Friday, October 28, 2011

Imperium

Ini adalah kisah anak manusia dengan segala kekurangannya, menapaki jenjang karier dari bawah, tanpa kelimpahan harta, tanpa kecurangan, tanpa dukungan kelas sosial. Hanya dengan suara dan tekadnya. Inilah kisah Marcus Tullius Cicero, sang orator terbesar pada jaman Romawi kuno, 2000 tahun yang lalu….

Imperium merupakan fiksi sejarah karya Robert Harris yang ditulis seolah sebagai sebuah memoar dari seorang negarawan jaman Romawi, dengan Tiro sebagai naratornya. Tiro sendiri awalnya adalah seorang budak rumahan milik ayah Cicero, yang lalu menjadi pengurus perpustakaan. Cicero meminjamnya untuk dijadikan sekretaris pribadinya. Pekerjaannya menjadi juru tulis seorang orator memaksa Tiro menulis secepat curahan kata-kata Cicero. Akhirnya Tiro menciptakan sistem penulisan cepat dengan simbol-simbol untuk mewakili kata atau frase tertentu. Sistem ini kelak disempurnakan dan dikenal sebagai sistem stenografi. Ada yang bilang, Tiro lah penemu sistem ini.

Aku dulu kuliah di fakultas kesekretariatan, dan pernah belajar steno, meski sekarang sama sekali kulupakan. Takjub juga ketika aku "berkenalan" dengan sang pencipta steno sendiri lewat buku ini. Inilah sistem steno yang dulu kupelajari di bangku kuliah.

Steno system Groote yang aku pelajari di bangku kuliah

Kembali ke kisah Cicero. Lahir di Arpinum dari keluarga menengah yang cukup berada (equestrian), Cicero menjadi pengacara muda bersuara serak dan kadang gagap pada usia 27 tahun. Bahkan pada saat itupun Cicero memiliki ambisi besar, dengan meminjam motto Achilles di epic Yunani karya Homer: "Far to excel, out-topping all the rest" ( Jauh mengungguli semua yang lain). Karena itu, Cicero berangkat ke Yunani untuk belajar filsafat (di Akademi Plato di Athena) dan seni retorika bersama Tiro. Meski Tiro adalah budak, Cicero mengajaknya belajar bersama, dan selama karirnya Cicero sangat menghargai Tiro sebagai asisten pribadi yang banyak berjasa bagi kesuksesan Cicero.

Guru yang paling berjasa dalam mengolah kemampuan Cicero berorasi adalah Apollonius Molon. Menarik untuk menyimak metode pengajaran Molon bagi para orator, yakni lewat olah tubuh dalam rangka memperkuat suara dan pernapasan. Karena menurut Molon yang terpenting dalam orasi bukanlah semata-mata isi atau tema orasinya, melainkan: penyampaian, penyampaian, dan penyampaian. Dan memang, kelak Cicero membuktikannya dalam banyak kesempatan.

ilustrasi gaya Cicero ketika berorasi

Untuk menjadi senator di Roma (sama seperti di republik kita tercinta ini), seseorang membutuhkan uang, paling tidak sejuta sestertius. Karena Cicero tak memiliki uang, ia lalu menikahi "uang" bernama Terentia, putri keluarga aristokrat. Maka Cicero pun segera menjadi senator, dan langsung menjadi senator terbaik kedua di Roma setelah Hortensius. Saat itu karir seorang negarawan menanjak lewat banyak jalan. Ada yang lewat jalan aristokrasi seperti Mettelus dan Hortensius, ada yang lewat kekayaan berlimpah seperti Crassus, ada juga yang lewat kekuatan militer seperti Pompeius dan Julius Caesar. Tak memiliki ketiganya, Cicero pun meretas jalan kesuksesan lewat jalur karir hukum.

Gara-gara dinas wajib di Sisilia sebelum resmi menjadi senat di Roma, Cicero memiliki hubungan baik dengan warga Sisilia. Hal ini kelak membantunya dalam sebuah kasus yang menjadi titik penting yang membuat Cicero mulai diperhitungkan dalam percaturan politik di Roma. Kasus itu adalah penjarahan dan suap besar-besaran yang dilakukan oleh Gubernur Sisilia bernama Gaius Verres, diawali oleh pengaduan Sthenius. Dalam kasus ini Cicero membuktikan bahwa ia mampu melawan kekuasaan dan kekayaan hanya dengan kata-kata yang dipadu dengan kecerdikan, tekad dan keberanian.

"Tidak ada satu hal pun yang tak dapat diciptakan atau dihancurkan atau diperbaiki dengan kata-kata." (Cicero) ~hlm 286.

