Setelah tiga
setengah abad dijajah Belanda, Indonesia akhirnya boleh merasakan kemerdekaan
pada 17 Agustus 1945. Namun bukan berarti segala urusan langsung selesai,
karena Belanda lewat VOC telah meninggalkan utang yang jumlahnya sangat besar.
Pada tahun 1949 digelarlah Konferensi Meja Bundar yang agendanya untuk
menyerahkan kedaulatan penuh pada Indonesia, hanya saja ada syarat yang harus
dipenuhi Indonesia untuk mendapatkan kedaulatan itu yaitu bersedia menanggung
beban utang sebesar 134 juta gulden. Delegasi yang saat itu dipimpin Bung Hatta
awalnya menolak, namun beberapa hari sebelum babak akhir konferensi, mereka
tiba-tiba menerima tanpa syarat. Diduga pada malam sebelumnya tiba sebuah kawat
dari Jakarta yang telah menguak rahasia selama seratus lima puluh tahun.
Rahasia yang mengatakan bahwa di suatu tempat di bawah bumi Jakarta tersimpan
harta yang berlimpah, yang membuat beban utang yang harus ditanggung itu jadi
tampak tak ada artinya.
Itulah inti
kisah novel karya E.S. Ito ini yang meramu fakta sejarah kolonialisme Belanda
dengan VOC-nya dengan kisah fiksi menjadikan buku ini sebuah thriller sejarah
bercampur budaya. Kilau emas selalu membutakan mata manusia, dan seperti gula
selalu akan dirubung semut, emas pun akan selalu mendatangkan banyak orang
dengan banyak kepentingan di sekitarnya. Sayangnya tak seperti gerombolan semut
yang dengan bergotong royong mengangkut gula itu bersama-sama, keserakahan ras
manusia yang ingin mengangkangi kekayaan membuat mereka saling jegal, tipu dan
bunuh.
Agak sulit
mengisahkan novel ini secara singkat, ada begitu banyak aspek di dalamnya,
dengan banyak kejadian dan banyak tokoh. Ada wartawan yang menyelidiki
pembunuhan beruntun yang terjadi di tempat-tempat berawalan huruf “B”, ada mahasiswi
dari Belanda yang mencari data tentang sejarah ekonomi kolonial VOC di Jakarta,
ada tiga peneliti dari Eropa yang melakukan pencarian di bawah tanah kota tua
Jakarta, ada guru sejarah SMA yang terobsesi pada Bung Hatta, ada juga pemilik
lembaga kajian partikelir. Singkatnya ada begitu banyak kepentingan di seputar
rahasia harta terpendam itu, yang pada awalnya mereka semua tampak tak
berhubungan dan tidak tertarik, namun sejatinya mereka semua mengarah pada
titik yang sama.
Seperti
biasa pada kisah jenis ini, sulit untuk menebak dari awal siapa protagonis dan
siapa antagonis, yang dicurigai bisa saja sebenarnya bermaksud baik, dan yang
tak berdosa bisa saja justru bajingannya. Tapi anda takkan sempat memikirkan
itu semua karena alur cepat kisah ini hanya akan membuat anda mengikuti saja
alurnya hingga tamat.
Tidak banyak
penulis Indonesia saat ini yang memilih genre fiksi sejarah, mungkin karena
riset panjang yang harus dilakukan sebelum merangkainya dengan fiksi. Aku harus
mengacungkan jempol pada E.S. Ito yang berani mengambil resiko melakukan riset
tentang sejarah kolonialisme Belanda ini, juga untuk pilihannya dalam
membingkai sejarah itu dalam sebuah thriller beralur cepat. Namun
sayangnya—menurutku—Ito terbelah antara ingin menghidangkan thriller yang menegangkan,
sejarah yang lengkap (sehingga kita bisa belajar banyak darinya) dan
idealismenya tentang generasi sekarang Indonesia yang larut dalam konsumerisme
dan tak punya rasa nasionalisme. Hasilnya, aku merasakan porsi thriller yang
sangat kental di sini—jenis buku yang tak bisa anda letakkan sebelum selesai
karena esok hari pasti anda akan lupa poin-poin sebelumnya :).
Porsi
sejarah aku rasakan terlalu berlebihan, dalam arti aku merasa seolah dipaksa
mempelajari ilmu sejarah yang dijejalkan dalam sebuah buku. Sebenarnya aku
lebih suka penulis mengambil sebuah potongan kecil saja dari sejarah, lalu
fokus di sana dengan mengisahkan detailnya (bisa lewat tokoh-tokoh fiksi)
sehingga paling tidak peristiwa tertentu itu akan meresap dalam benak kita;
ketimbang hanya menyebutkan detail-detail dalam narasi seolah kita membacanya
dalam buku pelajaran sejarah yang, seperti anda juga mungkin rasakan, akan
menguap hilang segera setelah kita menutup buku—atau kalau jaman sekolah,
segera setelah ulangan selesai :).
