Wednesday, November 21, 2012

Vivaldi’s Virgins


Seandainya anda hidup di abad 17 dan tinggal di Ospedale della Pietà—asrama dan sekolah musik putri di Venice—anda mungkin akan sering mendengar denting bel berbunyi di malam hari, yang disusul oleh tangisan bayi. Itu berarti ada satu orang anak (kebanyakan) perempuan lagi yang tak diinginkan orang tuanya….

Anna Maria dal Violin adalah salah satu penghuni Pietà yang empat belas tahun lalu ditemukan di scafetta (tempat yang dirancang khusus untuk meletakkan bayi dari luar asrama) oleh salah seorang biarawati yang sedang bertugas. Tak diketahui siapa orang tua Anna Maria, dan ‘dal Violin’ adalah nama yang disematkan padanya sebagai siswa yang belajar alat musik biola. Sejarah mencatat bahwa maestro Antonio Vivaldi—yang juga seorang pastor—pernah mengajar di Pietà. Anna Maria merupakan anak emasnya saat itu, karena hanya Anna Maria yang mampu menginterpretasikan musik yang diciptakan Vivaldi sesuai keinginannya.

Aku bisa membayangkan Anna Maria yang merasa tersisih dan tak dicintai seorang pun di dunia, ketika semua penghuni ospedale dijemput sanak keluarganya untuk berlibur, sementara Anna Maria harus tetap tinggal di ospedale karena tak ada seorang pun yang menjemputnya. Di salah satu saat-saat sedih itulah terjadi dua hal yang mengubah kehidupan Anna Maria. Peristiwa pertama adalah maestro Vivaldi mengunjunginya dan memberinya selembar hasil karya terbarunya yang khusus di persembahkan bagi Anna Maria, bertuliskan ‘Per Sig.ra: Anna Maria’ di atasnya. Sebuah penghargaan yang sangat berarti bagi Anna Maria.

Kejadian kedua adalah ketika Anna Maria berurai air mata menyaksikan kegembiraan teman-temannya yang meninggalkannya sendirian di ospedale, datanglah Sister Laura—biarawati baik hati yang mempromosikan Anna Maria pada Vivaldi—menyuruh Anna Maria duduk di kamarnya dan menulis surat bagi ibunya. Ya, ibu yang tak pernah dikenal ataupun diketahui keberadaannya. Ibu yang mungkin takkan pernah membaca tulisan putrinya. Namun kata-kata Sister Laura membesarkan hati Anna Maria untuk menumpahkan kerinduannya akan kasih seorang ibu, atau kecintaannya pada musik, dan segala kegalauan masa remaja yang mewarnai hidupnya yang seorang diri di dunia, lewat surat-surat kepada ibunya. “God knows everything, and He will make sure your letter finds its way to your mother’s heart.”, itulah kata-kata lembut Sister Laura yang memberi semangat baru pada Anna Maria.

Selanjutnya Barbara Quick merangkai kisah hidup Anna Maria lewat surat-surat itu maupun narasi, menggunakan teknik maju-mundur, dari ketika Anna Maria remaja hingga setelah ia menjadi wanita dewasa. Banyak hal menarik yang tersingkap dari balik dinding-dinding ospedale yang bagi orang luar tertutup rapat, kecuali sesekali ketika para figlie di coro—anggota paduan suara—melantunkan lagu-lagu yang menyentuh hati dalam alunan suara merdu mereka yang terdengar bak paduan suara para malaikat di surga yang sedang memuliakan Tuhan. Kita bisa melihat bagaimana perjuangan para Vivaldi’s Virgins—anak-anak perempuan asuhan Vivaldi—berusaha melepaskan diri dari jerat nasib seumur hidup ‘terkubur’ bak di penjara dan tak pernah merasakan dinamika dunia luar.

Saat itu pilihan bagi para figlie di coro hanyalah: a) Menjadi biarawati; b) Menjadi Maestra di opesdale; c) Menikah dengan seorang pria (bila ada yang meminang). Bukan masa depan yang cerah bagi teman-teman Anna Maria: Marietta dan Giulietta, sehingga mereka harus melakukan muslihat agar dapat lepas dari Pietà. Sementara Anna Maria sendiri berjuang untuk memecahkan misteri siapa pemilik locket kuno yang secara misterius jatuh ke tangannya (dan kemungkinan besar berasal dari ibunya), sambil terus memupuk kecintaan dan keahliannya memainkan musik yang sudah menjadi panggilan hidupnya. Oh, dan Anna Maria juga sempat jatuh cinta pada pemuda Jerman yang membawakannya locket itu...