Maka, dari jabatan quaestor (magistratus paling yunior), pelan-pelan ia menanjak menjadi aedilis, lalu praetor dan akhirnya maju dalam pemilihan umum untuk menjadi konsul. Tentu saja jalan yang harus dilaluinya begitu terjal dan penuh tantangan. Boleh dibilang Cicero adalah senator yang paling dibenci anggota senat lainnya. Banyak negarawan yang pernah menjadi "korban"nya, dan tentu saja menghalalkan segala cara untuk menghalangi jalannya untuk meniti karir tertinggi yang menjadi ambisinya.

ilustrasi Cicero dalam orasi maki-makiannya yang terkenal: In toga candida, saat ia mencaci-maki Catilina dan Antonius, lawannya (saat pemilihan konsul)

Menggabungkan filosofi dengan politik, kurasa Cicero adalah senator paling cerdas di Roma saat itu. Ditambah lagi, Cicero adalah negarawan yang "cinta rakyat". Dalam banyak kesempatan, ia menekankan bahwa suara rakyat adalah penentu jalannya pemerintahan. Ia pun piawai dalam berkampanye dan dalam pencitraan diri. Kedua hal itu menjadikan Cicero makin dicintai rakyat, karena dianggap berani melawan para aristokrat sombong yang tak memperhatikan kepentingan rakyat.

Seperti banyak pria "besar" yang berpengaruh, hampir selalu ada peran wanita di baliknya. Dalam hal Cicero, Terentia adalah sosok yang menyemangati dan seringkali memberikan solusi saat Cicero kehabisan akal. Paling tidak, dalam kasus korupsi Verres dan ketika Cicero menemukan konspirasi Crassus-Caesar untuk menjadi penguasa Romawi lewat suap besar-besaran, Cicero pun memakai ide dari Terentia yang terbukti mumpuni.

Di buku ini, anda juga akan menikmati kemunculan awal Julius Caesar muda. Di sini Caesar digambarkan sebagai politikus licik dan playboy. Ia berselingkuh dengan istri kawannya, dan bahkan Tiro pernah memergoki Caesar sedang bercinta dengan istri seorang imperator saat itu.

Membaca Imperium, aku jadi merasakan campuran antara ketegangan, kekecewaan, kegeraman, juga sukacita kemenangan, berganti-ganti sepanjang buku ini. Lewat Imperium, kita bisa lebih memahami tentang republik Romawi dengan keunikannya. Misalnya sistem dua konsul yang berbagi kekuasaan, menghindari kediktatoran. Lalu pengaruh status aristokrat yang sangat kuat dalam pemerintahan. Juga adanya tribunus (semacam DPR) yang mewakili rakyat dan bertugas mengesahkan undang-undang. Kita juga diajak melihat betapa licik dan busuknya konspirasi politik. Lawan bisa menjadi kawan, dan kawan bisa menjadi lawan. Robert Harris membuat novel bernuansa politik yang harusnya membosankan menjadi hidup. Saat orasi Cicero misalnya, aku bahkan bisa membayangkan suasananya, sekaligus orasinya yang kadang menghentak namun kadang menyentuh. Luar biasa!

Dan akhirnya, tentu saja kita jadi dapat mengenal sosok Cicero secara lebih pribadi dan manusiawi berkat penuturan Robert Harris lewat narasi Tiro. Ada perasaan haru menyeruak di dada ketika aku boleh mengenal sang orator terbesar, salah seorang berpengaruh di kerajaan terbesar yang pernah ada di bumi: Romawi. Tentu saja, mengenalnya lewat buku ini. Bravo Robert Harris! Dan aku pun tak sabar menunggu bagian kedua buku ini yang berjudul Conspirata. Siapa lagi yang akan menerbitkannya, kalau bukan Gramedia, yang telah menyajikan buku ini bagi kita lewat penerjemahan yang apik dan boleh dibilang "bersih". Empat bintang untuk Imperium!

Judul: Imperium
Penulis: Robert Harris
Penerjemah: Femmy Syahrani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Mei 2008
Tebal: 413 hlm

Friday, October 21, 2011

The Virgin Blue

Saat kecil dulu, aku sering bertanya-tanya, mengapa jubah yang dipakai Bunda Maria pada patung atau lukisan selalu berwarna biru? Apakah Ia hanya punya satu jubah saja? Tentu saja itu pemikiran lugu seorang anak. Namun setelah membaca historical fiction karya Tracy Chevalier ini, aku kembali bertanya dengan sudut pandang baru: Apa yang sesungguhnya mau dilambangkan dengan warna biru pada jubah Maria? Mengapa harus biru, dan biru yang bagaimana? Dan inilah sedikit penjelasan yang kudapat dari beberapa artikel di internet,


Mengapa Biru?

Warna biru secara biblical melambangkan kemuliaan dan keagungan surgawi. Karena Bunda Maria adalah satu-satunya manusia yang diangkat ke surga dan menikmati kemuliaan surga, maka ia layak mengenakan warna biru.

Menurut International Marian Research Institute di University of Dayton, warna yang dipakai untuk jubah Bunda Maria bukan biru langit, melainkan biru yang lebih tua. Pada jaman tahun 500 SM, warna biru tua itu berasal dari jaman Byzantium, yang melambangkan "ratu". Maria dianggap sebagai Ratu Surgawi, maka ia layak mengenakan warna biru tua itu.

Ada juga yang mengatakan bahwa warna biru tua di Palestina melambangkan status “ibu”.

Sedang dalam teknik pewarnaan jaman abad pertengahan, warna biru tua itu berasal dari batu lapis lazuli, yang saat itu diimpor dari Afganistan dan nilainya melebihi emas. Maka, sebagai ungkapan devosi umat untuk memuliakan Bunda Maria, mereka "memberikan" jubah yang tergerai panjang berwarna biru, sebiru lapis lazuli.

