Historical
fiction yang ditulis oleh seorang sejarawan memang memberikan sensasi yang
berbeda dibanding dengan karya penulis biasa. Karya-karya Paul L. Maier
contohnya; aku telah mengagumi karya beliau lewat Pontius Pilatus yang nyaris sempurna
dalam keakuratannya (karena menggunakan dua sumber, yakni kitab suci dan
sejarah). Dan dari sanalah aku langsung tertarik membaca historical fiction
bertema Romawi dan Kristiani ini: The Flames of Rome.
The Flames
of Rome mengambil kisah sejarah mulai pemerintahan Claudius Caesar, seorang
kaisar Romawi yang terkenal gagap (‘Clau-Clau-Claudius’, demikian ia sering dipanggil
dalam olokan), dan selalu saja salah memilih istri yang di kemudian hari
berambisi merebut tahtanya. Istrinya yang terakhir adalah Agrippina, yang
berambisi menaikkan putranya Nero menjadi kaisar. Singkat kata Agrippina
berhasil, dan Nero pun naik menjadi Kaisar pada tahun 54 di usia yang baru tujuhbelas.
Meski darah
ibunya yang serakah dan tak bermoral mengaliri nadinya, Nero tak serta merta
sesadis sang ibu, berkat didikan Seneca—seorang filsuf penganut aliran stoic
yang menjadi tutor sang Kaisar—bersama Burrus—Kepala Prefek Roma. Di saat-saat
awal pemerintahannya, Roma berharap banyak bahwa akhirnya mereka akan menikmati
masa-masa sejahtera. Sayangnya, jerih payah Seneca untuk menjadikan Nero kaisar
yang beradab dan berwawasan dimentahkan oleh pengaruh negatif kawan-kawan
seumuran sang kaisar yang mengajaknya berbuat kriminal sehingga meresahkan
rakyat. Ditambah dengan karakter Nero sendiri yang picik dan sangat ketakutan
tahtanya akan direbut, maka akhirnya hasutan sahabat-sahabatnya makin membuat
tingkah Nero brutal dan tak bermoral. Sekali lagi….Roma dibayang-bayangi
keruntuhan moral yang membuat bangsa yang pernah dikatakan sebagai pusat dunia
itu kini ditertawakan orang, Roma yang membangga-banggakan peradabannya, kini
dipenuhi kebiadaban dan kemaksiatan.
Namun, pada
saat-saat seperti itu, masih ada bangsawan Roma murni yang masih mempertahankan
integritas dan hati nuraninya, seperti Aulus Plautius dan Titus Flavius
Sabinus. Meski kisah ini ditulis dari sudut pandang orang ketiga, namun jelas
bahwa Maier ingin meletakkan Sabinus sebagai pusat cerita. Pulang dari
penaklukan Inggris bersama Claudius Caesar, Sabinus adalah anak buah Aulus
Plautius. Pada hari penyambutan para pahlawan ini, mata Sabinus tertumbuk pada
seorang gadis manis yang ternyata adalah Plautia, putri Plautius.
Kisah cinta
Sabinus dan Plautia ini cukup memberi warna segar pada kisah sejarah yang
menjijikkan dan penuh kekejaman ini. Rupanya, meski seorang sejarawan yang
biasa menorehkan karya-karya serius, Maier cukup renyah membahas karakter Sabinus
yang hangat, humoris, cakap menjalankan tugas sebagai negarawan, berani
menentang kejahatan, teguh berpegang pada nilai-nilai kebenaran dan mau
menggunakan hati nuraninya. Aku kagum pada Sabinus yang—ketika dipaksa oleh
Ratu Agrippina berselingkuh—berani dengan tegas menolak ajakan sang Ratu, meski
ia tahu konsekuensi berat menantinya saat sang Ratu akan membalas dendam atas
penolakannya. Dan saat bencana itu datang, Sabinus dengan terus terang mengakui
apa yang telah terjadi, yang menjadi sumber kemarahan sang Ratu. Benar-benar
sosok yang berharga bagi Roma. Dan Sabinus pun akhirnya mendapatkan kepercayaan
dari Nero, sebagai Prefek Kota, jabatan tertinggi di kota Roma sendiri.
