Monday, September 3, 2012

Rahasia Meede


Setelah tiga setengah abad dijajah Belanda, Indonesia akhirnya boleh merasakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Namun bukan berarti segala urusan langsung selesai, karena Belanda lewat VOC telah meninggalkan utang yang jumlahnya sangat besar. Pada tahun 1949 digelarlah Konferensi Meja Bundar yang agendanya untuk menyerahkan kedaulatan penuh pada Indonesia, hanya saja ada syarat yang harus dipenuhi Indonesia untuk mendapatkan kedaulatan itu yaitu bersedia menanggung beban utang sebesar 134 juta gulden. Delegasi yang saat itu dipimpin Bung Hatta awalnya menolak, namun beberapa hari sebelum babak akhir konferensi, mereka tiba-tiba menerima tanpa syarat. Diduga pada malam sebelumnya tiba sebuah kawat dari Jakarta yang telah menguak rahasia selama seratus lima puluh tahun. Rahasia yang mengatakan bahwa di suatu tempat di bawah bumi Jakarta tersimpan harta yang berlimpah, yang membuat beban utang yang harus ditanggung itu jadi tampak tak ada artinya.

Itulah inti kisah novel karya E.S. Ito ini yang meramu fakta sejarah kolonialisme Belanda dengan VOC-nya dengan kisah fiksi menjadikan buku ini sebuah thriller sejarah bercampur budaya. Kilau emas selalu membutakan mata manusia, dan seperti gula selalu akan dirubung semut, emas pun akan selalu mendatangkan banyak orang dengan banyak kepentingan di sekitarnya. Sayangnya tak seperti gerombolan semut yang dengan bergotong royong mengangkut gula itu bersama-sama, keserakahan ras manusia yang ingin mengangkangi kekayaan membuat mereka saling jegal, tipu dan bunuh.

Agak sulit mengisahkan novel ini secara singkat, ada begitu banyak aspek di dalamnya, dengan banyak kejadian dan banyak tokoh. Ada wartawan yang menyelidiki pembunuhan beruntun yang terjadi di tempat-tempat berawalan huruf “B”, ada mahasiswi dari Belanda yang mencari data tentang sejarah ekonomi kolonial VOC di Jakarta, ada tiga peneliti dari Eropa yang melakukan pencarian di bawah tanah kota tua Jakarta, ada guru sejarah SMA yang terobsesi pada Bung Hatta, ada juga pemilik lembaga kajian partikelir. Singkatnya ada begitu banyak kepentingan di seputar rahasia harta terpendam itu, yang pada awalnya mereka semua tampak tak berhubungan dan tidak tertarik, namun sejatinya mereka semua mengarah pada titik yang sama.

Seperti biasa pada kisah jenis ini, sulit untuk menebak dari awal siapa protagonis dan siapa antagonis, yang dicurigai bisa saja sebenarnya bermaksud baik, dan yang tak berdosa bisa saja justru bajingannya. Tapi anda takkan sempat memikirkan itu semua karena alur cepat kisah ini hanya akan membuat anda mengikuti saja alurnya hingga tamat.

Tidak banyak penulis Indonesia saat ini yang memilih genre fiksi sejarah, mungkin karena riset panjang yang harus dilakukan sebelum merangkainya dengan fiksi. Aku harus mengacungkan jempol pada E.S. Ito yang berani mengambil resiko melakukan riset tentang sejarah kolonialisme Belanda ini, juga untuk pilihannya dalam membingkai sejarah itu dalam sebuah thriller beralur cepat. Namun sayangnya—menurutku—Ito terbelah antara ingin menghidangkan thriller yang menegangkan, sejarah yang lengkap (sehingga kita bisa belajar banyak darinya) dan idealismenya tentang generasi sekarang Indonesia yang larut dalam konsumerisme dan tak punya rasa nasionalisme. Hasilnya, aku merasakan porsi thriller yang sangat kental di sini—jenis buku yang tak bisa anda letakkan sebelum selesai karena esok hari pasti anda akan lupa poin-poin sebelumnya :).

Porsi sejarah aku rasakan terlalu berlebihan, dalam arti aku merasa seolah dipaksa mempelajari ilmu sejarah yang dijejalkan dalam sebuah buku. Sebenarnya aku lebih suka penulis mengambil sebuah potongan kecil saja dari sejarah, lalu fokus di sana dengan mengisahkan detailnya (bisa lewat tokoh-tokoh fiksi) sehingga paling tidak peristiwa tertentu itu akan meresap dalam benak kita; ketimbang hanya menyebutkan detail-detail dalam narasi seolah kita membacanya dalam buku pelajaran sejarah yang, seperti anda juga mungkin rasakan, akan menguap hilang segera setelah kita menutup buku—atau kalau jaman sekolah, segera setelah ulangan selesai :).