Warna biru batu lapis lazuli

The Virgin Blue

Warna biru lapis lazuli itulah yang menghubungkan takdir dua wanita yang terpisah selama 400 tahun.

Di abad 16, hiduplah Isabelle du Moulin, seorang gadis kecil yang tinggal di Prancis. Suatu hari sebuah patung Bunda Maria diletakkan di gereja setempat, dan saat dinding sekitarnya dicat warna biru tua sesuai warna jubah Bunda Maria, matahari senja menyinari kepala Isabelle dan membuat rambutnya berwarna merah tembaga, persis warna rambut (yang diyakini) milik Bunda Maria. Sejak saat itu Isabelle dijuluki La Rousse, yang merujuk pada julukan Sang Perawan Maria.

Di abad 20, seorang wanita bernama Ella Turner memulai hidup baru di Prancis bersama suaminya, Rick. Meski tumbuh di Amerika, Ella ternyata memiliki darah Prancis dari ayahnya. Tournier adalah nama keluarga dan nenek moyangnya. Pada suatu hari Ella bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat warna biru yang bergelombang dan suara berdebum seolah ada batu besar jatuh, juga suara lirih sebuah nyanyian, yang ternyata diambil dari Kitab Mazmur 31: 12-13. Sejak saat itu ia sering mendapatkan mimpi warna biru yang sama itu berulang-ulang. Apa arti mimpi ini?

Oleh Tracy Chevalier, kisah kedua wanita ini diceritakan secara bersamaan dari awal, secara bergantian. Awalnya hampir tak ada kaitan antara keduanya, kecuali kesamaan warna biru itu. Abad 16 merupakan awal tumbuhnya Kristen Protestan (Reformasi Protestan) yang dipelopori oleh Martin Luther. Kaum Protestan meyakini bahwa umat Kristen seharusnya berdoa langsung kepada Tuhan, tanpa perantara, karena keselamatan hanya datang Yesus Kristus. Hal ini menentang ajaran/ritual Katolik yang menganggap Bunda Maria adalah perantara antara manusia dan Tuhan. Reformasi Protestan ini dibawa ke Prancis dan Swiss oleh John Calvin. Banyak petani di daerah itu yang menganut ajaran Calvin yang lalu disebut Calvinist atau "Kebenaran". Penganut Kebenaran di Prancis ini dijuluki kaum Huguenot.

Karena menentang peran Bunda Maria, kaum Huguenot pun memusuhi Isabelle dan ibunya. Saat gereja Katolik diambil alih dan pastornya diusir, kaum Huguenot memaksa Isabelle untuk menghancurkan patung Perawan Maria. Isabelle dianggap sebagai penyihir, apalagi karena rambutnya semakin berwarna merah tembaga. Di tengah semua itu, Isabelle tetap memendam devosinya terhadap Bunda Maria, meski secara diam-diam. Bahkan setelah ia (terpaksa) menikah dengan Etienne Tournier karena terlanjur hamil. Karena kedekatannya dengan Bunda Maria itulah Isabelle senantiasa dijauhi oleh penduduk. Ia akhirnya berhasil menamai anak perempuannya Marie (dari nama Maria) meski untuk itu harus mengancam Etienne.

Dimusuhi penduduk ternyata merupakan kesamaan lain Isabelle dengan Ella Tournier. Berdiam di kota kecil bernama Lisle-sur-Tarn, Ella merasa ia dimusuhi karena ia orang asing $28Amerika) yang tak fasih berbahasa Prancis. Seperti Isabelle, Ella merasa sendirian. Untuk menghibur diri, Ella pun mulai mencari tahu tentang nenek moyangnya, keluarga Tournier. Ia dibantu oleh pustakawan tampan bernama Jean Paul yang suka sinis dan berdebat dengannya. Kedekatan mereka berdua dalam proyek itu menyadarkan Ella bahwa ada sesuatu yang berubah dalam pernikahannya dengan Rick. Ella dan Jean Paul pun mulai jatuh cinta...

Empat ratus tahun sebelumnya, pernikahan Isabelle dan Etienne jauh lebih tak bahagia lagi. Bukan saja penduduk, namun suami, mertua dan salah satu putranya juga memusuhi dirinya yang dianggap penyihir. Saat menemukan helai rambut merah mulai tumbuh di kepala putrid bungsunya, Marie, ia pun ketakutan. Di sisi lain, meski tak sampai selingkuh seperti Ella, ada seorang penggembala bernama Paul yang mencintai Isabelle dengan caranya yang unik. Rambut merah Marie dan Paul adalah sebagian rahasia pribadi Isabelle.

Pada tahun 1572 terjadi pembantaian terhadap kaum Huguenot oleh kaum Katolik atas perintah ibunda Raja, yang disebut Pembantaian St. Bartholomew's Day (karena terjadi pada hari peringatan St. Bartolomeus). Saat itu keluarga Tournier terpaksa pindah untuk menyelamatkan diri ke Swiss, tepatnya ke desa Moutier yang letaknya dekat perbatasan dengan Prancis. Sementara itu Ella terus menelusuri jejak leluhurnya berkat bantuan sepupu ayahnya yang tinggal di Swiss, Jacob Tournier. Saat itu Ella berhasil mendapatkan sebuah peninggalan berharga berupa Alkitab milik keluarga Tournier, terbukti dari nama-nama seluruh keluarga Tournier yang tercantum di situ.