Porsi
idealisme juga rasanya tidak tepat dipaksakan dalam sebuah thriller, kesannya
menjadi aneh. Menurutku penulis harusnya memilih salah satu unsur saja, kalau
ia mau menghibur, tulisalah sesuatu yang memanjakan pembaca. Kalau ia ingin
menanamkan idealisme, pilihlah kisah yang simple dan masukkan ide itu ke
dalamnya sehingga pembaca dapat benar-benar menangkapnya. Novel ini kurasakan
memaksakan diri menjejalkan semuanya sehingga akhirnya menjadi kurang nikmat
untuk dibaca.
Mungkin
karena pemaksaan itu, aku jadi tak merasakan emosi di dalamnya. Aku tak merasa
diriku terseret masuk ke dalam kisahnya, sepanjang waktu aku hanya mengamati
dari jauh (seringkali dengan bingung) semua peristiwa yang mengalir itu. Ada
beberapa hal yang janggal menurutku, tiga peneliti Eropa terkesan seperti mahasiswa
yunior dalam dialog mereka. Ada narasi yang juga aku rasa kurang pas tentang
salah satu peneliti itu:
“Dia benar-benar merasa jadi pemimpin sejati
sekarang. Memberikan perintah yang membingungkan adalah tugas seorang pemimpin.”
Apakah maksudnya menyindir Rafael (peneliti itu)? Kalau ya, bukankah lebih enak
bila ditambahkan sesuatu seperti ‘begitu pikir Rafael’ di akhir kalimat?
Kalimat itu menjadi penutup sebuah bab, dan aku merasa sangat terganggu ketika
hendak lanjut ke bab berikutnya.
Hal lain
yang aku merasa kurang pas adalah pada scene penculikan Cathleen. Di awal
perjumpaannya, Cathleen menganggap Kalek penculiknya sebagai psikopat,
bagaimana ia bisa menganggap begitu? Padahal Kalek selama itu memperlakukan
Cathleen hamper seperti kawan diskusi, dan dari dialog mereka aku justru merasa
Kalek orang yang cukup lembut, tak ada tanda-tanda Kalek yang menghadapi
Cathleen sebagai psikopat.
Selain ‘kejanggalan-kejanggalan’
itu, Ito sering beralih dari masa kini ke masa lalu (dan sebaliknya) dengan
tiba-tiba hingga beberapa kali aku merasa bingung, alangkah baiknya bila di
awal ada sedikit saja petunjuk, misalnya ‘15 tahun lalu…’. Ada lagi scene
tentang pembangunan Stadthuis (bab 5), di awal narasi mengarah ke putri Gubernur
Jendral VOC yang meletakkan batu pertama pada tahun 1707, eh tiba-tiba tanpa
peringatan cerita sudah bergeser ke masa kini lagi dengan komentar Rafael si
peneliti. Hal-hal inilah yang mengganggu proses bacaku.
Kesimpulannya,
novel ini akan dapat dinikmati dengan lebih baik bagi mereka yang menggemari
kisah yang mengedepankan logika beralur cepat. Sedang bagiku yang membaca lebih
dengan hati ketimbang otak, aku lebih menyukai kisah yang sederhana namun mampu
menggetarkan perasaan entah dengan cara bagaimana. Rahasia Meede jelas bukan
genre yang cocok untukku, dan aku mengganjarnya dengan tiga batang emas karena
bagaimana pun aku menghargai keberanian E.S. Ito untuk merambah fiksi sejarah.
Judul:
Rahasia Meede
Penulis:
E.S. Ito
Penerbit:
Hikmah (Mizan group)
Terbit:
Agustus 2007
Tebal: 675
hlm.
Iya, buku ini memang terkesan menjejalkan banyak hal di dalamnya, kalo dibaca hanya sekedar sebagai hiburan kok kayaknya bukan bacaan yang tepat ya. Tapi aku cukup menikmati baca buku ini dengan segala detailnya, lebih menyenangkan daripada baca non fiksi hahaha :D
ReplyDeleteYup, benar, terasa dijejalkan begitu saja tanpa diberi emosi sama sekali. Aku masih menunggu penulis Indonesia yang bisa menulis historical fiction yang bagus, selama ini baru nemu 1: Ratih Kumala dengan Gadis Kreteknya.
DeleteBaca review Mbak Fanda rasanya isi buku ini 'penuh' banget. Semoga bisa nyaman kubaca, soalnya aku pembaca yang lebih mengandalkan otak :D
ReplyDeleteKalau buat otak memang 'penuh' Sin, justru buat jiwa yang kosong, alias gak ada emosinya...
Delete