Porsi idealisme juga rasanya tidak tepat dipaksakan dalam sebuah thriller, kesannya menjadi aneh. Menurutku penulis harusnya memilih salah satu unsur saja, kalau ia mau menghibur, tulisalah sesuatu yang memanjakan pembaca. Kalau ia ingin menanamkan idealisme, pilihlah kisah yang simple dan masukkan ide itu ke dalamnya sehingga pembaca dapat benar-benar menangkapnya. Novel ini kurasakan memaksakan diri menjejalkan semuanya sehingga akhirnya menjadi kurang nikmat untuk dibaca.

Mungkin karena pemaksaan itu, aku jadi tak merasakan emosi di dalamnya. Aku tak merasa diriku terseret masuk ke dalam kisahnya, sepanjang waktu aku hanya mengamati dari jauh (seringkali dengan bingung) semua peristiwa yang mengalir itu. Ada beberapa hal yang janggal menurutku, tiga peneliti Eropa terkesan seperti mahasiswa yunior dalam dialog mereka. Ada narasi yang juga aku rasa kurang pas tentang salah satu peneliti itu:

Dia benar-benar merasa jadi pemimpin sejati sekarang. Memberikan perintah yang membingungkan adalah tugas seorang pemimpin.” Apakah maksudnya menyindir Rafael (peneliti itu)? Kalau ya, bukankah lebih enak bila ditambahkan sesuatu seperti ‘begitu pikir Rafael’ di akhir kalimat? Kalimat itu menjadi penutup sebuah bab, dan aku merasa sangat terganggu ketika hendak lanjut ke bab berikutnya.

Hal lain yang aku merasa kurang pas adalah pada scene penculikan Cathleen. Di awal perjumpaannya, Cathleen menganggap Kalek penculiknya sebagai psikopat, bagaimana ia bisa menganggap begitu? Padahal Kalek selama itu memperlakukan Cathleen hamper seperti kawan diskusi, dan dari dialog mereka aku justru merasa Kalek orang yang cukup lembut, tak ada tanda-tanda Kalek yang menghadapi Cathleen sebagai psikopat.

Selain ‘kejanggalan-kejanggalan’ itu, Ito sering beralih dari masa kini ke masa lalu (dan sebaliknya) dengan tiba-tiba hingga beberapa kali aku merasa bingung, alangkah baiknya bila di awal ada sedikit saja petunjuk, misalnya ‘15 tahun lalu…’. Ada lagi scene tentang pembangunan Stadthuis (bab 5), di awal narasi mengarah ke putri Gubernur Jendral VOC yang meletakkan batu pertama pada tahun 1707, eh tiba-tiba tanpa peringatan cerita sudah bergeser ke masa kini lagi dengan komentar Rafael si peneliti. Hal-hal inilah yang mengganggu proses bacaku.

Kesimpulannya, novel ini akan dapat dinikmati dengan lebih baik bagi mereka yang menggemari kisah yang mengedepankan logika beralur cepat. Sedang bagiku yang membaca lebih dengan hati ketimbang otak, aku lebih menyukai kisah yang sederhana namun mampu menggetarkan perasaan entah dengan cara bagaimana. Rahasia Meede jelas bukan genre yang cocok untukku, dan aku mengganjarnya dengan tiga batang emas karena bagaimana pun aku menghargai keberanian E.S. Ito untuk merambah fiksi sejarah.

Judul: Rahasia Meede
Penulis: E.S. Ito
Penerbit: Hikmah (Mizan group)
Terbit: Agustus 2007
Tebal: 675 hlm.

4 comments:

  1. Iya, buku ini memang terkesan menjejalkan banyak hal di dalamnya, kalo dibaca hanya sekedar sebagai hiburan kok kayaknya bukan bacaan yang tepat ya. Tapi aku cukup menikmati baca buku ini dengan segala detailnya, lebih menyenangkan daripada baca non fiksi hahaha :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup, benar, terasa dijejalkan begitu saja tanpa diberi emosi sama sekali. Aku masih menunggu penulis Indonesia yang bisa menulis historical fiction yang bagus, selama ini baru nemu 1: Ratih Kumala dengan Gadis Kreteknya.

      Delete
  2. Baca review Mbak Fanda rasanya isi buku ini 'penuh' banget. Semoga bisa nyaman kubaca, soalnya aku pembaca yang lebih mengandalkan otak :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau buat otak memang 'penuh' Sin, justru buat jiwa yang kosong, alias gak ada emosinya...

      Delete

Bagaimana pendapatmu?