Edgar Allan Poe, bagi yang (mungkin) belum mengenalnya, adalah seorang sastrawan besar Amerika. Beliau meninggal di Baltimore pada tahun 1849, dan sebab kematiannya hingga saat ini masihlah merupakan misteri. Dari sekian banyak sumber, dapat diambil kesimpulan bahwa Poe meninggal di Rumah Sakit Baltimore, empat hari setelah ditemukan dalam keadaan mabuk dan mengenaskan di hotel/kedai minum Ryan tepat pada hari diadakan sebuah pemungutan suara. Setelah itu segera diadakan sebuah pemakaman sangat sederhana, bahkan tanpa sebuah nisanpun, dan hanya dihadiri 4 orang kerabat dan teman lama Poe. Pemakaman itu begitu dingin, hambar, dan berkesan seadanya saja. Dan justru kesan itulah yang melekat di sanubari Quentin Clark, seorang pengacara tampan dan cerdas yang tepat saat pemakaman itu sedang melintas di depan makam.
Quentin adalah salah seorang dari sedikit saja pengagum karya-karya Poe pada saat itu. Pemikiran Poe yang tajam dan kritis, yang mengungkapkan kejeniusannya, tampaknya tak disukai oleh kebanyakan orang, termasuk media cetak yang pada masa itu sangat besar pengaruhnya dalam mempengaruhi opini massa. Media-media itu berlomba-lomba mencela Poe, menyebutnya memiliki moral dan mental yang buruk serta suka bermabuk-mabukan. Quentin sendiri telah beberapa saat berkorespondensi dengan sastrawan pujaannya ini, dan mengetahui bahwa Poe sedang berencana menerbitkan semacam jurnal sastra bertajuk The Stylus, yang akan menampilkan karya-karya sastra 'tingkat tinggi'. Hal itu memancing kebencian para pengarang ‘biasa’ karena membuat karya mereka jadi tampak picisan. Dari surat-menyurat itu, Quentin juga menyadari kegalauan hati Poe karena penolakan dunia terhadapnya, ditambah kondisi keuangannya yang buruk sehingga ia harus mencari dana kesana kemari demi terbitnya The Stylus.
Dari hubungannya dengan Poe, Quentin yakin bahwa Poe tidaklah sejelek yang dibicarakan orang saat itu, dan ini membuatnya termotivasi untuk membersihkan nama baik Poe sebagai sastrawan besar dunia. Hasrat Quentin untuk bertindak sebagai pengacara Poe yang sudah mati ini begitu besar hingga terpaksa mengorbankan kedudukannya di biro hukum yang diwarisi dari ayahnya dan dijalankan bersama Peter, saudara tirinya, juga hubungannya dengan seorang gadis yang dicintainya, Hattie Blum.
Lalu datanglah sebuah artikel yang menyebutkan bahwa karakter detektif dalam tiga kisah detektif yang ditulis Poe diambil dari sosok nyata seseorang yang tinggal di Paris. Nama detektif itu adalah C. Auguste Dupin, seorang jenius dengan kemampuan rasiosinasi (penalaran dengan menggunakan logika dan imajinasi tinggi). Maka Quentin pun pergi ke Paris untuk mencari dan menyeleksi sosok model itu, dan akhirnya menjatuhkan pilihan pada seorang Auguste Duponte.
Auguste Duponte, dengan kemampuan penalarannya yang hebat, telah sering membantu kepolisian Prancis menemukan kebenaran dalam kasus-kasus yang tak terpecahkan. Hal ini membuatnya mendapat banyak musuh yang membencinya, orang-orang yang tak ingin perbuatannya diketahui. Quentin menemukan Duponte dalam keadaan depresi karena hal itu. Dan setelah beberapa bulan merayu Duponte, akhirnya Quentin berhasil membawanya ke Baltimore untuk tinggal bersamanya di rumahnya, Glen Eliza, dan bersama mencari kebenaran dalam misteri kematian Poe.
Di sisi lain, datanglah seorang pengacara bernama Claude Dupin, atau biasa dipanggil Baron Dupin, yang muncul di Baltimore dan mengklaim dirinya sebagai sosok Dupin yang asli. Maka terjadilah sebuah kompetisi antara Duponte bersama Quentin, melawan si Baron bersama Bonjour, seorang wanita pencuri yang jadi asistennya. Banyak hal mencengangkan terjadi selama penyelidikan itu, dan bahaya pun beberapa kali mengancam jiwa Quentin. Sementara itu, pertunangan Quentin dengan Hattie terancam batal karena bibi Hattie dan nenek Quentin marah besar karena menganggap Quentin menodai nama besar keluarga dengan mangkir dari biro hukumnya dan malah mengurusi penyair dengan reputasi jelek yang sudah meninggal. Namun Quentin, dengan semangat berkobar untuk memulihkan nama baik Poe dan keberaniannya tetap melanjutkan penyelidikan bersama Duponte.