Namun, meski
Sabinus bersama Seneca selalu berusaha meredam sisi liar sang Kaisar, pengaruh
buruk dari sahabat dan istrinya begitu kental pada Nero sehingga ia makin lama
makin tak terkendali, terutama setelah ia membunuh semua orang yang berpotensi
merebut kekuasaannya. Pada masa-masa itulah ‘sekte’ baru yang disebut
Kristiani—atau pengikut nabi yang mati di salib di Yudea yang disebut
Kristus—perlahan-lahan merembes memasuki kerajaan Romawi, bahkan di kota Roma
sendiri, dan di istana Kaisar serta keluarga para Senator Roma. Maier mengajak
kita mengenal Paulus, Petrus, Lukas dan Markus, juga warisan yang mereka
tinggalkan bagi kita hingga saat ini.
Menarik juga
membaca bagaimana—menurut analisa Maier yang masuk akal—Paulus menyebarkan
Kekristenan terutama di Roma. Di sini dikisahkan juga pengadilan Paulus di
depan Nero, di mana sang Kaisar terpukau oleh sikap dan tatapan mata
Paulus—atau bisa jadi itu adalah karya Roh Kudus!—akhirnya membebaskan sang
Rasul. Namun karena jemaat Kristiani pertama memang harus menanggung derita
yang sangat hebat demi penyebarannya yang kelak mendunia, maka seperti yang
telah tertoreh pada lembar sejarah, umat Kristen menjadi kambing hitam
kepengecutan Nero.
Saat itu
Roma dilanda kekeringan hebat, dan ketika salah satu rumah di kawasan kumuh nan
sesak terbakar, dengan cepat angin Rococo menghembuskan bara api ke segala
penjuru, dan akhirnya terjadilah kebakaran hebat yang bahkan membakar kawasan
istana Nero. Ketika rakyat yang kelaparan mengharapkan kemurahan hati Kaisar,
Nero malah merencanakan pendirian istananya yang super megah. Ini membuat
rakyat marah, dan untuk meredam amarah mereka, orang-orang terdekat Nero
menghembuskan ide untuk mencari ‘kambing hitam’. Ditambah dengan kecurigaan
Roma dan kebencian kaum Yahudi selama itu, terjadilah pembantaian mengerikan terhadap jemaat Kristiani itu.
Maier dengan
berani menyajikan kekejian itu tanpa ditutup-tutupi, karena betapapun buruknya,
itu adalah kenyataan yang benar-benar terjadi. Dan kekejian itu nyatanya memang
harus terjadi, karena sejak saat itulah justru kekristenan tumbuh makin pesat
ke seluruh dunia, dan Roma-pun menjadi pusatnya. Sayangnya Maier tidak
memberikan semacam catatan tentang keterkaitan antara Titus Fabinus Clemens
(putra Sabinus) dengan Paus Clement. Ada yang mengatakan Paus Clement I adalah
budak-yang-sudah-dibebaskan dari Clemens, namun tak ada catatan yang pasti.
Kemungkinan, Clemens—putra Sabinus—akhirnya menjadi Kristen, hal yang tak
mengherankan, sebab neneknya (ibu Plautia) sudah menjadi pengikut Kristus
berkat ajaran Paulus. Dari buku
ini aku pun menyadari bahwa Sabinus sebenarnya sangat “Kristen” meski ia tak
memeluk agama itu, mengingat prinsip hidupnya yang tak segan berkorban bagi
rakyat.
Empat bintang untuk kisah ini, karena meski aku sangat menikmatinya,
namun begitu banyaknya typo menyebabkan kenikmatan membaca sungguh ternoda…