Pembantaian St. Bartholomew's Day yang diilustrasikan dalam sebuah lukisan

Di rumah baru di Moutier, Isabelle pada suatu hari menemukan sehelai kain biru sewarna biru yang dipakai Sang Perawan Maria yang ia miliki secara diam-diam. Dan pada suatu hari lainnya Etienne menemukan bahwa anak gadisnya, Marie mengenakan kain biru itu di balik roknya, yang membuat Etienne marah besar.

Sementara itu, pencarian Ella akan leluhurnya membawanya ke rumah pertanian yang diyakini dulu pernah ditempati keluarga Tournier 400 tahun lalu. Hal ini dipastikan karena Etienne membangun cerobong asap di rumah itu, yang langka pada jaman itu. Dan di rumah itulah, semua misteri di balik warna biru itu akan sedikit terungkap. Sedikit, karena memang tak sepenuhnya menjawab semua misteri. Menurutku, Tracy Chevalier menulis dengan sedikit gaya realisme magis, dengan meminjam pemujaan atau devosi kepada Bunda Maria. Bagaimana pun Ella lah tampaknya yang memang harus menemukan rahasia yang mengejutkan yang telah terkubur selama empat abad itu.

Kalau begitu, bagaimana dengan kegalauan hati Ella sendiri terhadap dua pria yang mencintainya? Akankah ia dapat mempertahankan perkawinannya dengan Rick? Ataukah ia akan memilih bersama Jean Paul yang selalu dapat memahaminya?

Terus terang aku kagum pada Tracy Chevalier. The Virgin Blue adalah novel historical fiction pertamanya, namun ia telah dengan piawai membawa kita pada suasana magis, sekaligus romantis di tengah sejarah abad ke 16. Di awal kisah, cerita tentang Ella dan Isabelle dituturkan dalam alur lambat, yang satu menyusul yang lain. Namun makin ke belakang, kisah keduanya makin membaur hingga akhirnya menyatu dalam sebuah pemahaman. Indah sekali cara penulisannya ini, dan makin mdmpesona karena Tracy memasukkan unsur lain ke dalam kisah ini, yaitu sebuah lukisan.


Biru dalam Lukisan

Selain Alkitab kuno yang menjadi bukti keberadaan leluhurnya, , Ella juga menemukan kemungkinan salah satu leluhurnya adalah seorang pelukis Prancis yang melukis Bunda Maria dalam jubah warna biru tua, seperti yang selalu muncul dalam mimpinya. Lukisan itu adalah "The Entombment", dilukis oleh Nicolas Tournier di sekitar abad 16.

Lukisan "The Entombment" yang dilihat Ella Tournier di kisah ini

Dalam kehidupan nyata, Nicolas Tournier sungguh-sungguh ada, dan Tracy tak sengaja menemukan lukisannya yang berjudul "Crucifixion" di sebuah museum. Dalam lukisan itu, Bunda Maria mengenakan jubah warna biru seperti yang dibayangkan oleh Tracy waktu menulis kisah ini. Saat itu ia telah mulai menulis tentang keluarga Tournier, dan sangat kaget waktu menemukan bahwa pelukis Crucifixion itu bernama Tournier juga. Pelukis itu juga tinggal di Montbeliard yang hanya 30 mil dari Moutier, lokasi yang dipakai Tracy dalam kisah ini.

Lukisan "Crucifixion" karya Nicolas Tournier yang dilihat Tracy Chevalier di museum

Terlalu banyak kebetulan? Ah....bagaimana pun hidup ini selalu penuh dengan misteri kan? Empat bintang untuk The Virgin Blue!

Judul: The Virgin Blue
Judul terjemahan: Biru Sang Perawan
Penulis: Tracy Chevalier
Penerjemah: Lanny Murtiharjana
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Juli 2006
Tebal: 353 hlm

Friday, October 7, 2011

The Pillars of The Earth


Dulu ketika masih duduk di bangku sekolah, aku selalu terpesona setiap kali berada di dalam gereja dekat sekolahku. Gereja itu dibangun sejak jaman Belanda, merupakan bangunan kuno yang atapnya tinggi, dinding tebal, interiornya penuh ornamen relief, ada banyak kaca mosaik pada jendela yang tinggi, dan suaramu akan bergaung ketika berbicara di dalam sana. Berada di bangunan setinggi dan sebesar itu membuatku merasa begitu kecil. Ketika mendongak ke atas rasanya aku dapat merasakan kehadiran Tuhan jauh di atas sana…Memang itu adalah khayalan anak-anak, karena nyatanya Tuhan ada di mana-mana. Namun harus kuakui bahwa perasaan sakral dan agung itu lebih mudah muncul ketika aku berada di gereja yang besar dan tinggi daripada di sebuah ruangan kecil.