Di tengah penyelidikan yang berjalan bak siput, karena banyak orang dekat Poe sendiri tidak mau bersikap terbuka, Quentin mulai terombang-ambing kepercayaannya terhadap August Duponte. Ia bahkan sempat yakin bahwa mungkin Baron Dupin adalah sosok asli darimana karakter Dupin diambil. Baron Dupin sendiri adalah sosok yang menarik. Ia adalah pengacara yang kharismatik, mampu menyihir audience dengan caranya memaparkan kebenaran saat sidang. Namun ia juga tengah dililit utang sehingga akhirnya ikut menyelidiki kasus kematian Poe dengan harapan untuk mendapatkan uang. Ia malah ‘menjual’ acara di mana ia akan membuka kebenaran seputar rahasia kematian Poe.
Dan ceritapun makin bergulir dengan makin cepat dan makin menegangkan. Siapakah sosok detektif yang menjadi role-model Dupin dalam novel Poe? Auguste Duponte yang introvert dan tak banyak omong? Atau Baron Dupin yang flamboyan dan senang dihormati? Berhasilkah Quentin mengembalikan nama baik Poe? Oh….agaknya anda harus mengikuti langkah demi langkah, aksi demi aksi hingga ke halaman terakhir untuk dapatkan semua jawabannya. Di akhir novel ini, salah satu “Dupin” akan membeberkan analisisnya tentang apa yang dilakukan Poe saat ia bepergian dan akhirnya tiba di Baltimore, hingga saat kematiannya. Namun yang jelas, misteri sesungguhnya kematian Edgar Allan Poe masih tetap akan terselimut kabut tebal. Semua orang bisa menduga-duga, berspekulasi, menyusun kronologis, namun kebenaran yang sejati hanya Tuhan dan almarhum Edgar Allan Poe sendiri yang tahu….
Novel ini layak dibaca karena beberapa alasan…
Pertama, dengan membaca novel ini kita akan mendapat wawasan seputar kehidupan pribadi Poe di luar karya sastranya. Kisah cintanya, keluarganya, cita-cita dan idealismenya, juga kelainan kesehatan yang diidapnya. Kita juga akan melihat sikap terpuji Poe yang menolak perbudakan dengan rela menyisihkan sejumlah besar uang demi memberikan kemerdekaan pada seorang budak berkulit hitamnya: Edwin, padahal saat itu kondisi keuangannya sedang sulit. Hal-hal yang manusiawi inilah yang mungkin tak kita dapatkan dengan hanya mencari di Google…
Kedua, kita akan disuguhi banyak petikan dari ranah sastra karya Poe, puisi maupun kisah detektifnya. Bahkan karakter kisah detektifnya juga dipakai untuk menganalisis cara berpikir dan bertindak Poe sehubungan dengan penyelidikan kematiannya. Membaca The Poe Shadow--judul asli buku ini-- seolah mengapresiasi Edgar Allan Poe secara keseluruhan, ya tulisannya, ya pribadinya.
Ketiga, adanya unsur historis bercampur dengan fiksi menambah kenikmatan membaca buku ini. Matthew Pearl telah membingkainya dengan apik sehingga fakta dan fiksi itu mengabur tanpa batas, dan memberi kita sebuah nuansa kisah yang baru. Pearl sendiri mengklaim bukunya ini sebagai analisa misteri kematian Poe yang paling mendekati otentik, karena selain dari data-data yang telah ada hingga kini, ia juga memasukkan data-data baru yang belum pernah terungkap sebelumnya (lihat/dengar di videonya di: sini). Dan jangan khawatir, di catatan pengarang, Pearl akan memilah-milah mana fakta dan mana fiksi dari kisah ini, juga data-data baru yang ia dapatkan. Pendeknya, membaca kisah ini puas deh!
Catatan untuk penerbit Q-Press >> Sayang sekali buku seindah ini tidak diterjemahkan dengan lebih serius. Masih banyak salah ejaan yang tertebar di sana-sini. Cukup mengganggu meski akhirnya menjadi biasa karena ceritanya sendiri mampu mencengkeram gairah bacaku. Semoga Q-Press dapat lebih baik lagi di masa mendatang, karena saat ini terus terang aku jadi ragu untuk membeli buku terjemahan lainnya kalau tidak amat terpaksa. Dalam hal Misteri Kematian Poe, belum ada penerbit lain yang mau melirik buku ini untuk diterjemahkan….
Judul: Misteri Kematian Poe
Judul asli: The Poe Shadow
Penulis: Matthew Pearl
Penerbit: Q-Press
Cetakan: Juli 2007
Tebal: 796 hlm
No comments:
Post a Comment
Bagaimana pendapatmu?