Begitu
menutup lembar terakhir buku ini, tidak…sebenarnya sepanjang paruh kedua buku
ini, ada tiga pertanyaan menggelayut di pikiranku: Adakah perbedaan antara
kejeniusan dan kegilaan? Apakah seorang pelukis mampu melukis dengan hebat
karena ia memiliki bibit-bibit kegilaan? Ataukah ia menjadi gila akibat
mencurahkan emosi sebegitu besarnya pada lukisan? Dan yang terakhir, apa
sebenarnya ‘gila’ itu? Membaca buku ini saja takkan mampu menjawab pertanyaan
itu, malah aku merasa buku ini memang benar-benar gila. GILA bagusnya!!
Lust for
Life menuturkan kisah hidup Vincent Van Gogh (30 Maret
1853 – 29 Juli 1890), seorang maestro seni lukis asal
Belanda yang merupakan salah satu pelukis termahal di dunia. Van Gogh adalah
salah satu pelukis beraliran post-impressionist yang saat itu tengah melanda Prancis.
Para pelukis lain yang sealiran dengannya antara lain Paul Gauguin, Paul
Cezanne, Henri de Toulouse-Lautrec, dan Georges Seurat, yang adalah
kawan-kawannya. Lukisan Van Gogh memiliki ciri khas sapuan yang kasar namun
cantik, dengan warna-warna yang tegas dan cat yang tebal, menyiratkan emosi
yang sepenuhnya dicurahkan sang pelukis. Sementara pelukis-pelukis sebelumnya
menangkap keindahan untuk ditorehkan ke atas kanvas, Van Gogh justru memotret
kesuraman hidup, kemiskinan dan penderitaan yang karakter kuatnya kemudian ia
pancarkan lewat kanvasnya. Van Gogh melukis bukan untuk memanjakan mata, namun
untuk merasakan getar kehidupan dari manusia maupun alam.
Salah satu
lukisan awalnya: The Potato Eaters, memotret sebuah keluarga petani miskin di
Nuenen. Lukisan ini disebut oleh Van Gogh sebagai karya terbaiknya.
"You see, I really have wanted to make
it so that people get the idea that these folk, who are eating their potatoes
by the light of their little lamp, have tilled the earth themselves with these
hands they are putting in the dish, and so it speaks of manual labor and — that
they have thus honestly earned their food. I wanted it to give the idea of a
wholly different way of life from ours — civilized people. So I certainly don’t
want everyone just to admire it or approve of it without knowing why."
~dari wikipedia
“Mereka menanam kentang, mencangkul kentang, dan memakan kentang; itulah kehidupan mereka.”
|
Vincent van
Gogh
Painting,
Oil on Canvas
Nuenen, The
Netherlands: April, 1885
Van Gogh
Museum, Amsterdam
|
Van Gogh
lahir dari keluarga pendeta, dan digadang-gadang oleh keluarganya menjadi
penerus sang ayah, berkarya melayani Tuhan. Selama bertahun-tahun Van Gogh
berjalan tak tentu arah mencari panggilan hidupnya. Berawal dari penjual
lukisan di galeri, Van Gogh tak puas karena mereka hanya fokus pada faktor komersial
saja, tanpa mengindahkan seni sama sekali.
Kemudian setelah
belajar di sekolah alkitab, Van Gogh menyadari bahwa ia harus berkarya di
daerah yang miskin, maka ia bertolak ke Borinage, sebuah desa pertambangan di
Belgia. Namun di sana ia menemukan bahwa bukan sabda Tuhan yang dibutuhkan
masyarakat, melainkan makanan, pakaian dan obat-obatan. Maka layaknya seorang
martir, Van Gogh pun mengorbankan semua miliknya bagi mereka yang paling menderita.
Tak mampu menolong mereka, ia mulai kehilangan imannya kepada Tuhan. Lalu
berkat bantuan adiknya yang sangat mencintainya, Theo, ia pun menemukan jalan
hidupnya yaitu melukis.
Ketika anda
memandang sebuah lukisan terutama karya seorang maestro, jangan membayangkan
bahwa si pelukis, karena bakatnya, tinggal duduk di depan kanvas, mengulaskan
kuas ke atasnya, lalu sim-salabim…..terciptalah lukisan indah yang kemudian
terpajang di galeri-galeri. Tidak. Sama sekali tidak! Untuk menciptakan karya
yang optimal, seorang pelukis membutuhkan paling tidak sepuluh tahun untuk
berlatih, belajar dan terus melukis. Awalnya lukisannya akan terlihat mentah,
lalu lama kelamaan lukisannya akan bertambah ‘matang’, hingga suatu hari ia
akan mencapai puncak, dan ketika namanya kelak sudah mendunia, lukisan-lukisan
awalnya pun akan terus diburu orang. Sepanjang hidupnya Van Gogh hanya pernah
mengalami rasa bangga karena lukisannya terjual sebanyak satu kali saja!
Inilah
lukisan The Red Vineyard yang pertama dijual Theo adiknya seharga empat ratus
franc:
|
Vincent van
Gogh
Painting,
Oil on Canvas
Arles:
November, 1888
Pushkin
Museum, Moscow
|
Membaca buku
ini aku semakin menyadari betapa beratnya perjalanan seorang pelukis. Ternyata
melukis bukan sekedar memulas kuas ke kanvas untuk membubuhkan bentuk dan
warna, melukis adalah pertama-tama menangkap energi dan esensi sebuah obyek
menurut sudut pandang si pelukis, lalu menuangkannya ke atas kanvas agar orang
yang melihatnya menangkap pemikiran atau perasaan si pelukis tentang obyek itu.