Mungkin seperti itu juga perasaan umat Katolik pada abad 12 di Inggris yang sangat menyukai katedral. Mungkin mereka juga mengalami perasaan terpukau dan sakral yang sama ketika beribadat di katedral. Tak heran, kota-kota di sana berlomba-lomba membangun katedral agar kotanya dilirik para peziarah, dan dengan demikian membuat kota mereka menjadi lebih makmur. Persis seperti kondisi yang melatar belakangi novel ini…

Tom Builder adalah seorang tukang batu yang memiliki ambisi membangun sebuah katedral. Tom bukan tukang batu biasa, ia memiliki kemampuan mendesain bangunan katedral dari nol, sekaligus meuangkan desain itu ke atas gambar (waktu itu belum ada ilmu arsitektur). Ia juga mampu membuat perkiraan biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk membangun katedralnya. Hanya satu masalahnya, Tom tak kunjung menemukan gereja yang akan menggunakan jasanya untuk membangun katedral, sementara ia dan keluarganya yang miskin tak memiliki uang untuk menyambung hidup.

Philip kehilangan orang tua sejak kecil, dan sejak itulah ia dibesarkan di biara, dan akhirnya menjadi biarawan. Dari mengepalai biara kecil akhirnya karirnya menanjak dan ia menjadi Kepala Biara di Kingsbridge. Semua itu dicapai karena prestasinya, namun keberaniannya untuk selalu menjalankan kebenaran juga turut memberikan andil. Ketika gerejanya terbakar, ia pun menemukan alasan untuk membangun sebuah katedral.

Bisa diduga, di titik itulah kisah Philip bersilang jalan dengan kisah Tom Builder. Tom lantas memboyong keluarganya untuk tinggal di biara Kingsbridge: si sulung Alfred, si kecil Martha, Ellen—istri keduanya serta Jack, putra Ellen. Di sisi lain, ada Aliena dan Richard—putra putri Earl Shiring yang earldom-nya direbut paksa oleh keluarga Hamleigh karena Aliena menolak lamaran William Hamleigh. Prior Philip lah yang juga menyediakan perlindungan dan mengentaskan mereka dari lembah kemelaratan.

Sementara itu Philip sendiri tengah berjuang untuk dapat membangun katedralnya. Sayangnya proses pembangunan katedral --yang pada dasarnya dibangun demi tujuan yang baik—tak dapat berjalan dengan lancar. Banyak masalah yang dihadapi Prior Philip, mulai dari masalah keuangan, rebutan lahan dengan bangsawan, hingga kebencian dan keserakahan uskup yang ingin membangun istana bagi dirinya sendiri. Larangan mengambil kayu, kekurangan pekerja, pembakaran kota hingga penyerangan, berkali-kali harus dialami Kingsbridge. Bahkan masalah ini pun sampai ke telinga raja yang turut campur tangan. Ternyata untuk mendirikan rumah Tuhan, kita tidak hanya berurusan dengan Tuhan, tapi yang jauh lebih ruwet justru berurusan dengan manusia.

Dalam setiap masalah, Philip selalu menemukan pemecahan yang terbaik bagi semua pihak. Ada saat ia menang, dan lawannya pun harus mengakui kecerdikannya, sehingga pembangunan katedral dapat berjalan lancar. Namun ada pula saat Philip kalah, maka pembangunan katedral tersendat, dan musuh pun tertawa senang.

Maka boleh dibilang, pembangunan katedral sama dengan perjalanan hidup manusia. Meski seumur hidup kita berjuang selalu berbuat baik, dan tak henti berdoa, ada saat tertentu kita menang dan mendapatkan apa yang kita inginkan, namun ada juga saat kita harus menahan derita sakitnya dikalahkan dengan kejam. Semua tokoh di kisah ini pun mengalami hal yang sama, dan Ken Follett telah menjalin kisah mereka semua dengan sangat menawan. Anda akan dibuat emosional dengan menangis, tertawa, marah, bersedih, gembira dan tegang, berganti-ganti dari awal hingga akhir. Sekaligus anda akan mendapatkan wawasan tentang arsitektur katedral era Romanesque atau Gothik, sejarah abad pertengahan, serta indahnya kasih yang bersumber pada Sang Pencipta.



Tentang Katedral

Pada abad ke 12, waktu yang dibutuhkan untuk membangun sebuah katedral rata-rata adalah tiga puluh tahun. Kisah ini bertaburan dengan banyak istilah dan penjelasan mengenai struktur bangunan katedral dan pembuatannya. Agar memudahkan untuk memiliki gambaran yang lebih hidup selama membaca buku ini, aku telah menelusuri istilah-istilah arsitektur jaman abad pertengahan, khususnya untuk katedral Gothic/Romanesque. Jadi seperti inilah layout sebuah katedral (dilihat dari atas) yang berbentuk salib:



1. Chancel = bagian utama, tempat misa dilangsungkan, tempat altar, tabernakel, tempat duduk imam dan mimbar berada. Singkatnya, bagian utama katedral.

Bagian Chancel di Katedral Salisbury, meja yang berwarna hijau adalah altarnya


2. Nave = tempat diletakkan bangku-bangku umat, menghadap ke arah chancel.

Bagian nave Katedral Salisbury -- mengarah ke Chancel

3. Transept = sayap kiri dan kanan dari bentuk salib.
4. Cloister = lapangan rumput atau lapangan terbuka berbentuk segi empat di samping katedral yang memisahkan kehidupan katedral/biara dari tempat tinggal para pekerja biara yang non biarawan. Tempat tinggal para pekerja ini berada di luar atau di sekeliling cloister.
5. Narthex = semacam foyer, bagian terdepan katedral di antara pintu masuk dan nave.



