“Namaku Calpurnia Virginia Tate, tetapi
semua orang memanggilku Callie Vee. Pada musim panas itu, umurku sebelas tahun
dan aku satu-satunya anak perempuan dari tujuh bersaudara. Bisakah kau
membayangkan situasi yang lebih buruk?” Jawabku: BISA! Sebenarnya lahir
menjadi seorang perempuan tidaklah buruk kalau anda MAU menjalani hidup seperti
yang diharapkan dari dan bagi seorang perempuan. Bagaimana kalau tidak? Nah,
simaklah kisah evolusi si Calpurnia Tate alias Callie Vee ini…
Calpurnia
memang berbeda dari anak perempuan lainnya. Saat yang lain puas bermain dengan
gaun-gaun cantik dan boneka, Calpurnia menghabiskan waktunya dengan menenteng
jaring penangkap kupu-kupu serta Buku Catatannya dan pergi ke pinggir sungai
untuk mengumpulkan spesimen bersama kakeknya. Ya, Calpurnia bisa disebut
seorang naturalis pemula. Alam, hewan dan tumbuhan rupanya telah menempati
ruang istimewa dalam hati Calpurnia, semenjak sang kakek meminjaminya buku The
Origin of Species karya Charles Darwin (bayangkan…dipinjami The Origin of
Species?? Oh…seandainya aku punya kakek seperti kakek Calpurnia!).
Tapi,
berhubung semua itu terjadi di penghujung abad 19—di mana perempuan “hanya”
diharapkan belajar memasak dan merajut—maka Calpurnia menghadapi penolakan
besar dari keluarganya (terutama dari ibunya, dan kecuali dari kakeknya—tentu
saja..). Sesunguhnya inilah inti kisah The Evolution of Calpurnia Tate karya
Jacqueline Kelly ini, yang dibingkai dengan kutipan-kutipan dari buku The
Origin of Species, yang seolah mengantar kita mengikuti dua perjalanan evolusi,
yaitu evolusi spesies dan evolusi seorang Calpurnia Tate.
Di tengah
ketidaksukaan keluarganya akan kegiatan Calpurnia di bidang sains, Callie
bersama kakeknya berhasil menemukan sebuah spesies tumbuhan yang sepertinya
belum pernah tercatat di dunia. Maka dengan bersemangat, kedua naturalis beda
generasi ini mengirimkan dan mendaftarkan hasil temuan mereka—yang sementara
dinamai ‘Tumbuhan’—ke Smithsonian. Bagi ilmuwan, menemukan sesuatu yang baru
adalah sebuah kebanggaan besar, apalagi mengingat bahwa temuan itu akan dinamai
dengan nama sang penemu. Akankah Calpurnia, gadis belasan tahun dari kota kecil
itu, menorehkan sebuah prestasi dalam sejarah? Akankah sang kakek yang telah
membaktikan hidupnya setelah pensiun untuk menjadi naturalis, mampu mengubah
sejarah sebelum hidupnya berakhir?
Namun sementara
itu, sang Ibu ternyata telah mempersiapkan ‘evolusi’ bagi Calpurnia di bidang
yang lain, lebih tepatnya di bidang yang seharusnya dikuasai seorang wanita,
yaitu mengurus rumah tangga. Selain itu, sang Ibu mulai menyiapkan Calpurnia
untuk memasuki “bursa” calon-istri-idaman. Bagian ini terasa absurd bagiku. Bagaimana
wanita jaman itu menganggap sistem perjodohan dengan menggilir pemuda-pemuda
setempat untuk datang ke rumah seorang gadis yang sudah layak “masuk bursa” adalah
sebuah tindakan terhormat? Apakah mereka malah tidak melihat adanya kesamaan
dengan ehm…maaf..pasar budak atau malah…ya sudahlah, terlalu kasar untuk
ditulis disini… Tetap saja, aku melihat itu praktik yang menjijikkan, dan lebih
menjijikkan lagi anggapan bahwa kalau seorang gadis tak mampu melalui tahap itu
berarti ia “kurang terhormat”.
Sesuai
dengan tokoh utamanya, The Evolution of Calpurnia Tate ini kisah yang segar
sekaligus cerdas. Penuh dengan kekocakan, kisah ini dirangkai dengan bahasa
yang ringan, dan banyak mengandung pengetahuan ilmiah. Salah satu yang aku
sukai adalah Jacqueline Kelly menciptakan tokoh yang suka membaca kisah-kisah
klasik (sama sepertiku). Bayangkan di usia belasan tahun buku klasik pertama
Calpurnia adalah The Origin of Species! Selain itu ia telah melahap Great
Expectations dan Oliver Twist-nya Dickens, lalu Tom Sawyer-nya Mark Twain dan
Treasure Island. The Adventures of Sherlock Holmes pun disebut-sebut juga dalam
buku ini.
Pada
akhirnya, ini adalah kisah seorang anak perempuan yang sedang mencari
jatidirinya sebagai seorang wanita dewasa dengan segala liku-likunya. Di satu
sisi Calpurnia ingin menjadi ilmuwan, di sisi lain ia menyadari bahwa jalan
yang akan ditempuhnya sangatlah terjal akibat stereotip yang sudah terpaku di
pikiran orang jaman itu, seperti yang tercetus dalam kata-kata Lamar, adik
lelaki Callie
“Anak perempuan tidak dibayar. Anak
perempuan bahkan tidak boleh ikut pemungutan suara. Anak perempuan tidak
dibayar. Anak perempuan tinggal di rumah.” ~hlm. 223.
Calpurnia tahu
ia harus mendobrak stereotip itu, karena ia bukanlah perempuan biasa,
“Aku tidak pernah menyamakan diriku dengan
anak-anak perempuan lain. Aku bukan bagian dari spesies mereka; aku berbeda.
Aku tidak pernah berpikir bahwa masa depanku akan sama dengan mereka.” ~hlm.
245.
Sebab kalau
tidak, ia akan menjalani hidup yang terkungkung sepanjang hidupnya, ‘seperti seekor anjing hutan yang
kaki-kakinya terbelenggu perangkap.’ Sebuah ungkapan yang amat mengena.
Meski sangat
sulit bagi Calpurnia untuk meraih cita-citanya, aku berharap (dan memilih untuk
percaya) bahwa masih ada harapan bagi Calpurnia, seperti apa yang ia alami di pagi
tahun baru 1900 itu…
“Ini adalah pagi pertama dari hari pertama
dari abad yang baru. Salju menyelimuti tanah. Segalanya mungkin terjadi.”
~hlm. 380.
Meski ending
kisah ini terasa mengambang, namun aku merasa ada kaitan antara apa yang
dilihat Calpurnia di alam saat itu dengan kondisinya sendiri. Salju yang turun
di Texas setelah berpuluh-puluh tahun, dan ketilang yang tidak pernah merasakan
salju, semuanya mengarah pada sebuah perubahan, bahwa kalau suatu hal belum
pernah terjadi, belum tentu ia tak mungkin terjadi. Sekali lagi aku percaya,
bahwa segalanya mungkin terjadi…
Judul: The
Evolution of Calpurnia Tate
Penulis:
Jacqueline Kelly
Penerjemah:
Berliani M. Nugrahani
Penerbit:
Matahati
Terbit:
November 2010
Tebal:
381 hlm