya lah yang menyebabkan ia tak mampu menjadi
pemimpin yang baik, yang lalu mengandaskan impiannya. Aku turut terharu saat
Temujin harus berpisah dengan Jamuka, karena meski ia selalu menyayangi anda-nya, Temujin pun tahu bahwa selama
salah satu dari mereka tidak binasa, maka cita-cita besar mempersatukan Dataran
Mongolia takkan pernah terwujud.
Selanjutnya kita
diajak menyaksikan peperangan demi peperangan yang dilancarkan Genghis Khan
tanpa henti selama bertahun-tahun lamanya, dan menambahkan daerah taklukannya hingga
terus melebar dan meluas. Pertanyaan kita mungkin, bagaimana seorang Genghis
Khan dapat mempersatukan klan-klan Mongol yang barbar dan memimpin negara-negara
jajahannya yang notabene jauh lebih maju? Ini yang sangat menarik! Di satu sisi
Genghis menerapkan aturan yang sangat ketat bagi masyarakat maupun bagi
prajurit Mongol, yang disebut yassa. Aturan-aturan ini dibuat agar moral rakyat
menjadi semakin baik, karena bagi pelanggar, hukumannya adalah pemenggalan
kepala! Banyak korban berjatuhan pada saat pertama yassa diberlakukan, namun
seiring berjalannya waktu, mereka menjadi semakin terbiasa untuk taat pada
aturan, dan akhirnya bangsa Mongol dapat meninggalkan kebejatan moralnya di
masa lalu. Sebuah pelajaran yang harusnya diterapkan di negeri kita!
Di sisi lain
Genghis sangat adil memperlakukan bawahannya. Mereka yang kompeten, setia, dan
memiliki jasa terhadap negara, akan menikmati jabatan, kekayaan dan privilese
bagi anggota keluarganya. Dan hal ini diberlakukan sama-rata untuk semua, tanpa
pandang suku, agama, kaya-miskin, status sosial dsb. Tak ada bedanya apakah kau
berasal dari keluarga penggembala ternak atau putra kepala suku, asal kau punya
kemampuan, kau akan mendapatkan kesempatan. Genghis selalu menepati janji yang
pernah ia buat, dan konon ia makan dan berpakaian yang sama dengan semua
bawahannya. Pendek kata, Genghis pemimpin yang peduli rakyat, pandai menilai
karakter orang, melindungi mereka yang ia pimpin, membawa mereka pada
kesejahteraan, dan tak pernah melupakan janjinya. Tipe pemimpin idaman, bukan?
Dengan
kemampuannya memimpin serta strategi perang yang mumpuni—dan ia mempelajari
strategi perang itu dari pengalaman hidup sehari-hari yang tak pernah luput
dari pengamatan tajam Genghis—akhirnya Genghis Khan mampu mewujudkan
cita-citanya, mempersatukan bangsa Mongol dan menjadikannya salah satu imperium
yang paling disegani pada masanya.
Satu hal
yang (kembali) aku sadari setelah membaca buku ini, bahwa letak geografis dan
sumber daya yang dimiliki suatu negara atau masyarakat sangat menentukan
pembentukan watak masyarakatnya. Dataran Mongol adalah dataran yang sangat
sulit dihuni dengan sumber daya alam yang minim, membuat masyarakatnya hidup secara nomaden.
Mereka hanya dapat bertahan hidup jika memiliki fisik yang tangguh dan
determinasi yang kuat, bahkan kuda-kuda asal Mongol yang tubuhnya pendek kekar
sangatlah kuat. Mereka konon bisa mendapatkan makanan di hamparan salju dengan
cara mengeruk lapisan salju dengan kaki mereka.
Kunci
sebagian besar kemenangan pasukan Mongol melawan lawan yang jauh lebih besar
dalam jumlah prajurit maupun kekayaan, adalah kecepatan, persatuan, dan pantang
menyerah. Meski sedang terpisah, pasukan-pasukan Mongol telah mengembangkan system
komunikasi yang amat cepat sehingga mereka dapat berkumpul kembali dalam waktu
singkat, bila diperlukan. Dan tentang pantang menyerah, tak perlu dikisahkan
lagi. Untuk mengejar salah satu musuh bebuyutan mereka yang tak kunjung
menyerah, salah satu anak pasukan Genghis melakukan perang dan pengejaran
selama delapan tahun, sejauh ribuan kilometer, dan akhirnya berhasil. Pasukan
Mongol tak punya rasa takut terhadap kematian, karena meninggal di medan perang
adalah tujuan hidup mereka. Salut pada Imperium Mongol, dan tentu saja… Genghis
Khan! Empat bintang untuk buku ini, kurang 1 bintang dari sempurna karena
banyak bagian yang benar-benar keji, meski untuk situasi masa itu amat wajar.
Judul:
Genghis Khan 2: Badai Di Tengah Padang
Penulis: Sam
Djang
Penerjemah:
Reni Indardini
Penerbit:
Bentang Pustaka
Terbit: Juni
2011
Tebal: 478
hlm.
saya mau resume tentang novel TIM oleh Coleen McCullough dong ada ga? kabarin di blog ya. terima kasih :)
ReplyDeleteSatu2nya buku Colleen McCullough yg pernah kubaca cuma The Thorn Birds aja
Delete