Pemandangan salah satu sudut cloister (diambil dari Katedral Salisbury)


Sementara itu, struktur bangunan katedral bila dilihat secara vertikal kira-kira seperti ini:



Arcade = bagian terbawah dari katedral.
Galeri = bagian yang memisahkan arcade dan bagian teratas katedral (clerestory).
Clerestory = bagian paling atas katedral yang biasanya diisi jendela untuk memasukkan cahaya matahari. Kacanya biasa dihiasi kaca mosaik warna-warni yang menampilkan gambar-gambar dari kisah alkitab.

Selain itu ada istilah “bay”, yaitu bagian-bagian dari tembok katedral di masing-masing sisi nave, biasanya berada di antara dua pilar, di mana biasanya terpasang 1 jendela. Sebuah nave terdiri dari lebih dari 1 bay, misalnya 7 bay.

Katedral Kingsbridge adalah bangunan fiksional, namun Ken Follett menggunakan Katedral Salisbury sebagai dasar arsitektur yang ditulisnya di buku ini. Gambar-gambar diatas juga diambil dari Katedral Salisbury, yang tampak luarnya seperti ini:


Katedral Salisbury, Inggris


Tentang Philip

Philip adalah tokoh yang paling kukagumi di kisah ini. Philip adalah biarawan sejati yang bersahaja, setia pada hidup selibat, baik hati dan pemaaf, namun memiliki kecerdasan dan kemampuan untuk memimpin. Banyak yang menganggapnya kolot dan keras, misalnya sanggup membuat dua insan yang saling mencintai harus hidup terpisah karena belum dapat menikah secara gereja. Namun sebenarnya ia hanya bertindak tegas karena menjunjung tinggi hukum Gereja dan hukum Allah. Bila dapat, ia mau berkompromi untuk membahagiakan umatnya.

Kalau pun ada kelemahannya, Philip seringkali dihinggapi kesombongan dan ambisi mengenai katedralnya. Namun hampir setiap kali, ia pun akan segera sadar bahwa katedral itu dibangun untuk kepentingan Tuhan dan gereja, bukan demi ambisinya dan bukan pula karena kepandaiannya semata. Tangan Tuhan lah, ia sadar, yang membuat katedral itu dapat atau tidak dapat dibangun dengan sempurna.

Meski Philip dibenci, disakiti, bahkan dikhianati, Philip selalu pemaaf. Adegan yang membuatku terisak haru adalah ketika ia berjumpa biarawan yang telah mengkhianatinya serta menyebabkan kekalahan mutlak bagi Philip. Biarawan itu kini menjadi gelandangan yang mengenaskan. Melihat itu, Philip mengulurkan makanan, minuman, namun di atas itu…pengampunan. Philip mengajak si biarawan untuk kembali ke biaranya untuk bertobat. Dan apa yang dilakukan Philip ketika sang biarawan menerima undangannya? Philip memberikan kudanya bagi si biarawan pengkhianat, sementara ia sendiri berjalan kaki.

Ketika bawahannya keheranan, inilah jawaban Philip: “Yesus bersabda: 'Demikian juga akan ada sukacita di surga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita karena 99 orang benar yang tidak memerlukan pertobatan'". Dan inilah yang Philip pikirkan saat itu: "Aku kalah dalam pengadilan, tapi itu hanyalah masalah batu. Yang kuperoleh sebagai gantinya jelas jauh lebih berharga. Hari ini, aku memenangkan jiwa seorang manusia." ~hlm. 1019. Maka kekalahan duniawi mungkin saja hanyalah sarana bagi kemenangan ilahi, bukankah begitu?

Di mata dunia Philip memang lemah, miskin, tak punya kuasa apapun. Wibawa, kekayaan dan kekuatannya, semua datang dari Tuhan. Inilah hal yang sulit dipahami oleh*dunia, yang terungkap dalam keheranan salah satu musuh bebuyutan Philip: "..Dalam kedua kasus itu, kelemahan dan ketidakberdayaan justru berhasil mengalahkan kekuasaan dan kekejaman. William benar-benar tidak mengerti." ~hlm. 1053.

Oh…betapa bahagianya aku bila bisa mendapatkan seorang gembala seperti Philip!



Pilar-Pilar Bumi


Apa yang ingin disampaikan Ken Follett kepada kita dengan kisah ini? Kupikir, ia ingin menunjukkan kesamaan antara bangunan katedral dan bangunan besar yang kita sebut sebagai negara atau (pada jaman itu) kerajaan. Katedral Kingsbridge yang akhirnya akan berdiri megah dengan menara menjulang tinggi, mampu bertahan dari serangan angin karena ditopang oleh pilar-pilar ramping dari bawah. Begitu juga dengan negara. Bukanlah kekuasaan mutlak dan kekejaman yang membuat sebuah wilayah menjadi makmur dan semakin besar. Sebaliknya, kepemimpinan yang adil seperti yang dikehendaki Tuhan lah yang bisa menjadikan rakyatnya hidup dalam damai. Jadi sebenarnya...siapa atau apakah pilar-pilar bumi itu? Dengan membaca buku ini mungkin anda akan bisa menjawabnya...