Kisah ini dijalin dengan begitu memikat oleh Barbara Quick, menggunakan bahasa Inggris yang cantik khas abad 17 dan bertaburan suasana khas Venice yang eksotis dan memabukkan. Sungguh….sensasi menyeberangi laguna di atas gondola di malam hari nan perkat bertabur bintang dan bermandikan sinar bulan, sungguh dapat terlukis jelas di benakku. Belum lagi suasana carnival dengan topeng-topengnya serta kemeriahan opera dan permainan music para maestro. Oh….anda akan benar-benar terbawa suasana Venice abad 17 sambil menikmati intrik-intrik para wanita di ospedale. Oh ya, dan jangan lupakan kisah hidup sang maestro, Antonio Vivaldi, yang konon pernah ‘diasingkan’ dari kalangan musik Venice karena sang biarawan yang terkenal dengan julukan “Red Priest” ini dicurigai memiliki kekasih. Benarkah kisah itu? Dan bagaimana nasib Anna Maria? Mampukah ia menemukan ibunya? Akankah ia menjadi seorang maestra? Bagaimana kisah cintanya dengan si pemuda Jerman?

Lima bintang untuk Vivaldi’s Virgins, yang dari awal bahkan sudah membuatku menangis terharu, dan terpesona dengan alunan bahasanya yang bak alunan musik…. Buku ini adalah satu dari antara sedikit buku yang mampu membuatku menangis tersengguk-sengguk!



Judul: Vivaldi’s Virgins
Penulis: Barbara Quick
Penerbit: Harper Collins
Terbit: 2007
Tebal: 284 hlm

Friday, November 16, 2012

Genghis Khan 2: Badai Di Tengah Padang


Bila di buku pertama kita diajak melihat rekam jejak Temujin kecil hingga bagaimana ia mulai merealisasikan cita-cita mempersatukan Dataran Mongolia, maka di bagian kedua ini kita akan menelusuri berdirinya Imperium Mongol—imperium terbesar yang pernah ada dalam sejarah manusia—dan bagaimana sepak terjang Genghis Khan—sang Ka-Khan yang dulunya bernama Temujin—melakukan ekspansi hingga ke Eropa dan Afrika.

Di akhir buku pertama Temujin telah melakukan aliansi dengan Wang Khan dan memenangkan beberapa pertempuran, yang membuat semua klan-klan di dataran Mongolia waspada. Salah satunya Jamuka, anda Temujin yang memiliki satu visi namun beda pandangan pada cara pencapaiannya. Jamuka mulai mencari dukungan klan-klan lain untuk mengenyahkan Temujin sebelum ia semakin hebat. Salah satu caranya dengan memutuskan hubungan baik Wang Khan dan Temujin lewat putra Wang Khan—Nilka Senggum—yang iri karena Temujin dijadikan urutan pertama calon penerus sang ayah.

Namun bagi Temujin, untuk memenangkan pertempuran, kau tidak harus memiliki jumlah prajurit sama dengan atau lebih besar daripada lawan. Bahkan dengan jumlah prajurit seperempat dari lawan, kau bisa menang jika menerapkan strategi yang tepat. Ketika henda menyerang China dan berhadapan dengan Tembok Besar nan perkasa, Genghis Khan berkata dalam hati: “Tidakkah mereka tahu bahwa tembok pelindung sejati semestinya dibangun di dalam benak mereka?” Dan memang dalam ratusan perang yang dijalani bangsa Mongol di bawah pimpinan Genghis Khan, mereka bukan saja mempraktekkan aneka strategi yang cerdik, namun juga menciptakan banyak alat dan teknologi baru untuk perang pada jaman itu, salah satunya adalah meriam.

Kembali pada perseteruan Temujin vs Jamuka, kita tentu tahu siapa yang akhirnya menang. Setelah banyak peperangan dan pengkhianatan yang ia hadapi, Temujin akhirnya dapat mendeklarasikan Imperium Mongol yang mempersatukan banyak klan yang tadinya tersebar dan saling bermusuhan, kini menjadi sebuah kekuatan yang menakutkan. Ketika Jamuka akhirnya tertangkap dan dihadapkan ke Temujin—yang tetap menganggapnya sahabat masa kecil yang disayanginya—Jamuka mengakui apa yang menyebabkan kegagalannya. Menariknya, Jamuka ternyata menyadari bahwa kurangnya kasih sayang di masa kecilnya lah yang menyebabkan ia tak mampu menjadi pemimpin yang baik, yang lalu mengandaskan impiannya. Aku turut terharu saat Temujin harus berpisah dengan Jamuka, karena meski ia selalu menyayangi anda-nya, Temujin pun tahu bahwa selama salah satu dari mereka tidak binasa, maka cita-cita besar mempersatukan Dataran Mongolia takkan pernah terwujud.

