Ini adalah kisah anak manusia dengan segala kekurangannya, menapaki jenjang karier dari bawah, tanpa kelimpahan harta, tanpa kecurangan, tanpa dukungan kelas sosial. Hanya dengan suara dan tekadnya. Inilah kisah Marcus Tullius Cicero, sang orator terbesar pada jaman Romawi kuno, 2000 tahun yang lalu….
Imperium merupakan fiksi sejarah karya Robert Harris yang ditulis seolah sebagai sebuah memoar dari seorang negarawan jaman Romawi, dengan Tiro sebagai naratornya. Tiro sendiri awalnya adalah seorang budak rumahan milik ayah Cicero, yang lalu menjadi pengurus perpustakaan. Cicero meminjamnya untuk dijadikan sekretaris pribadinya. Pekerjaannya menjadi juru tulis seorang orator memaksa Tiro menulis secepat curahan kata-kata Cicero. Akhirnya Tiro menciptakan sistem penulisan cepat dengan simbol-simbol untuk mewakili kata atau frase tertentu. Sistem ini kelak disempurnakan dan dikenal sebagai sistem stenografi. Ada yang bilang, Tiro lah penemu sistem ini.
Aku dulu kuliah di fakultas kesekretariatan, dan pernah belajar steno, meski sekarang sama sekali kulupakan. Takjub juga ketika aku "berkenalan" dengan sang pencipta steno sendiri lewat buku ini. Inilah sistem steno yang dulu kupelajari di bangku kuliah.
Steno system Groote yang aku pelajari di bangku kuliah
Kembali ke kisah Cicero. Lahir di Arpinum dari keluarga menengah yang cukup berada (equestrian), Cicero menjadi pengacara muda bersuara serak dan kadang gagap pada usia 27 tahun. Bahkan pada saat itupun Cicero memiliki ambisi besar, dengan meminjam motto Achilles di epic Yunani karya Homer: "Far to excel, out-topping all the rest" ( Jauh mengungguli semua yang lain). Karena itu, Cicero berangkat ke Yunani untuk belajar filsafat (di Akademi Plato di Athena) dan seni retorika bersama Tiro. Meski Tiro adalah budak, Cicero mengajaknya belajar bersama, dan selama karirnya Cicero sangat menghargai Tiro sebagai asisten pribadi yang banyak berjasa bagi kesuksesan Cicero.
Guru yang paling berjasa dalam mengolah kemampuan Cicero berorasi adalah Apollonius Molon. Menarik untuk menyimak metode pengajaran Molon bagi para orator, yakni lewat olah tubuh dalam rangka memperkuat suara dan pernapasan. Karena menurut Molon yang terpenting dalam orasi bukanlah semata-mata isi atau tema orasinya, melainkan: penyampaian, penyampaian, dan penyampaian. Dan memang, kelak Cicero membuktikannya dalam banyak kesempatan.
ilustrasi gaya Cicero ketika berorasi
Untuk menjadi senator di Roma (sama seperti di republik kita tercinta ini), seseorang membutuhkan uang, paling tidak sejuta sestertius. Karena Cicero tak memiliki uang, ia lalu menikahi "uang" bernama Terentia, putri keluarga aristokrat. Maka Cicero pun segera menjadi senator, dan langsung menjadi senator terbaik kedua di Roma setelah Hortensius. Saat itu karir seorang negarawan menanjak lewat banyak jalan. Ada yang lewat jalan aristokrasi seperti Mettelus dan Hortensius, ada yang lewat kekayaan berlimpah seperti Crassus, ada juga yang lewat kekuatan militer seperti Pompeius dan Julius Caesar. Tak memiliki ketiganya, Cicero pun meretas jalan kesuksesan lewat jalur karir hukum.
Gara-gara dinas wajib di Sisilia sebelum resmi menjadi senat di Roma, Cicero memiliki hubungan baik dengan warga Sisilia. Hal ini kelak membantunya dalam sebuah kasus yang menjadi titik penting yang membuat Cicero mulai diperhitungkan dalam percaturan politik di Roma. Kasus itu adalah penjarahan dan suap besar-besaran yang dilakukan oleh Gubernur Sisilia bernama Gaius Verres, diawali oleh pengaduan Sthenius. Dalam kasus ini Cicero membuktikan bahwa ia mampu melawan kekuasaan dan kekayaan hanya dengan kata-kata yang dipadu dengan kecerdikan, tekad dan keberanian.
