Kalau ada yang bertanya kepadaku, siapa di antara tokoh-tokoh Romawi yang namanya paling dikenang sepanjang masa? Julius Caesar? Jawabku: bukan, Pontius Pilatus! Bagi umat Katolik, nama orang-bukan orang-kudus yang paling banyak disebut-sebut pastinya Pontius Pilatus. Bayangkan, tiap kali kami mengucapkan kredo Aku Percaya, namanya selalu terselip:
“Aku percaya akan Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, dan akan Yesus Kristus PutraNya yang tunggal, (.....), yang menderita sengsara dalam pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, wafat dan dimakamkan…”
Dan kredo itu diucapkan setiap kali Misa di seluruh dunia, juga dalam doa-doa harian umat Katolik. Nama Pontius Pilatus juga tercetak di semua Alkitab di seluruh dunia. Meski peristiwa penyaliban Yesus
merupakan rencana Tuhan, tapi mau tak mau kami harus mengakui bahwa peran Pilatus dalam peristiwa yang mengubah sejarah itu memang sangat besar. Novel fiksi sejarah
Pontius Pilatus yang ditulis oleh seorang sejarawan bernama Paul L. Maier ini menjabarkan secara terperinci sosok Pontius Pilatus yang mendekati kenyataan, karena Maier menulis buku ini dengan pendekatan sejarah dan kitab suci.
Pada masa pemerintahan Kaisar Tiberius, Pontius Pilatus adalah seorang Tribun kohor praetorian pertama (pemimpin pasukan) di bawah Prefek (pemimpin pasukan elite pengawal kaisar) L. Aelius Sejanus. Saat itu Sejanus merupakan prefek yang tengah bersinar bintangnya, dan Pilatus sebagai bawahannya berharap turut menikmati kesuksesan dalam karirnya dengan selalu setia pada Sejanus—yang seperti dirinya juga berasal dari kaum equestrian (kalangan menengah di Roma). Suatu hari datanglah penugasan bagi Pilatus untuk menjadi Prefek atau Gubernur di wilayah jajahan Roma di Yudea. Saat itu Yudea adalah salah satu daerah yang paling sulit ditundukkan oleh Roma, karena disanalah tinggal kaum Yahudi yang sulit diatur dengan fanatisme agamanya yang amat kuat.
Singkat kata, Pilatus akhirnya berangkat juga bersama istri yang baru saja dinikahinya: Procula. Meski sebelumnya ia telah banyak belajar dan berkonsultasi dengan koleganya tentang Yudea dan kaum Yahudi, apa yang kelak akan dihadapinya sungguh-sungguh di luar dugaannya. Namun sebenarnya, bukan hanya masalah orang Yahudi saja yang harus dipikirkan Pilatus. Kita tahu bahwa Palestina saat itu merupakan negara jajahan Roma. Di satu sisi Pilatus harus mengakomodasi kehendak Roma agar Yudea taat dan tunduk pada Roma, namun di sisi lain ia harus dapat berkompromi dengan kaum Yahudi yang sangat kuat memegang tradisi keagamaannya hingga ke titik fanatik.
Beberapa kali Pilatus sempat bergesekan dengan para pejabat Sanhedrin (semacam dewan agama) dan Imam Agung dalam hal-hal sepele namun nyaris menimbulkan pemberontakan rakyat Yahudi. Begitulah posisi seorang gubernur yang ditempatkan di Yudea, selalu terjepit antara politik dan teologis. Sementara Pilatus berkutat dengan pekerjaannya di Yudea, pergolakan politik juga terkadi di Roma sendiri. Sejanus yang setia dan diperkirakan akan menggantikan Tiberius sebagai Kaisar, ternyata tak lebih daripada seorang oportunis kejam yang berambisi menjadi kaisar. Ketika Sejanus dan antek-anteknya dibasmi dari Roma, kedudukan Pilatus pun berada di ujung tanduk. Maka dalam tindakannya, selalu ada ketakutan bahwa ia akan membuat marah Kaisar, lalu ia dan keluarganya akan dipulangkan dan dibunuh.
Dalam kondisi seperti itulah tiba-tiba muncul di Galilea seorang nabi bernama Yesus dari Nazareth. Pilatus yang tidak percaya dewa-dewi Yunani dan skeptis terhadap hal-hal mistis dan keagamaan, awalnya menganggap enteng sang nabi yang tampaknya tak memiliki ambisi politik itu. Namun lama-kelamaan Yesus mulai masuk ke Yudea dan meresahkan orang Yahudi di sana karena dianggap menghujat Allah. Puncaknya terjadi saat menjelang Paskah di mana umat Yahudi berbondong-bondong ziarah ke Yerusalem.
"Inilah tahun yang mengubah arah sejarah manusia dan menjungkir-balikkan banyak lapisan di dalam kebudayaan dunia, sejak dari sistem penanggalan di bumi sampai dengan nilai-nilai filsafat dan agama yang mendalam. Namun tak ada seorang pun yang menduganya pada bulan-bulan pertama tahun 33. Tak ada seorang pun tahu bahwa pada suatu saat bukan Roma yang menentukan peristiwa-peristiwa dunia, dan tak seorang pun menduga bahwa Yerusalemlah yang menentukannya."