Selanjutnya kita diajak menyaksikan peperangan demi peperangan yang dilancarkan Genghis Khan tanpa henti selama bertahun-tahun lamanya, dan menambahkan daerah taklukannya hingga terus melebar dan meluas. Pertanyaan kita mungkin, bagaimana seorang Genghis Khan dapat mempersatukan klan-klan Mongol yang barbar dan memimpin negara-negara jajahannya yang notabene jauh lebih maju? Ini yang sangat menarik! Di satu sisi Genghis menerapkan aturan yang sangat ketat bagi masyarakat maupun bagi prajurit Mongol, yang disebut yassa. Aturan-aturan ini dibuat agar moral rakyat menjadi semakin baik, karena bagi pelanggar, hukumannya adalah pemenggalan kepala! Banyak korban berjatuhan pada saat pertama yassa diberlakukan, namun seiring berjalannya waktu, mereka menjadi semakin terbiasa untuk taat pada aturan, dan akhirnya bangsa Mongol dapat meninggalkan kebejatan moralnya di masa lalu. Sebuah pelajaran yang harusnya diterapkan di negeri kita!

Di sisi lain Genghis sangat adil memperlakukan bawahannya. Mereka yang kompeten, setia, dan memiliki jasa terhadap negara, akan menikmati jabatan, kekayaan dan privilese bagi anggota keluarganya. Dan hal ini diberlakukan sama-rata untuk semua, tanpa pandang suku, agama, kaya-miskin, status sosial dsb. Tak ada bedanya apakah kau berasal dari keluarga penggembala ternak atau putra kepala suku, asal kau punya kemampuan, kau akan mendapatkan kesempatan. Genghis selalu menepati janji yang pernah ia buat, dan konon ia makan dan berpakaian yang sama dengan semua bawahannya. Pendek kata, Genghis pemimpin yang peduli rakyat, pandai menilai karakter orang, melindungi mereka yang ia pimpin, membawa mereka pada kesejahteraan, dan tak pernah melupakan janjinya. Tipe pemimpin idaman, bukan?

Dengan kemampuannya memimpin serta strategi perang yang mumpuni—dan ia mempelajari strategi perang itu dari pengalaman hidup sehari-hari yang tak pernah luput dari pengamatan tajam Genghis—akhirnya Genghis Khan mampu mewujudkan cita-citanya, mempersatukan bangsa Mongol dan menjadikannya salah satu imperium yang paling disegani pada masanya.

Satu hal yang (kembali) aku sadari setelah membaca buku ini, bahwa letak geografis dan sumber daya yang dimiliki suatu negara atau masyarakat sangat menentukan pembentukan watak masyarakatnya. Dataran Mongol adalah dataran yang sangat sulit dihuni dengan sumber daya alam yang minim,  membuat masyarakatnya hidup secara nomaden. Mereka hanya dapat bertahan hidup jika memiliki fisik yang tangguh dan determinasi yang kuat, bahkan kuda-kuda asal Mongol yang tubuhnya pendek kekar sangatlah kuat. Mereka konon bisa mendapatkan makanan di hamparan salju dengan cara mengeruk lapisan salju dengan kaki mereka.

Kunci sebagian besar kemenangan pasukan Mongol melawan lawan yang jauh lebih besar dalam jumlah prajurit maupun kekayaan, adalah kecepatan, persatuan, dan pantang menyerah. Meski sedang terpisah, pasukan-pasukan Mongol telah mengembangkan system komunikasi yang amat cepat sehingga mereka dapat berkumpul kembali dalam waktu singkat, bila diperlukan. Dan tentang pantang menyerah, tak perlu dikisahkan lagi. Untuk mengejar salah satu musuh bebuyutan mereka yang tak kunjung menyerah, salah satu anak pasukan Genghis melakukan perang dan pengejaran selama delapan tahun, sejauh ribuan kilometer, dan akhirnya berhasil. Pasukan Mongol tak punya rasa takut terhadap kematian, karena meninggal di medan perang adalah tujuan hidup mereka. Salut pada Imperium Mongol, dan tentu saja… Genghis Khan! Empat bintang untuk buku ini, kurang 1 bintang dari sempurna karena banyak bagian yang benar-benar keji, meski untuk situasi masa itu amat wajar.

Judul: Genghis Khan 2: Badai Di Tengah Padang
Penulis: Sam Djang
Penerjemah: Reni Indardini
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbit: Juni 2011
Tebal: 478 hlm.