Lima dari lima bintang kuanugerahkan kepada The Pillars of The Earth, Ken Follett dan penerjemahan yang baik dari penerbit Gramedia. Begitu rinci Follett mengupas karakter dari masing-masing tokoh, begitu kompleks ia menjalin konflik antara mereka, dan begitu menguras emosi setiap kejadian yang ia tuturkan. Dan akhirnya, pada tahun 1174, di antara cinta, dendam, intrik politik, keserakahan dan kekuasaan, berdirilah sebuah katedral nan megah...

Judul: The Pillars of The Earth (Pilar)
Penulis: Ken Follett
Penerjemah: Monica Dwi Chresnayani & Diniarty Pandia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Februari 2006;/div>
Tebal: 1131 hlm


Catatan:
Setelah membaca buku ini dan selama melakukan riset kecil-kecilan untuk penulisan review ini, aku jadi ingin mengunjungi sebuah katedral. Sepertinya, setelah ini aku takkan pernah dapat memasuki katedral tanpa berpikir dalam hati: “Arcade-nya tinggi juga” atau “Tempat duduk di transept ternyata sudah penuh”. Atau kalau orang yang pergi bersamaku mengajakku duduk di bangku deretan agak belakang, aku akan mengatakan: “Mending duduk sedekat mungkin dengan chancel aja”. Yah….buku memang kadang menyentuh dan mengubah bagian kecil dari hidupmu, dan kupikir buku ini pun juga begitu bagiku, bagaimana denganmu?

Monday, October 3, 2011

Baudolino

“Dalam suatu sejarah, kebenaran kecil-kecil bisa diubah sedemikian rupa sehingga muncul kebenaran yang lebih besar.”

Masih ingat Forrest Gump? Baudolino akan mengingatkan anda pada Forrest Gump. Bukan pada keluguan Gump, melainkan pada model cerita yang dipakai Winston Groom untuk menyisipkan tokoh Forrest Gump, yang notabene adalah tokoh fiksi, ke dalam berbagai peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi. Umberto Eco dengan brilian juga merangkai kisah Baudolino dengan cara yang sama. Bedanya, Eco menyisipkan tokoh fiktif Baudolino ke dalam sejarah abad pertengahan, khususnya di sekitar abad ke 12.

Baudolino adalah putra Gagliaudo yang tinggal di Frascheta, Italia. Dari kecil ia mampu berbicara bahasa asing hanya dengan mendengar beberapa kata dalam suatu bahasa. Namun bakat Baudolino yang paling “hebat” adalah berbohong. Kedua kemampuannya itu berguna saat ia bertemu dengan seorang Jerman bernama Frederick dalam sebuah penyerbuan Jerman ke Terdona. Belakangan terungkap bahwa Frederick ini adalah Frederick “Barbarossa”, sang Raja Jerman pada tahun 1152 yang kelak diangkat menjadi Kaisar Roma oleh Paus pada 1155. Karena kecerdasannya (separuhnya adalah hasil bualan tentu saja!), maka Frederick lalu mengangkat Baudolino menjadi anaknya.

Selanjutnya Baudolino meninggalkan ayahnya dan mengikuti Kaisar Frederick I ini kemana pun ia pergi, sementara Frederick mengajarinya baca-tulis. Saat itu Frederick baru saja mengalahkan Terdona, dan sedang kembali ke Jerman. Itulah awal kisah Baudolino yang lalu ia ceritakan kepada seseorang bernama Niketas.

Dalam sejarah, Niketas Choniates adalah seorang sejarawan Yunani yang pernah menjadi kanselir dari Basileus (Raja) Byzantium. Pertemuan Baudolino dan Niketas terjadi ketika pecah Perang Salib yang ke-4 di Konstantinopel pada tahun 1204 yang meruntuhkan kerajaan Byzantium. Dalam keadaan kritis, Baudolino menyelamatkan Niketas dari pembunuhan oleh para Saracen (istilah yang mengacu pada bangsa Arab). Maka dalam proses menyelamatkan diri dari perang, Baudolino pun menceritakan seluruh kisahnya pada Niketas dari semenjak ia tinggal di istana Frederick I, agar Niketas kelak dapat menulisnya sebagai sejarah.

ilustrasi saat hancurnya Konstantinopel

Lalu kisah petualangan Baudolino pun mengalir mengikuti alur sejarah, di mana Baudolino tampaknya selalu “tak sengaja” hadir dan terseret dalam peristiwa-peristiwa besar yang tercatat dalam sejarah. Menjadi saksi perebutan Terdona oleh Frederick dan terlibat dalam Perang Salib 2, hanyalah dua di antara banyak petualangan serunya. Lebih unik lagi, Baudolino seolah turut mengubah jalannya sejarah, bukan dengan tindakan heroisme melainkan justru dengan kebohongannya.

Ketika ia dititipkan pada Kardinal Otto von Preising untuk belajar, Baudolino terlibat dalam penyusunan sebuah dokumen kuno. Saat itu Otto sedang melanjutkan menulis chronica sive historia de duabus civitatibus, dokumen yang mengisahkan sejarah dua kota: Yerusalem dan Babel. Malangnya chronica itu tiba-tiba menghilang sehingga Otto harus menulis ulang. Frederich lalu menyuruh Otto memasukkan pujian terhadap Frederich ke chronic yang baru itu, agar Frederich dikenang sepanjang masa, yang akhirnya dikenal sebagai Gesta Friderici Imperatoris (Kebaikan-Kebaikan Kaisar Frederick).