"Tidak ada satu hal pun yang tak dapat diciptakan atau dihancurkan atau diperbaiki dengan kata-kata." (Cicero) ~hlm 286.
Maka, dari jabatan quaestor (magistratus paling yunior), pelan-pelan ia menanjak menjadi aedilis, lalu praetor dan akhirnya maju dalam pemilihan umum untuk menjadi konsul. Tentu saja jalan yang harus dilaluinya begitu terjal dan penuh tantangan. Boleh dibilang Cicero adalah senator yang paling dibenci anggota senat lainnya. Banyak negarawan yang pernah menjadi "korban"nya, dan tentu saja menghalalkan segala cara untuk menghalangi jalannya untuk meniti karir tertinggi yang menjadi ambisinya.
ilustrasi Cicero dalam orasi maki-makiannya yang terkenal: In toga candida, saat ia mencaci-maki Catilina dan Antonius, lawannya (saat pemilihan konsul)
Menggabungkan filosofi dengan politik, kurasa Cicero adalah senator paling cerdas di Roma saat itu. Ditambah lagi, Cicero adalah negarawan yang "cinta rakyat". Dalam banyak kesempatan, ia menekankan bahwa suara rakyat adalah penentu jalannya pemerintahan. Ia pun piawai dalam berkampanye dan dalam pencitraan diri. Kedua hal itu menjadikan Cicero makin dicintai rakyat, karena dianggap berani melawan para aristokrat sombong yang tak memperhatikan kepentingan rakyat.
Seperti banyak pria "besar" yang berpengaruh, hampir selalu ada peran wanita di baliknya. Dalam hal Cicero, Terentia adalah sosok yang menyemangati dan seringkali memberikan solusi saat Cicero kehabisan akal. Paling tidak, dalam kasus korupsi Verres dan ketika Cicero menemukan konspirasi Crassus-Caesar untuk menjadi penguasa Romawi lewat suap besar-besaran, Cicero pun memakai ide dari Terentia yang terbukti mumpuni.
Di buku ini, anda juga akan menikmati kemunculan awal Julius Caesar muda. Di sini Caesar digambarkan sebagai politikus licik dan playboy. Ia berselingkuh dengan istri kawannya, dan bahkan Tiro pernah memergoki Caesar sedang bercinta dengan istri seorang imperator saat itu.
Membaca Imperium, aku jadi merasakan campuran antara ketegangan, kekecewaan, kegeraman, juga sukacita kemenangan, berganti-ganti sepanjang buku ini. Lewat Imperium, kita bisa lebih memahami tentang republik Romawi dengan keunikannya. Misalnya sistem dua konsul yang berbagi kekuasaan, menghindari kediktatoran. Lalu pengaruh status aristokrat yang sangat kuat dalam pemerintahan. Juga adanya tribunus (semacam DPR) yang mewakili rakyat dan bertugas mengesahkan undang-undang. Kita juga diajak melihat betapa licik dan busuknya konspirasi politik. Lawan bisa menjadi kawan, dan kawan bisa menjadi lawan. Robert Harris membuat novel bernuansa politik yang harusnya membosankan menjadi hidup. Saat orasi Cicero misalnya, aku bahkan bisa membayangkan suasananya, sekaligus orasinya yang kadang menghentak namun kadang menyentuh. Luar biasa!
Dan akhirnya, tentu saja kita jadi dapat mengenal sosok Cicero secara lebih pribadi dan manusiawi berkat penuturan Robert Harris lewat narasi Tiro. Ada perasaan haru menyeruak di dada ketika aku boleh mengenal sang orator terbesar, salah seorang berpengaruh di kerajaan terbesar yang pernah ada di bumi: Romawi. Tentu saja, mengenalnya lewat buku ini. Bravo Robert Harris! Dan aku pun tak sabar menunggu bagian kedua buku ini yang berjudul Conspirata. Siapa lagi yang akan menerbitkannya, kalau bukan Gramedia, yang telah menyajikan buku ini bagi kita lewat penerjemahan yang apik dan boleh dibilang "bersih". Empat bintang untuk Imperium!
Judul: Imperium
Penulis: Robert Harris
Penerjemah: Femmy Syahrani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Mei 2008
Tebal: 413 hlm