Jadi lukisan yang indah bukan dinilai dari indah/tidaknya obyek yang dilukis,
melainkan lebih pada mampu/tidaknya si pelukis mencerminkan esensi obyek itu. Kupikir-pikir,
melukis sama saja dengan mereview sebuah buku (seperti tulisan ini), tujuannya
adalah menangkap esensi atau emosi sebuah buku dan menuangkannya dalam review.
Lukisan dan review hanya berbeda medianya saja…
Vincent Van
Gogh sendiri berjuang selama lebih dari sepuluh tahun, selama itu ia
berpindah-pindah tempat, dar Belanda, ke Belgia, ke Paris, dan banyak kota-kota
kecil di antaranya. Ia juga sering mengalami kegagalan cinta—dan seringkali
karena si wanita atau keluarganya memandang rendah dirinya yang kerjanya ‘hanya’
melukis, miskin, tak punya masa depan. Van Gogh hidup sangat miskin, hanya
bergantung pada uang saku yang dikirimkan oleh sang adik Theo. Seumur hidupnya
Van Gogh tak pernah mampu membiayai hidupnya sendiri, kerapkali ia harus
menahan lapar demi hasrat yang meledak-ledak untuk melukis. Namun ia selalu sadar
dan yakin bahwa melukis adalah panggilan hidupnya.
Lukisan bunga
matahari Van Gogh dalam bentuk Still Life yang penuh warna kuning cerah, warna
yang menjadi ciri khas sampul buku ini:
|
Vincent van
Gogh
Painting,
Oil on Canvas
Arles,
France: August, 1888
National
Gallery, London
|
Sepanjang
hidupnya yang singkat (ia meninggal di usia 37 tahun), Van Gogh tak banyak
disukai orang, banyak yang menganggapnya gila dan menilai lukisannya sebagai
karya yang buruk. Pendeknya, bagi dunia Van Gogh adalah manusia yang gagal.
Padahal semua itu karena dunia tak mau benar-benar menghargai jiwa seni.
“Aku tahu bahwa pada dasarnya memang benar
bahwa pelukis adalah orang yang terlalu diserap oleh apa yang dilihatnya dan
tidak cukup menguasai bagian kehidupannya yang lain. Tapi apakah itu membuatnya
tidak pantas hidup di dunia ini?” ~hlm. 527
|
potret diri, dilukis Van Gogh dari cermin |
Apakah karenanya
semangat Van Gogh kemudian surut? Tidak. Dan ini mungkin sebuah filosofi yang
harus dianut semua orang yang berjiwa seni, dan seni itu menjadi panggilan
hidupnya.
“Apa yang dipikirkan dunia tidak banyak
bedanya. Rembrandt harus melukis. Apakah dia melukis dengan baik atau jelek,
tidak jadi soal baginya; melukis adalah sarana yang membuatnya menjadi seorang
manusia yang utuh. Nilai utama seni, Vincent, terletak pada ekspresi yang
diberikannya kepada pelukis. Bahkan kalau karyanya (Rembrandt) tidak dihargai,
dia ribuan kali lebih sukses daripada kalau dia meninggalkan keinginannya dan
menjadi pedagang kaya di Amsterdam.” ~hlm. 51
Untunglah
bagi kita semua, bahwa orang-orang seperti Vincent Van Gogh, meski harus
menderita, dikucilkan, namun tak pernah berpaling dari apa yang menjadi
jiwanya. Kupikir mereka adalah orang-orang yang sukses karena mereka, dengan kegigihannya,
berhasil mewujudkan hasratnya terlepas dari segala kendala dan meski tak ada
orang yang menghargainya. Asalkan mereka memiliki cinta, mampu mencintai dan
dicintai. Di hidupnya yang hanya 37 tahun, terlepas dari semua derita dan
kegilaannya, kupikir Vincent Van Gogh telah menjalani hidup yang sempurna.
Lukisan Van
Gogh yang paling terkenal: The Starry Night, yang dilukisnya ketika sudah
tinggal di Rumah Sakit Jiwa Saint Remi:
|
Vincent van
Gogh
Painting,
Oil on Canvas
Saint-Rémy,
France: June, 1889
The Museum
of Modern Art, New
York
|
Sekarang
kembali pada pertanyaanku di paragraf awal tentang kegilaan, karena ya..pada
akhir karirnya Vincent boleh kita anggap menjadi gila (bila bipolar disorder
dan schizophrenia bisa dikatakan gila) dan harus tinggal di Rumah Sakit Jiwa. Sekali
lagi pertanyaannya adalah, apakah memang ada bakat kegilaan dalam diri Van Gogh
atau pelukis lainnya yang membuat mereka berhasil menjalani hidup sebagai pelukis?
Atau justru gaya hidup mereka sebagai pelukis dengan emosi yang
meledak-ledaklah yang membuat mereka menjadi gila? Yang manapun yang benar,
kupikir sekarang tak menjadi soal, toh seseorang disebut gila karena ia
memiliki pemikiran yang berbeda dari pakem yang ada, atau out of the box
istilahnya. Buktinya, meski Vincent Van Gogh pada jamannya dianggap gila dan
lukisanya jelek, kini ia menjadi salah satu maestro dunia yang lukisannya
terjual dengan nilai yang menakjubkan. Jadi, sebenarnya yang gila pelukisnya
atau para pecinta seni yang rela merogoh kocek untuk memajang pulasan kuas yang
kasar dan penuh energi itu? Satu hal yang pasti buatku, buku ini sendiri memang
gila, GILA bagusnyaaa!
Judul: Lust
For Life
Penulis:
Irving Stone
Penerjemah:
Rahmani Astuti
Editor:
Anton Kurnia
Penerbit:
Serambi Cerita Utama
Terbit: Juli
2012
Tebal: 574
hlm