Tanpa diduga, ternyata Baudolino lah biang keladi chronica yang hilang itu. Ia ingin sekali belajar menulis namun tak memiliki perkamen kosong. Maka ia mengambil sembarang perkamen (yang ternyata adalah chronica itu!), mengerik tulisannya sehingga ia punya perkamen kosong untuk ia tulisi. Bayangkan! Perkamen itu kelak dihilangkan Baudolino, karena itulah kini ia harus menceritakan kisahnya pada Niketas berdasarkan ingatannya belaka. Ingatan seorang pembohong yang penuh kebohongan dan tak dapat dipercaya.

Sebelum Otto meninggal, ia mengamanatkan Baudolino untuk mencari seorang raja atau imam yang hingga saat itu tak diketahui keberadaannya, dan hanya dikenal sebagai Prester John atau Presbyter John. Dalam kenyataannya, Presbyter John dipercaya sebagai Yohanes dari Patmos, penulis Kitab Wahyu dalam Alkitab Perjanjian Baru. Sementara ada juga yang mengatakan bahwa Yohanes dari Patmos dan Yohanes sang rasul Yesus adalah satu orang yang sama. Belum diketahui pasti hingga sekarang teori mana yang benar.

Prester John sendiri merupakan legenda yang merujuk pada sebuah kerajaan di daratan Asia (mungkin di India atau Ethiopia), di mana umat Kristiani hidup tanpa cacat sesuai perintah Allah. Ada yang mengatakan Prester John adalah keturunan dari orang Majus (tiga orang asing yang mengikuti bintang Daud sehingga menemukan tempat Yesus lahir di Betlehem). Legenda yang simpang siur ini menjadi sasaran empuk Umberto Eco untuk menempatkan Baudolino.

Sesuai amanat Otto, Baudolino harus menemukan Presbyter John untuk dipertemukan dengan Frederick agar Perang Salib tidak berkelanjutan. Namun karena Baudolino pun tak mampu menemukan Presbyter John, maka sesuai karakternya ia pun mulai "menciptakan" si Presbyter John ini. Ia mulai dengan "merancang" istana yang sesuai untuk Presbyter John, lalu mengarang surat dari Presbyter John untuk Frederick. Bahkan ia “menciptakan” Grasal (Holy Grail) yaitu cawan yang konon dipakai Yesus saat Perjamuan terakhir, yang menjadi legenda namun “dihidupkan” oleh Baudolino. Konyol juga mengikuti petualangan Baudolino ini, dan dengan membaca buku ini anda akan dibuat benar-benar kehilangan arah antara kenyataan dan bualan.

Lewat kisah konyol Baudolino, sebenarnya kita juga diajak untuk belajar sejarah. Lihat saja ketika Baudolino mengisahkan tentang Frederick I pada Niketas, secara tak langsung kita akan mengetahui bagaimana Frederick I yang orang Jerman bisa dinobatkan menjadi Kaisar Roma oleh Paus. Bagaimana proses kelahiran kota Alessandria dan kanonisasi (proses menjadikan seseorang santo) Charlemagne. Selain itu kita juga diajak melihat bagaimana keserakahan dan kesombongan para penguasa abad itu, baik negara maupun gereja. Bagaimana Frederick berusaha menjadi yang paling berkuasa, hingga menghalalkan segala cara. Dari peperangan, pembunuhan, hingga kebohongan.

Pada akhirnya kurasa Umberto Eco ingin mengingatkan kita bahwa di dunia ini segalanya berlaku terbalik. Kebohongan dan hal-hal fana menjadi sesuatu yang dipercayai manusia. Sementara kebenaran yang sesungguhnya justru dianggap absurd. Hal yang sama terjadi pada Baudolino, dalam petualangannya, tiap kali ia menciptakan kebohongan, kebohongan itu akan membawa kesuksesan. Sebaliknya tiap kali mengatakan kebenaran (yang jumlahnya dapat dihitung jari), ia mengalami kesialan, seperti yang ia katakan di hlm 745 buku ini: “Kau lihat sendiri. Pertama kali dalam hidupku aku mengatakan yang benar dan hanya kebenaran, mereka melempariku dengan batu.”

Dan inilah jawaban Niketas kepadanya: “Itu juga terjadi dengan para rasul.” Dan memang itulah tantangan bagi kita yang ingin melakukan kebenaran, kita takkan pernah diterima oleh dunia karena dunia memang lebih suka pada kebohongan.

Baudolino adalah sebuah kisah yang lengkap. Anda akan menemukan sejarah, kekonyolan, mitos dan legenda, sekaligus misteri dalam sebuah buku setebal 750 hlm ini. Sayang penerjemahannya kurang bagus, tapi mungkin itu disebabkan kalimat dan paragraf-paragraf yang terlalu panjang. Di bagian akhir cerita jadi agak membosankan dan tak masuk akal, namun Umberto Eco berhasil menutup kisah ini dengan sesuatu yang bermakna. Tetap saja, dengan semua kekurangan itu, tiga bintang kuberikan untuk Baudolino!

Judul: Baudolino
Penulis: Umberto Eco
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbit: Juni 2006
Tebal: 750 hlm