nuli bakal lair
sawijining manungsa
kang linuwih, kapilih
kang miwiti uripe
nyarira batur najis
nanging ing
titiwancine piyambake
bakal madeg raja
tinresnan
kang bakal kalebu ati marang kawulane
nganti salawase
[dan kelak
akan lahir | satu manusia yang dipilih | yang mengawali kehidupannya sebagai
budak hina | namun, kemudian menjadi raja | yang dikenang sepanjang waktu]
Suatu hari
di tahun 1664, karena sebuah pemberontakan, seorang Raja Bali bernama I Gusti
Ngurah Jelantik terpaksa melarikan diri demi menyelamatkan diri dan
keluarganya. Sayangnya, di malam berkabut itu, putranya yang masih berusia 4
tahun hilang tanpa jejak. Sang putra inilah yang diyakini kelak sebagai Untung
Surapati. Namun perjalanan panjang penuh perjuangan harus dilalui si bocah
sebelum akhirnya menjadi seorang Raja. Perjalanan itulah yang dikisahkan
kembali oleh Yudhi Herwibowo dalam fiksi sejarah ini, termasuk perjuangannya
yang gagah berani melawan penjajah yang notabene jauh lebih kuat darinya.
Singkatnya,
si bocah malang ditemukan orang dan dijual sebagai budak. Di usia sangat muda
si bocah yang—karena tubuhnya sangat kurus—lantas dipanggil si Kurus, harus
mengalami siksaan berat layaknya para budak yang diperlakukan tak manusiawi.
Nasib baik membawanya ke Mijnheer Moor, seorang pedagang VOC di Batavia, yang
membesarkan si Kurus untuk menemani putrinya yang bernama Suzanne. Karena
kehadirannya banyak mendatangkan keberuntungan bagi sang mijnheer, si Kurus pun
berganti nama panggilan menjadi si Untung.
Untung
tumbuh dewasa dengan berguru ilmu bela diri dari seorang pendekar, sementara
hatinya tertambat pada Suzanne, yang tak menolak cintanya. Mijnheer Moor tentu
saja murka karena si mantan budak pribumi berani merayu putrinya, maka Untung
pun melarikan diri bersama sekelompok begal (perampok) yang disekap bersamanya
di penjara rumah Mijnheer Moor. Bersama-sama mereka melarikan diri dan
bersembunyi di hutan. Di sini, tersulut nasib buruk, merekahlah kebencian di
hati mereka terhadap VOC dan penjajahannya terhadap bumi nusantara. Maka kelompok
yang jumlahnya sedikit itu berikrar untuk menjadi gerilyawan melawan VOC dengan
si Untung menjadi pemimpin mereka. Lambat laun kelompok yang awalnya adalah
kawanan begal namun akhirnya menjadi pendekar tangguh ini ternyata menjadi duri
dalam daging bagi VOC.
Untung
sempat (terpaksa) bergabung dengan VOC, dan di situlah ia mendapat pangkat
Letnan. Namun jiwa pribuminya akhirnya membuatnya kembali melarikan diri dan
menjadi buronan nomor satu VOC. Ia akhirnya menjadi seorang Tumenggung di
Kartasura, dan mendapatkan nama keduanya: Surapati. Dari seorang budak hingga
akhirnya menjadi Raja, Untung Surapati tetap memegang teguh prinsipnya untuk
memerangi VOC hingga titik darah penghabisan, yang ia tumpahkan di benteng
Bangil, Pasuruan, kala ia dikepung oleh gabungan pasukan VOC, Kartasura, Madura
dan Surabaya. Uniknya, bahkan setelah kematiannya, Untung Surapati tetap tak
mau menyerah. Ia berwasiat untuk merahasiakan kematiannya pada VOC, sehingga
pengikutnya menggotong-gotong tandu yang seolah-olah ditumpangi Untung Surapati
yang sedang terluka kesana kemari, padahal jasadnya sudah lama dikuburkan di
tanah yang diratakan.
Salah satu
keuntungan belajar sejarah dari novel fiksi-sejarah adalah karena kita diajak
mengenal secara pribadi si pahlawan, alih-alih menghafalkan
nama-waktu-tempat-peristiwa saja. Seperti pada Untung Surapati, kita merasa bahwa Untung adalah manusia biasa yang
pernah merasakan jatuh cinta, sering merasakan gundah dan tak berdaya saat
melihat musuh yang jauh lebih digdaya, bahkan pada banyak pertempuran awalnya,
ia banyak dibantu oleh gurunya. Sedang pada buku pelajaran sejarah, Untung
Surapati hanya akan menjadi seorang pahlawan, yang di benak kita seolah manusia
super yang hidupnya hanya untuk menjadi pejuang semata.
Bravo untuk
Yudhi yang mau mengisi ranah fiksi sejarah Indonesia yang masih sepi ini. Hanya
saja, muatan fakta sejarah yang disisipkan terasa terlalu berat. Kupikir,
cukuplah kita belajar sejarah secara detail hanya lewat kisah si tokoh saja,
sehingga kita tidak merasa digurui, atau seolah dipaksa (lagi) membaca buku
pelajaran sejarah. Itulah kelemahan novel ini, sementara yang sangat aku sukai
adalah kesan dan nubuat yang mendahului banyak bab di buku ini.
Kesan
membantu kita merasakan suasana yang mendahului suatu peristiwa, seolah-olah
kita melihatnya dari mata orang lain, alih-alih disetir oleh narasi pengarang. Kalau
dalam film, fenomena ini seperti saat kamera menyorot sehelai daun yang tertiup
angin dan terbang melayang sampai jauh, hingga akhirnya jatuh ke tubuh sang tokoh
utama, alih-alih langsung mengarahkannya pada sang tokoh begitu saja. Sedangkan
nubuat adalah unsur yang paling aku suka, karena mengingatkanku pada kisah-kisah
Romawi kuno, yang adalah favoritku :), atau kisah-kisah kepahlawanan Yunani.
Nubuat atau ramalan itu membuat sebuah kisah menjadi terkesan epik, apalagi
karena hal itu memang menjadi keyakinan pada jaman itu.
Momen
favoritku adalah di Jembatan China, saat pohon yang tak pernah berdaun itu tiba-tiba
menjatuhkan sehelai daunnya di pundak Untung Surapati ….kehidupan selalu saja bermula! Penggambaran yang sempurna untuk
memperlihatkan kebangkitan seorang Untung. Ya, pahlawan bukanlah manusia yang
hatinya terbuat dari besi, ia pernah merasa sakit hati, namun bedanya, ia tak
lama meratapi nasib, dan dengan semangat baru bangkit dari keterpurukan, sambil
terus berusaha mengobati luka hatinya, karena ada hal lebih besar yang harus ia
lakukan demi negaranya.
Empat
bintang untuk Untung Suropati, dan Yudhi Herwibowo….
~~~~~~~~~~
I read Metamind paperback edition
This book is counted
as:
February theme of Baca Bareng #BBI: Historical Fiction
Indonesia
1st book (2014) for Historical Fiction Challenge 2013 – 2015