Saat pengadilan bersejarah tanggal 3 April 33 itu, Pilatus--yang tak menemukan kesalahan apa pun pada Yesus--sebenarnya telah melakukan segalanya untuk membebaskan Yesus dari hukuman mati yang diajukan oleh Sanhedrin. Seharusnya tahanan dengan tuduhan agamis diadili sendiri oleh Sanhedrin, tapi demi menyenangkan Roma, Pilatus telah mengubah aturan itu dengan mengambil alih setiap keputusan hukuman mati di tangannya. Sanhedrin boleh mengadili, tapi Pilatus yang menjatuhkan hukuman mati. Untuk kasus Yesus, Pilatus memutuskan untuk ikut mengadili.
Terhitung 5 kali Pilatus mencari akal untuk tidak menjatuhkan hukuman mati. Awalnya Ia memindahkan kasusnya ke Herodes Antipas yang menguasai Galilea--yang kemudian mengembalikan kasus itu ke Pilatus lagi. Lalu Pilatus berusaha mengajukan solusi pembebasan tawanan tiap Paskah yang sudah menjadi tradisi. Kali ini ia mengajukan 2 pilihan saja: Bar-Abbas si perampok kejam, atau Yesus yang kesalahannya ringan. Bayangkan betapa terkejutnya Pilatus ketika rakyat memilih Bar-Abbas untuk dibebaskan, dan minta Yesus disalibkan! Mentok lagi. Ia lalu menyuruh Yesus didera sebagai hukuman, agar rakyat bersimpati. Gagal juga. Bahkan Pilatus berkata dengan nada memelas pada rakyat: "Ecce homo!" (lihatlah orang ini...), namun rakyat tak bergeming dan malah mengajukan tuduhan yang lebih berat.
Kembali Pilatus menanyai Yesus sendirian, di mana terlontar pertanyaan Pilatus yang terkenal itu: "Apa itu kebenaran?". Karena Yesus tak membela dirinya, Pilatus pun bingung. Dan akhirnya ancaman dari Sanhedrin untuk mengadukan Pilatus kepada Kaisar meruntuhkan hati nuraninya. Pilatus dipaksa untuk menjatuhkan hukuman mati itu, meski akhirnya ia cuci tangan.
Dengan membaca buku ini, kita akan diajak memahami peristiwa penyaliban Yesus dari sudut pandang Pilatus sebagai pejabat Roma. Kalau selama ini kita merasa bahwa Pilatus pengecut, namun dengan menyadari situasi saat itu, kita mungkin akan melakukan yang sama bila berada di tempatnya. Kita akan berusaha membantu orang yang tak bersalah, tapi kita pasti akan memikirkan keselamatan diri sendiri kalau bukan orang yang kita cintai. Dan ingat, saat itu Yesus hanya dianggap sebagai nabi biasa, bukan putra Allah!
Yang lebih menarik dari buku ini adalah kisah hidup dan karier Pilatus setelah peristiwa penyaliban itu, suatu hal yang tak pernah kita pikirkan. Apakah ia makin sukses dan kembali ke Roma? Apakah ia menyesali perbuatannya? Apakah ia akhirnya beriman Kristen? Hal-hal itulah yang menarik dari buku ini, selain juga kisah perkawinannya dengan Procula yang terjalin mesra selama sepuluh tahun. Cintanya kepada Procula lah yang menegarkan Pilatus ketika dipanggil menghadap Kaisar Tiberius yang mungkin merupakan hukuman mati baginya.
Dan akhirnya...seperti kata Saulus (Paulus)..
"Baik Pilatus maupun Kornelius (bawahan Pilatus) merupakan bagian dari rencana Allah yang Mahatinggi bagi umat manusia. Apa yang terjadi pada hari raya Paskah itu penting bagi seluruh alam. Seluruh sejarah akan berkisar pada peristiwa itu. Suatu ketika nanti Pilatus akan paham."
Yang jelas, aku menjadi lebih paham tentang peran seorang Pontius Pilatus dalam rencana Allah ini.
4 bintang aku berikan untuk buku ini yang dijadikan 2 bagian oleh Penerbit Dioma. Harusnya aku ingin memberikan 5 bintang, namun sayang banyak typo di sana-sini yang lumayan mengganggu. Catatan-catatan kaki dan penulisan sumber sejarah membuatku semakin menghargai kisah yang aku yakin telah ditulis dengan cermat oleh Paul L. Maier.
Judul: Pontius Pilatus
(buku 1: Dari Panglima Sampai Takhta Gubernur;
buku 2: Dari Pengadilan Kontroversial Sampai Kejatuhan)
Penulis: Paul L. Maier
Penerjemah: FX Bambang Kussriyanto
Penerbit: Dioma
Terbit: buku 1: September 2009; buku 2: Oktober 2009
Tebal: buku 1: 320 hlm; buku 2: 298 hlm